32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

60 Persen Anak di Sumut Terancam Kanker

Konsumsi Makanan Mengandung Kimia dan Pengawet

MEDAN-Diperkirakan sekitar 60 persen anak-anak di perkotaan Sumut cenderung mengonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan kimia dan pengawet. Dalam waktu jangka panjang, hal ini akan berdampak pada kualitas hidup anak tersebut dan risiko menderita kanker lebih besar untuk 10 atau 20 tahun ke depan.

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut dr Henry Salim Siregar SpOG. Kata dia, pola makan atau gaya hidup anak-anak sekarang lebih cenderung mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya atau pengawet. “Padahal ini sangat berbahaya karena kualitas hidup terganggu, siapa nanti yang menjadi pemimpin bangsa ini. Memang dampaknya bukan sekarang, tapi akan terlihat dalam waktu jangka panjang. Anak-anak sekarang juga minim mengonsumsi sayur-sayuran, padahal ini sangat baik untuk kesehatan,” kata Henry Salim Siregar.
Karena itu, pada 2012 mendatang, pihaknya bekerjasama dengan pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan akan menyosialisasikan kembali agar anak-anak memakan makanan alami yang dimasak di rumahnya masing-masing. “Kita akan sosialisasikan. Nggak baik kalau anak-anak semakin lama mengonsumsi makanan seperti ini,” jelasnya.

Dikatakannya, hal tersebut harus dilakukan agar masyarakat tahu akan kesehatan dan bahaya kanker dapat dicegah. “Anak-anak ini lebih sehat, ini akan disosialisasikan ke sekolah-sekolah agar anak-anak itu mengonsumsi makanan rumah yang kebersihan dan gizinya terjamin,” katanya sembari mengimbau para orangtua untuk menyajikan makanan sehat di rumah.

Hendri Salim memaparkan, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) atau food additives sudah sangat meluas. Hampir semua industri pangan, baik industri besar maupun industri rumah tangga, dipastikan menggunakan BTP. Penggunaan BTP memang tidak dilarang asalkan bahan tersebut benar-benar aman bagi kesehatan manusia dan dalam dosis yang tepat. Kata dia, pengawet merupakan salah satu jenis BTP yang paling banyak digunakan oleh produsen makanan. Penggunaan BTP dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran atau agar produk tahan lama, serta untuk memperbaiki rasa, aroma, penampilan fisik, dan warna. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik akibat perubahan kimiawi. Namun, karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya penggunaan BTP, para produsen makanan menggunakan BTP (pengawet) secara berlebihan. Paling banyak mereka menggunakan formalin.

Dikatakannya, formalin merupakan salah satu pengawet yang akhir-akhir ini banyak digunakan dalam makanan, padahal jenis pengawet tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan. Formalin merupakan larutan tidak berwarna, berbau tajam, mengandung formaldehid sekitar 37% dalam air, biasanya ditambahkan metanol 10-15%.

Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan tahu terasa lebih kenyal . Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya tahu atau makanan berformalin lainnya menjadi lebih awet. “Formalin selain harganya murah, mudah didapat dan pemakaiannya pun tidak sulit sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan yang tidak bertanggung jawab. Hasil survei dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan, sejumlah produk pangan menggunakan formalin sebagai pengawet,” kata dia.

Dia juga memaparkan, produk makanan yang paling gampang dideteksi mengandung formalin, yakni ikan asin. Cirinya, tahan lama pada suhu kamar (25oC), lebih dari 1 bulan. Warna bersih dan cerah (tidak kuning kecoklatan). Tekstur keras, tidak berbau khas ikan asin dan tidak mudah hancur serta tidak dihinggapi lalat.

Untuk Ikan basah/udang,  insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang. Warna putih bersih dengan tekstur yang kenyal. Awet sampai 3 hari pada suhu kamar, tidak mudah busuk dan bau. “Kalau untuk jajanan anak-anak yang mengandung pengawet dan zat pewarna kimia berbahaya, bisa ditandai dengan rasa pahit makanan tersebut, misalnya pada kerupuk. Kemudiannya warnanya sangat cerah seperti pada es ganepo dan es sejenisnya. Pada buah-buahan asinan dengan sedikit pahit dan kenyal, dan lainnya,” jelasnya.

Terpisah, Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Medan, Sacramento Tarigan mengakui saat ini anak-anak di perkotaan khususnya di sekolah, mayoritas mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan bahan pengawet seperti bakso, mi, kerupuk berwarna, lontong dan lainnya.

“Memang dalam operasi rutin yang kita lakukan melalui mobil operasional laboratorium keliling ke sekolah-sekolah, masih banyak anak-anak yang mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan masih ada ditemukan para pedagang yang menjajakan makanannya mengandung bahan tidak baik tersebut. Tapi tidak semua pedagang seperti itu, maka konsumen juga harus lebih pintar dalam membeli,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, dalam rangka monitoring dan pembinaan keamanan pangan terutama di lingkungan sekolah, pihaknya akan berkoordinasi dengan lintas sektor seperti Badan Ketahanan Pangan (BKP), Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan menargetkan pada 2012 ini jumlah anak-anak perkotaan yang mengkonsumsi makanan tidak sehat ini dapat diminimalisir.

“Jadi awalnya kita data para pedagang ini, jika memang masih ada yang kita temukan yang menjual makanan tidak sehat maka akan kita kita bina mereka. Memang masih ada saja pedagang yang menjual bahan kimia berbahaya seperti boraks pada bakso. Tapi ini sudah menurun sekitar 10 persen ya,” ucapnya.

Sementara itu, Siti (30), warga Jalan Perintis Kemerdekaan mengaku tidak dapat mengontrol jajanan anaknya. “Memang anak-anak nggak bisa dikontrol jajanannya. Kalau dibekali makanan dari rumah, mereka nggak mau karena lebih suka jajanan dari luar. Apalagi kita kan nggak bisa pantau, apa yang mereka beli di sekolah. Maunya pihak sekolah yang membatasi pedagang yang berjualan di lingkungan sekolah tersebut,” kata ibu yang memiliki dua orang anak ini.

Lain lagi yang dikatakan Sarah (42) warga Tembung. “Anak saya yang sekolah SD pernah kena diare karena jajan sembarangan. Padahal dari rumah sudah kita ingatkan supaya jangan beli makanan yang aneh-aneh. Tapi, kita nggak bisa ngawasi mereka ya. Karena kita di rumah dan anak-anak di sekolah. Jadi guru yang harusnya berperan di sini,” bebernya.

Senada dengan Henry Salim Siregar, DR Umar Zein selaku konsultan gizi mengatakan, dampak akan dirasa dalam rentan waktu yang panjang. “Mengonsumsi makanan mengandung bahan pengawet, dan pewarna akan memberikan dampak jangka panjang bagi seorang anak. Di antaranya yakni penyakit  kanker, alergi, gangguan pernafasan dan pencernaan,” ujarnya.

Selain itu konsumsi makanan berbahan pengawet bukan tidak mungkin akan memberikan gangguan ke otak seperti lambatnya daya pikir seorang anak, meskipun belum ada penelitian secara resmi yang dilakukan oleh ahli. Mengingat zat pengawet, bilang Umar Zein, merupakan salah satu pencetus penyakit kanker yang dihasilkan dalam jangka panjang.

Untuk pencegahannya sendiri, menurutnya sebaiknya dilakukan penyuluhan secara bersama oleh seluruh stakeholder seperti dinas kesehatan, badan pengawas obat dan makanan serta instansi terkait lainnya. “Langkah terbaik yang bisa dilakukan salahsatunya membuat pelatihan mengenai jajanan kesehatan. Selain mendukung program ekonomi kerakyatan, anak-anak sebagai salah satu konsumen terbesar bisa terlindungi dari beragam penyakit yang dihasilkan bahan pengawet,” terangnya. (mag-11/uma)

Konsumsi Makanan Mengandung Kimia dan Pengawet

MEDAN-Diperkirakan sekitar 60 persen anak-anak di perkotaan Sumut cenderung mengonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan kimia dan pengawet. Dalam waktu jangka panjang, hal ini akan berdampak pada kualitas hidup anak tersebut dan risiko menderita kanker lebih besar untuk 10 atau 20 tahun ke depan.

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut dr Henry Salim Siregar SpOG. Kata dia, pola makan atau gaya hidup anak-anak sekarang lebih cenderung mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya atau pengawet. “Padahal ini sangat berbahaya karena kualitas hidup terganggu, siapa nanti yang menjadi pemimpin bangsa ini. Memang dampaknya bukan sekarang, tapi akan terlihat dalam waktu jangka panjang. Anak-anak sekarang juga minim mengonsumsi sayur-sayuran, padahal ini sangat baik untuk kesehatan,” kata Henry Salim Siregar.
Karena itu, pada 2012 mendatang, pihaknya bekerjasama dengan pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan akan menyosialisasikan kembali agar anak-anak memakan makanan alami yang dimasak di rumahnya masing-masing. “Kita akan sosialisasikan. Nggak baik kalau anak-anak semakin lama mengonsumsi makanan seperti ini,” jelasnya.

Dikatakannya, hal tersebut harus dilakukan agar masyarakat tahu akan kesehatan dan bahaya kanker dapat dicegah. “Anak-anak ini lebih sehat, ini akan disosialisasikan ke sekolah-sekolah agar anak-anak itu mengonsumsi makanan rumah yang kebersihan dan gizinya terjamin,” katanya sembari mengimbau para orangtua untuk menyajikan makanan sehat di rumah.

Hendri Salim memaparkan, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) atau food additives sudah sangat meluas. Hampir semua industri pangan, baik industri besar maupun industri rumah tangga, dipastikan menggunakan BTP. Penggunaan BTP memang tidak dilarang asalkan bahan tersebut benar-benar aman bagi kesehatan manusia dan dalam dosis yang tepat. Kata dia, pengawet merupakan salah satu jenis BTP yang paling banyak digunakan oleh produsen makanan. Penggunaan BTP dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran atau agar produk tahan lama, serta untuk memperbaiki rasa, aroma, penampilan fisik, dan warna. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik akibat perubahan kimiawi. Namun, karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya penggunaan BTP, para produsen makanan menggunakan BTP (pengawet) secara berlebihan. Paling banyak mereka menggunakan formalin.

Dikatakannya, formalin merupakan salah satu pengawet yang akhir-akhir ini banyak digunakan dalam makanan, padahal jenis pengawet tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan. Formalin merupakan larutan tidak berwarna, berbau tajam, mengandung formaldehid sekitar 37% dalam air, biasanya ditambahkan metanol 10-15%.

Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan tahu terasa lebih kenyal . Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya tahu atau makanan berformalin lainnya menjadi lebih awet. “Formalin selain harganya murah, mudah didapat dan pemakaiannya pun tidak sulit sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan yang tidak bertanggung jawab. Hasil survei dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan, sejumlah produk pangan menggunakan formalin sebagai pengawet,” kata dia.

Dia juga memaparkan, produk makanan yang paling gampang dideteksi mengandung formalin, yakni ikan asin. Cirinya, tahan lama pada suhu kamar (25oC), lebih dari 1 bulan. Warna bersih dan cerah (tidak kuning kecoklatan). Tekstur keras, tidak berbau khas ikan asin dan tidak mudah hancur serta tidak dihinggapi lalat.

Untuk Ikan basah/udang,  insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang. Warna putih bersih dengan tekstur yang kenyal. Awet sampai 3 hari pada suhu kamar, tidak mudah busuk dan bau. “Kalau untuk jajanan anak-anak yang mengandung pengawet dan zat pewarna kimia berbahaya, bisa ditandai dengan rasa pahit makanan tersebut, misalnya pada kerupuk. Kemudiannya warnanya sangat cerah seperti pada es ganepo dan es sejenisnya. Pada buah-buahan asinan dengan sedikit pahit dan kenyal, dan lainnya,” jelasnya.

Terpisah, Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Medan, Sacramento Tarigan mengakui saat ini anak-anak di perkotaan khususnya di sekolah, mayoritas mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan bahan pengawet seperti bakso, mi, kerupuk berwarna, lontong dan lainnya.

“Memang dalam operasi rutin yang kita lakukan melalui mobil operasional laboratorium keliling ke sekolah-sekolah, masih banyak anak-anak yang mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan masih ada ditemukan para pedagang yang menjajakan makanannya mengandung bahan tidak baik tersebut. Tapi tidak semua pedagang seperti itu, maka konsumen juga harus lebih pintar dalam membeli,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, dalam rangka monitoring dan pembinaan keamanan pangan terutama di lingkungan sekolah, pihaknya akan berkoordinasi dengan lintas sektor seperti Badan Ketahanan Pangan (BKP), Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan menargetkan pada 2012 ini jumlah anak-anak perkotaan yang mengkonsumsi makanan tidak sehat ini dapat diminimalisir.

“Jadi awalnya kita data para pedagang ini, jika memang masih ada yang kita temukan yang menjual makanan tidak sehat maka akan kita kita bina mereka. Memang masih ada saja pedagang yang menjual bahan kimia berbahaya seperti boraks pada bakso. Tapi ini sudah menurun sekitar 10 persen ya,” ucapnya.

Sementara itu, Siti (30), warga Jalan Perintis Kemerdekaan mengaku tidak dapat mengontrol jajanan anaknya. “Memang anak-anak nggak bisa dikontrol jajanannya. Kalau dibekali makanan dari rumah, mereka nggak mau karena lebih suka jajanan dari luar. Apalagi kita kan nggak bisa pantau, apa yang mereka beli di sekolah. Maunya pihak sekolah yang membatasi pedagang yang berjualan di lingkungan sekolah tersebut,” kata ibu yang memiliki dua orang anak ini.

Lain lagi yang dikatakan Sarah (42) warga Tembung. “Anak saya yang sekolah SD pernah kena diare karena jajan sembarangan. Padahal dari rumah sudah kita ingatkan supaya jangan beli makanan yang aneh-aneh. Tapi, kita nggak bisa ngawasi mereka ya. Karena kita di rumah dan anak-anak di sekolah. Jadi guru yang harusnya berperan di sini,” bebernya.

Senada dengan Henry Salim Siregar, DR Umar Zein selaku konsultan gizi mengatakan, dampak akan dirasa dalam rentan waktu yang panjang. “Mengonsumsi makanan mengandung bahan pengawet, dan pewarna akan memberikan dampak jangka panjang bagi seorang anak. Di antaranya yakni penyakit  kanker, alergi, gangguan pernafasan dan pencernaan,” ujarnya.

Selain itu konsumsi makanan berbahan pengawet bukan tidak mungkin akan memberikan gangguan ke otak seperti lambatnya daya pikir seorang anak, meskipun belum ada penelitian secara resmi yang dilakukan oleh ahli. Mengingat zat pengawet, bilang Umar Zein, merupakan salah satu pencetus penyakit kanker yang dihasilkan dalam jangka panjang.

Untuk pencegahannya sendiri, menurutnya sebaiknya dilakukan penyuluhan secara bersama oleh seluruh stakeholder seperti dinas kesehatan, badan pengawas obat dan makanan serta instansi terkait lainnya. “Langkah terbaik yang bisa dilakukan salahsatunya membuat pelatihan mengenai jajanan kesehatan. Selain mendukung program ekonomi kerakyatan, anak-anak sebagai salah satu konsumen terbesar bisa terlindungi dari beragam penyakit yang dihasilkan bahan pengawet,” terangnya. (mag-11/uma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/