MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seorang warga yang terluka dan terjebak banjir dievakuasi oleh tim rescue. Simulasi tersebut dilakukan para relawan dari sejumlah lembaga yang tergabung dalam Medan Rescue Network (MRN) seperti DEMA KAHMI Sumut, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan, Explore Sumatera, Vertical Rescue Indonesia Regional Sumatera Utara, Education Foundation,P3KS, Pilar, FJPI Sumut, DCABS FAJI Medan dan MER-C di Taman Cadika Medan, Selasa (26/2/2022)
Simulasi tetrsebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2022 mengangkat tema “Keluarga Tangguh Bencana Pilar Bangsa Menghadapi Bencana”. Para relawan juga membunyikan kentungan sebagai simbol tanda bahaya saat simulasi siaga bencana.
Ketua DEMA KAHMI Sumut, Joni Kurniawan mengatakan, melihat kejadian bencana banjir di Medan dibutuhkan kolaborasi dan dukungan dari potensi relawan yang cukup banyak. Misinya adalah, bagaimana bisa operasi bersama dan meningkatkan kapasitas. Sehingga, para relawan ini saling mendukung dengan potensi dan kapasitasnya dalam membantu pemerintah.
“Dalam rangka Hari Kesiapsiagaan Bencana ini kita melakukan simulasi untuk menyamakan persepsi , mengevaluasi dan saling mendukung antar para relawan agar siap dalam menghadapi bencana sesungguhnya”, ujarnya.
Ditambahkannya, potensi relawan itu banyak dan memiliki kopetensi berbeda, jika potensi itu dikolaborasikan dengan segala kemampuan yang dimiliki akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Sehingga peran pemerintah melalui BPBD Kota Medan diharapkan dapat menghimpun dan mendorong para relawan agar menjadi mitra. Karena masalah bencana adalah masalah bersama.
“Dengan berkolaborasi dan memetakan potensi yang ada bisa sangat membantu dalam proses penanggulangan bencana sehingga dapat meringankan para korban bencana alam”, tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Doni Latuparissa mengungkapkan, miris melihat kondisi lingkungan di Sumatera Utara maupun di Indonesia.Dalam dua tahun terakhir telah terjadi bencana ekologi seperti banjir, longsor di beberapa titik seperti di Langkat, Tebing Tinggi maupun di Medan. Krisis iklim dan naiknya permukaan laut dan laju deportasi tentunya berindikasi terhadap bencana yang diakibatkan pemanasan global atau anomali cuaca.
“Tentunya kita melihat frekwensi dari bencana banjir selalu meningkat setiap tahunnya dan terus terjadi, bahkan di titik dataran tinggi di sejumlah wilayah di Sumatera Utara terjadi bencana . Hal tersebut terindikasi menurunnya luasnya tutupan hutan di Sumatera Utara, karena tidak mampu di hulu hutan itu menyerap air hujan yang cukup tinggi”, ungkap Doni.
Artinya, lanjut Doni, permasalahan bencana banjir harus segera disikapi oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah , bagaimana mengelola lingkungan yang baik berkaitan dengan upaya pelestarian dan konservasi hutan serta lingkungan yang ada di perkotaan maupun kabupaten.(Rel)