31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Bahalwan: Lebih Baik Ditembak Mati daripada Dipenjara

Foto: Bayu/PM M Bahalwan membacakan pleidoinya, di PN Medan, Jumat (26/9).
Foto: Bayu/PM
M Bahalwan membacakan pleidoinya, di PN Medan, Jumat (26/9).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – “Saya tidak ada merugikan negara, majelis hakim yang mulia. Saya lebih baik ditembak mati daripada hidup di dalam penjara. Saya tidak tahan dan tidak kuat menjalani semua ini. Keluarga saya hancur, harta benda saya habis. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan,” ungkap M Bahalwan dengan suara tinggi, di ruang Cakra VII Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Medan, Jumat (26/9) sore.

Direktur Operasional Mapna Indonesia ini kembali disidang dalam kasus tindak pidana korupsi dalam proyek peremajaan pekerjaan life time extention (LTE) Gas Turbin (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok II Belawan, yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Selain Bahalwan, Supra Dekanto selaku mantan Direktur Utama PT NTP juga ikut disidang selaku rekanan pelaksanaan tender pekerjaan.

Dalam sidang, Bahalwan membacakan pledoinya yang berjudul ’Melawan Korupsi Tapi Aku Terbui’. Ia menyatakan, dalam kasus ini terjadi diskriminasi karena dirinya justru membantu negara dengan cara tidak mau bekerjasama dengan pihak Siemens untuk mengambil keuntungan dari pengadaan mesin.

“Dalam proyek tender dengan PLN baru kali ini saya kerjasama. Dan saya memang benar-benar ingin membantu negara dengan mengajukan penawaran mesin yang jauh lebih murah dari pada pihak Siemens tawarkan. Bahkan saya sempat diajak kerja sama oleh Siemens agar mundur dari penawaran, agar pihak Siemens yang menang dengan tawaran harga tinggi, dan nanti saya akan mendapat bagian. Tetapi saya tidak mau,” ujarnya sambil bergetar memegang mik.

Ia juga menyampaikan surat permohonan yang diajukan oleh anaknya yang masih berumur 8 tahun, agar Jaksa Agung melepaskan dirinya. “Dalam pleidoi saya juga melampirkan surat yang ditulis tangan langsung oleh anak saya, Aaqilah yang masih berumur 8 tahun, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, Basrief Arief,” terangnya.

Tulisan tangan berisi tulisan tangan anak terdakwa itu isinya, “Oom Basrif Arief, nama saya Aaqillah 8 tahun. Saya kangen daddy, saya mau Daddy segera pulang. Buat kerja lagi, seperti biasa dan bisa main lagi dengan saya.”

Lebih lanjut Bahalwan menyatakan adanya diskriminatif dari perbedaan tuntutan yang diajukan JPU terhadapnya dan kelima terdakwa lain. “Kenapa saya dituntut tinggi dan berbeda dengan terdakwa lainnya? Saya rasa di sini ada diskriminatif. Saya hanya bisa pasrah,” ujarnya.

Sebelumnya, Supra Dekantor terlebih dahulu membacakan pleidoinya. Ia mengatakan kalau dirinya adalah orang yang sangat dibutuhkan di negara ini, karena banyak proyek yang tengah dikerjakannya.

“Saya merasa saya sangat dibutuhkan oleh negara. Karena saya lagi banyak melakukan proyek-proyek pembangunan di negara ini. Dan meminta kepada JPU agar lebih teliti sebelum menempatkan kami sebagai tersangka, Juga memeriksa background pelapor, mengenai proses berjalannya jaksa tidak mengetahui mendalam kasus ini,” terangnya.

Dirinya mengatakan, dirinya pernah terlibat dalam pembuatan kapal terbang pertama Indonesia di bawah pengawasan mantan presiden Indonesia, BJ Habibie. “Tetapi pada saat itu saya berstatus mahasiwa,” ungkapnya.

Usai membacakan pleidoinya, majelis hakim yang diketuai oleh, SB Hutagalung, SH, ini pun menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), Muhammad Hatta, atas pembelaan tersebut. “Tetap pada tuntutan yang mulia,” jelas Jaksa.

Majelis hakim pun menunda persidangan hingga, Selasa, (30/9) agenda putusan.

Sebelumnya, dua dua rekanan dalam proyek pengerjaan tender, yakni Supra Dekanto selaku Mantan Direktur Utama PT NTP dan M Bahalwan selaku Direktur Operasional Mapna Indonesia.

JPU menuntut M. Bahalwan kurungan penjara selama 10 tahun penjara, denda Rp 1,5 Miliar dan subsidair 8 bulan kurungan. “Untuk terdakwa M. Bahalwan, terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi. Dan meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp 1,5 Miliar dan subsidair 8 bulan,” jelas JPU.

Bahkan JPU juga meminta agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 2,3 Triliun, dengan ketentuan jika tidak dibayar dan harta bendanya tidak mencukupi membayar kerugian negara maka diganti dengan penjara selama 5 tahun.

“Khusus untuk terdakwa, M. Bahalwan juga dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang. Dan apabila harta bendanya tak cukup membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan 5 tahun kurungan,” tambahnya.

Sementara itu, untuk Supra Dekanto, dituntut oleh JPU kurungan penjara selama 5 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta dan subsider 6 bulan. (bay/bd)

Foto: Bayu/PM M Bahalwan membacakan pleidoinya, di PN Medan, Jumat (26/9).
Foto: Bayu/PM
M Bahalwan membacakan pleidoinya, di PN Medan, Jumat (26/9).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – “Saya tidak ada merugikan negara, majelis hakim yang mulia. Saya lebih baik ditembak mati daripada hidup di dalam penjara. Saya tidak tahan dan tidak kuat menjalani semua ini. Keluarga saya hancur, harta benda saya habis. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan,” ungkap M Bahalwan dengan suara tinggi, di ruang Cakra VII Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Medan, Jumat (26/9) sore.

Direktur Operasional Mapna Indonesia ini kembali disidang dalam kasus tindak pidana korupsi dalam proyek peremajaan pekerjaan life time extention (LTE) Gas Turbin (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok II Belawan, yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Selain Bahalwan, Supra Dekanto selaku mantan Direktur Utama PT NTP juga ikut disidang selaku rekanan pelaksanaan tender pekerjaan.

Dalam sidang, Bahalwan membacakan pledoinya yang berjudul ’Melawan Korupsi Tapi Aku Terbui’. Ia menyatakan, dalam kasus ini terjadi diskriminasi karena dirinya justru membantu negara dengan cara tidak mau bekerjasama dengan pihak Siemens untuk mengambil keuntungan dari pengadaan mesin.

“Dalam proyek tender dengan PLN baru kali ini saya kerjasama. Dan saya memang benar-benar ingin membantu negara dengan mengajukan penawaran mesin yang jauh lebih murah dari pada pihak Siemens tawarkan. Bahkan saya sempat diajak kerja sama oleh Siemens agar mundur dari penawaran, agar pihak Siemens yang menang dengan tawaran harga tinggi, dan nanti saya akan mendapat bagian. Tetapi saya tidak mau,” ujarnya sambil bergetar memegang mik.

Ia juga menyampaikan surat permohonan yang diajukan oleh anaknya yang masih berumur 8 tahun, agar Jaksa Agung melepaskan dirinya. “Dalam pleidoi saya juga melampirkan surat yang ditulis tangan langsung oleh anak saya, Aaqilah yang masih berumur 8 tahun, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, Basrief Arief,” terangnya.

Tulisan tangan berisi tulisan tangan anak terdakwa itu isinya, “Oom Basrif Arief, nama saya Aaqillah 8 tahun. Saya kangen daddy, saya mau Daddy segera pulang. Buat kerja lagi, seperti biasa dan bisa main lagi dengan saya.”

Lebih lanjut Bahalwan menyatakan adanya diskriminatif dari perbedaan tuntutan yang diajukan JPU terhadapnya dan kelima terdakwa lain. “Kenapa saya dituntut tinggi dan berbeda dengan terdakwa lainnya? Saya rasa di sini ada diskriminatif. Saya hanya bisa pasrah,” ujarnya.

Sebelumnya, Supra Dekantor terlebih dahulu membacakan pleidoinya. Ia mengatakan kalau dirinya adalah orang yang sangat dibutuhkan di negara ini, karena banyak proyek yang tengah dikerjakannya.

“Saya merasa saya sangat dibutuhkan oleh negara. Karena saya lagi banyak melakukan proyek-proyek pembangunan di negara ini. Dan meminta kepada JPU agar lebih teliti sebelum menempatkan kami sebagai tersangka, Juga memeriksa background pelapor, mengenai proses berjalannya jaksa tidak mengetahui mendalam kasus ini,” terangnya.

Dirinya mengatakan, dirinya pernah terlibat dalam pembuatan kapal terbang pertama Indonesia di bawah pengawasan mantan presiden Indonesia, BJ Habibie. “Tetapi pada saat itu saya berstatus mahasiwa,” ungkapnya.

Usai membacakan pleidoinya, majelis hakim yang diketuai oleh, SB Hutagalung, SH, ini pun menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), Muhammad Hatta, atas pembelaan tersebut. “Tetap pada tuntutan yang mulia,” jelas Jaksa.

Majelis hakim pun menunda persidangan hingga, Selasa, (30/9) agenda putusan.

Sebelumnya, dua dua rekanan dalam proyek pengerjaan tender, yakni Supra Dekanto selaku Mantan Direktur Utama PT NTP dan M Bahalwan selaku Direktur Operasional Mapna Indonesia.

JPU menuntut M. Bahalwan kurungan penjara selama 10 tahun penjara, denda Rp 1,5 Miliar dan subsidair 8 bulan kurungan. “Untuk terdakwa M. Bahalwan, terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi. Dan meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp 1,5 Miliar dan subsidair 8 bulan,” jelas JPU.

Bahkan JPU juga meminta agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 2,3 Triliun, dengan ketentuan jika tidak dibayar dan harta bendanya tidak mencukupi membayar kerugian negara maka diganti dengan penjara selama 5 tahun.

“Khusus untuk terdakwa, M. Bahalwan juga dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang. Dan apabila harta bendanya tak cukup membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan 5 tahun kurungan,” tambahnya.

Sementara itu, untuk Supra Dekanto, dituntut oleh JPU kurungan penjara selama 5 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta dan subsider 6 bulan. (bay/bd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/