26 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Ngaku Dicuci Otak, Wajib Baca Tulisan Itu-itu Juga Setiap Hari

Beruntung Sami yang melihat hal itu berontak dan memaksa Nasib keluar dari organisasi tersebut. Dengan alasan keutuhan keluarga, akhirnya Nasib pun setuju keluar dari keanggotaan Gafatar. Sejak resmi keluar, semua pernak pernik termasuk kitab-kitab yang sebelumnya diberikan Gafatar ke Nasib ditarik kembali.

Belakangan Nasib sempat dipanggil oleh Senan untuk bergabung, namun keputusan Nasib sudah bulat untuk keluar. “Bayangkan saja tiap anggota dilarang berkomunikasi dengan orang lain. Alasannya gak mau didengar orang,” ucap Nasib.

“Saya juga pernah dengar kalo Gafatar itu kelompok orang kecewa, gak puas gitu sama pemerintah,” katanya.

Ketika ditanya mengenai ketidakpuasan di bidang apa? Nasib tidak mengetahuinya,. “Cuma gitu aja katanya, awak pun gak paham yang kita tahu dia itu menyimpang. Ketahuan kalinya pas bapak kami meninggal, sudah tidak boleh memandikan mayitnya sendiri, gak bisa makan yang kami masak,” ucapnya lagi.

Lalu untuk mengetahui lebih dalam mengenai keterlibatan Senan di dalam Gafatar, salah seorang adiknya sempat memeriksa laptopnya. “Pas malam bapak meninggal kami heran, kemana-mana dia bawa laptop, kami tau dia gak bisa maen laptop. Kami bongkar isinya, ternyata semua tentang Gafatar,” terangnya.

Kemudian Senan sempat mereka interogasi untuk disadarkan, namun ia tetap membela Gafatar. “Saat diminta mengucapkan dua kalimat syahadat, mulutnya kelu dan tidak dapat mengeluarkan bunyi yang diminta. Begitupun keluarga meminta untuk membacakan surat Al-Fatihah, ia pun lupa akan bacaan tersebut. Kontan Sampir emosi dan mengatakan kepada ibu kandungnya. Sudah, gak usah lagi anggap dia saudara kalo sudah sesat,” tandasnya.

Hingga kini, Sanan dan istri serta anak mereka masih bergabung dengan Gafatar di Kalimantan.

Ditemui di lokasi terpisah, Handoko (21) warga Jalan Pringgan Gang Jambu, Dusun I, Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal mengaku sedih ditinggalkan sendirioleh keluarganya. Handoko merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Senan (45) dan Ati (42). Menurut penuturan Koko nama akrab Handoko, bahwa ketuanya yang biasa disebut ayahnya adalah Surya Efendi. “Surya Efendi ketuanya, sering dibilang bapak,” ucapnya. Lalu ia menjelaskan sejak tahun 2012 ayahnya mengikuti ajaran Gafatar.

“Saya simpatik dengan aksi sosialnya tetapi ajarannya tidak benar rupanya,” tambah Koko. Sejak ayahnya bergabung, perubahan drastis dialami orangtuanya itu. “Berubah abis ngikut itu,” terangnya. Terkini sejak kepergian orangtua beserta tiga adiknya ke Kalimantan mereka tetap menjaga komunikasi. “Kalo berhubungan tetap, mereka bilang sedang bekerja,” aku Koko yang dihubungi Ati, ibunya.

Semasa maraknya pembakaran hutan di Kalimantan, Koko juga sering menanyakan kabar keluarganya di sana namun mereka menjawab bukan tinggal di daerah itu. “Mereka di sana beraktifitas, berladang, memelihara ikan di kolam dan bercocok tanam,” ungkap pria berperawakan sedang itu.

Tepat pada Selasa (26/1) lalu, ia mendapat telepon dari ibunda yang menanyakan apakah keluarga disana masih menerima mereka atau tidak.

“Kami sudah gak punya apa-apa, apa keluarga masih nerima kami?” ucap Koko meniru pertanyaan ibunya. Meski begitu, Koko masih berharap kedua orangtua dan ketiga adiknya bisa pulang kembali ke Medan. “Saya ingin kami berkumpul kembali,” pungkas Koko. (ham/deo)

Beruntung Sami yang melihat hal itu berontak dan memaksa Nasib keluar dari organisasi tersebut. Dengan alasan keutuhan keluarga, akhirnya Nasib pun setuju keluar dari keanggotaan Gafatar. Sejak resmi keluar, semua pernak pernik termasuk kitab-kitab yang sebelumnya diberikan Gafatar ke Nasib ditarik kembali.

Belakangan Nasib sempat dipanggil oleh Senan untuk bergabung, namun keputusan Nasib sudah bulat untuk keluar. “Bayangkan saja tiap anggota dilarang berkomunikasi dengan orang lain. Alasannya gak mau didengar orang,” ucap Nasib.

“Saya juga pernah dengar kalo Gafatar itu kelompok orang kecewa, gak puas gitu sama pemerintah,” katanya.

Ketika ditanya mengenai ketidakpuasan di bidang apa? Nasib tidak mengetahuinya,. “Cuma gitu aja katanya, awak pun gak paham yang kita tahu dia itu menyimpang. Ketahuan kalinya pas bapak kami meninggal, sudah tidak boleh memandikan mayitnya sendiri, gak bisa makan yang kami masak,” ucapnya lagi.

Lalu untuk mengetahui lebih dalam mengenai keterlibatan Senan di dalam Gafatar, salah seorang adiknya sempat memeriksa laptopnya. “Pas malam bapak meninggal kami heran, kemana-mana dia bawa laptop, kami tau dia gak bisa maen laptop. Kami bongkar isinya, ternyata semua tentang Gafatar,” terangnya.

Kemudian Senan sempat mereka interogasi untuk disadarkan, namun ia tetap membela Gafatar. “Saat diminta mengucapkan dua kalimat syahadat, mulutnya kelu dan tidak dapat mengeluarkan bunyi yang diminta. Begitupun keluarga meminta untuk membacakan surat Al-Fatihah, ia pun lupa akan bacaan tersebut. Kontan Sampir emosi dan mengatakan kepada ibu kandungnya. Sudah, gak usah lagi anggap dia saudara kalo sudah sesat,” tandasnya.

Hingga kini, Sanan dan istri serta anak mereka masih bergabung dengan Gafatar di Kalimantan.

Ditemui di lokasi terpisah, Handoko (21) warga Jalan Pringgan Gang Jambu, Dusun I, Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal mengaku sedih ditinggalkan sendirioleh keluarganya. Handoko merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Senan (45) dan Ati (42). Menurut penuturan Koko nama akrab Handoko, bahwa ketuanya yang biasa disebut ayahnya adalah Surya Efendi. “Surya Efendi ketuanya, sering dibilang bapak,” ucapnya. Lalu ia menjelaskan sejak tahun 2012 ayahnya mengikuti ajaran Gafatar.

“Saya simpatik dengan aksi sosialnya tetapi ajarannya tidak benar rupanya,” tambah Koko. Sejak ayahnya bergabung, perubahan drastis dialami orangtuanya itu. “Berubah abis ngikut itu,” terangnya. Terkini sejak kepergian orangtua beserta tiga adiknya ke Kalimantan mereka tetap menjaga komunikasi. “Kalo berhubungan tetap, mereka bilang sedang bekerja,” aku Koko yang dihubungi Ati, ibunya.

Semasa maraknya pembakaran hutan di Kalimantan, Koko juga sering menanyakan kabar keluarganya di sana namun mereka menjawab bukan tinggal di daerah itu. “Mereka di sana beraktifitas, berladang, memelihara ikan di kolam dan bercocok tanam,” ungkap pria berperawakan sedang itu.

Tepat pada Selasa (26/1) lalu, ia mendapat telepon dari ibunda yang menanyakan apakah keluarga disana masih menerima mereka atau tidak.

“Kami sudah gak punya apa-apa, apa keluarga masih nerima kami?” ucap Koko meniru pertanyaan ibunya. Meski begitu, Koko masih berharap kedua orangtua dan ketiga adiknya bisa pulang kembali ke Medan. “Saya ingin kami berkumpul kembali,” pungkas Koko. (ham/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/