Situs Kota Cina, Antara Sejarah Medan dan Pemburu Barang Antik
Kota Medan pernah tercatat sebagai pusat perniagaan di pesisir timur Pulau Sumatera abad XI hingga abad XVI masehi. Bukti sejarah itu terekam dalam situs Kota Cina di Marelan. Sayang, koleksi benda bersejarah di dalamnya malah diobral warga sekitar.
Nopan Hidayat, Marelan
Kecamatan Medan Marelan yang berada di bagian Utara Kota Medan masih menyimpan sejumlah situs Kota Cina yang merekam perjalanan sejarah pekembangan Kota Medan. Minggu (27/2) siang, wartawan Sumut Pos mendatangi situs yang berada di Kelurahan Paya Pasir tersebut.
Setelah menanyai sejumlah warga, wartawan koran ini kemudian menemui Mukhtar U (72), tetua di Paya Pasir yang juga mantan pengawas situs Kota Cina. Dari penuturan Mukhtar seputar situs tersebut diketahui, catatan tentang keberadaan situs Kota Cina ada sejak tahun 1926. Pertama kali diketahui berdasarkan laporan orang Inggris bernama John Anderson yang mengunjungi beberapa wilayah di daerah pantai timur Pulau Sumatera untuk survei politik ekonomi bagi kepentingan kolonial Inggris. Yang menarik dari laporannya, adanya batu bertulis yang tidak dapat dibaca penduduk sekitar. Sayangnya, sejak itu batu dimaksud belum ditemukan keberadaannya.
Aktivitas arkeologi di situs dimulai pada 1972. Ekskavasi sebagai salah satu penjaringan data dalam arkeologi, dilaksanakan untuk mengungkap beberapa aspek kehidupan masa lampau di daerah tersebut. Dari hasil penelitian itu berhasil ditemukan sisa-sisa tiga struktur bangunan dari bata, yang dulu kemungkinan pernah difungsikan sebagai tempat pemujaan dewa. Sekompleks dengan temuan tersebut, ditemukan pula empat patung batu yang masing-masing menggambarkan dewa-dewa dalam agama Buddha (2 unit) dan dewa-dewa dalam agama Hindu (2 unit). Keempat arca tersebut dua Arca Buddah Amitabha, Arca Wisnu yang bertangan empat dan juga Dewi Sri (istri Wisnu).
Temuan lain yang berhasil didapatkan di situs Kota Cina ini adalah pecahan keramik dan gerabah dalam jumlah banyak. Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pecahan-pecahan keramik tertua yang terdapat di situs Kota Cina berasal dari masa Dinasti Sung (abad XI M), kemudian disusul keramik-keramik yang lebih muda masanya adalah keramik Yuan (abad XIII–XIV M), Ming (abad XIV–XVI M). Selain keramik-keramik Cina, di situs ini ditemukan pula keramik-keramik buatan Siam (Thailand sekarang) dan Annam (Vietnam sekarang) yang berasal dari abad XV M. Selain itu dari situs Kota Cina tersebut juga ditemukan sisa-sisa alat pertukangan, tumpukan tempat sampah kerang maupun tembikar (gerabah), keramik, mata uang, manik-manik, pecahan gelas dan juga lainnya.
Berdasarkan data arkeologis yang ditunjukkan oleh Mukhtar U (72) tersebut terlihat, penghunian kawasan situs Kota Cina diperkirakan antara abad XI — XVI M. Pada masa itu daerah Kota Cina merupakan salah satu pelabuhan penting di daerah Selat Malaka yang pada suatu masa didominasi Kerajaan Sriwijaya sebagai kekuatan maritim yang sangat berpengaruh. Dalam sumber-sumber tertulis (berita asing, naskah lokal, dll) disebutkan keberadaan suatu tempat yang disebut sebagai Aru/Haru yang dapat diasosiasikan sebagai nama asli situs Kota Cina.
Bukti Arkeologis dari situs Cina membuktikan bahwa masa lalu sudah berlangsung lama. Dahulu daerah ini difungsikan sebagai pusat niaga di pesisir timur Pulau Sumatera. Kontak pelayaran dan perdagangan mempertemukan masyarakat pedalaman yang menghasilkan komoditas yang diperlukan pendatang dari berbagai penjuru dunia dengan kelompok pedagang dari luar Sumatera.
Kota Cina sendiri sekarang sudah mengalami perkembangan, sesuai dengan perjalanan waktu dan perubahan terus berlangsung. Diareal seluar 25 hektar tersebut kini pembangunan terus berjalan. Di lokasi yang dahulu diketahui mengandung struktur sisa bata (bangunan keagamaan, candi) sekarang sudah berdiri rumah-rumah penduduk.
Mukhtar U mengatakan bahwa penemuan-penemuan situs sejarah tersebut diketahui saat warga disekitar melakukan penggalian. “Penemuan situs sejarah tersebut saat warga di sini menggali tanah untuk membuat sumur. Saat digali di tanah ditemukan arca, keramik, uang koin dan benda bersejarah lainnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mukhtar menambahkan bahwa situs Kota Cina ini, mayoritas penduduknya adalah jawa, Melayu dan juga Mandailing. “Situs Kota Cina tidak ada orang cina yang tinggal disini, melainkan warga pribumi namun kemungkinan pada masa lalu orang-orang cina tinggal disini,”tambahnya.
Muktar sangat kecewa karena pemerintah kota Medan kurang memperhatikan situs kota cina ini. “Nanti kalau ada penemuan baru datang kesini ramai-ramai, apabila ada penemuan benda bersejarah langsung diberikan ke museum di Medan” ungkapnya.
Meskipun sejarahnya bernilai tinggi, situs kota Cina saat ini amat memprihatinkan. Para pemburu barang antik sempat melakukan penggalian liar dan menjual barang-barang antiknya ke luar daerah. Beberapa warga Desa Paya Pasir juga melakukan hal serupa. Sampai dengan dua tahun lalu masih banyak warga yang menawarkan keramik atau tembikar antik kepada siapa saja yang berkunjung ke Paya Pasir dengan harga murah, sampai Rp70.000 per unit.
Masih menurut Mukhtar, dari dulu sampai sekarang jalan yang ada di situs Kota Cina, jalannya tidak pernah di aspal kalau hujan macem kubangan kerbau. Dirinya sangat menyayangkan situs kota cina sebagai situs bersejarah tidak kembangkan. “Tidak ada kepikiran Pemerintah Kota Medan untuk menjadikan Kota Cina ini sebagai objek pariwisata,” tambahnya.
Muktar berharap agar Situs Kota Cina ini mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kota Medan. “Kalau dibuat jadi tempat pariwisata pastinya akan menambah pendapatan daerah dan turis-turis asing banyak yang berdatangan untuk melihat situs bersejarah tersebut,” harapnya.(*)