30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Merasa ‘Indonesia Is The Best’ Justru ketika di Mancanegara

Foto: Ayatollah Antoni/JPNN Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu dan para WNI di Lusaka, Zambia.
Foto: Ayatollah Antoni/JPNN
Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu dan para WNI di Lusaka, Zambia.

Tinggal di luar negeri dengan beragam fasilitas dan kemudahan mungkin menjadi impian banyak orang di Indonesia. Tapi tinggal di Zambia, negara yang terletak di pedalaman Afrika, tentu tak terbayangkan sebelumnya. Itu pula yang dialami sejumlah warga negara Indonesia (WNI) di Zambia.

——————————-

Ayatollah Antoni, Lusaka

——————————-

ZAMBIA merupakan negara miskin di Afrika. Posisinya terkunci (landlocked) di tengah-tengah Benua Hitam itu. Negara yang beribu kota di Lusaka itu tanpa pantai dan pelabuhan laut.

Dari udara terlihat jelas mayoritas ruas jalan yang belum beraspal. Bahkan jalanan dari Lusaka menuju Bandara Internasional Kenneth Kaunda gelap-gulita tanpa penerangan di malam hari.

Untuk masalah kejahatan, para pendatang di Zambia pun harus ekstra waspada. Rumah-rumah warga asing di Zambia biasanya dilengkapi penjaga, pagar tinggi dengan aliran listrik, serta CCTV. Jendela dan pintu-pintunya bahkan dipasangi terali.

Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) pun tak cukup hanya diawasi dengan CCTV. Selalu aja ada petugas bersenjata.

Berdasarkan catatan Biro Keamanan Diplomatik Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (OSAC) 2015, angka kejahatan di Zambia memang tinggi. Pencurian, pembobolan rumah warga dan perampokan di jalanan merupakan hal yang biasa di Zambia. Sasarannya adalah ekspatriat atau pun pengunjung dari negara lain.

Belum lama ini seorang WNI yang berkunjung ke Zambia nyaris jadi korban pencopetan saat antre di tempat pemeriksaan jelang counter check in penumpang Kenneth Kaunda International Airport. Telepon selularnya tiba-tiba lenyap ketika dimasukkan ke mesin x-ray. Baru setelah ia teriak-teriak kehilangan iPhone, tiba-tiba ada seorang petugas ground handling menyerahkan gadget buatan Apple Inc itu.

Di Lusaka, suasananya juga semrawut. Bahkan ketika ada pendatang sembarangan memotret, bisa-bisa didatangi warga lokal. Urusannya bisa panjang.

“Amit-amit, deh. Jangan sampai jadi korban kejahatan di sini,” kata Nina Johnson, WNI yang mengikuti suaminya tingal di Lusaka.

Di Lusaka saja ada belasan WNI. Sebagian besar dari mereka adalah rohaniwan.

Awal pekan lalu beberapa di antara mereka brekumpul di sebuah restoran untuk perpisahan Arsyanti, WNI di Zambia yang bakal segera ikut suaminya ke Jepang.

Nina adalah warga Pluit, Jakarta Utara. Ia bersuamikan Wayne Johnson, pria Inggris yang menjadi guru di Lusaka.

Dulunya Nina juga tak membayangkan bakal tinggal di Zambia. “Tapi karena ikut suami, ya wis lah (ya sudah lah, red),” ujar perempuan berdarah Osing, Banyuwangi itu.

Nina bersama Wayne dan dua momongan mereka sudah dua tahun ini tinggal di Lusaka. Tentu saja ia bisa membandingkan Jakarta dengan Lusaka. “Jauh enak di Jakarta lah,” tuturnya.

Menurutnya, di Jakarta bisa berjalan sendirian dalam kondisi aman. Ia menegaskan, untuk ukuran makanan enak, Jakarta adalah tempatnya.

“Di sini nggak ada laut. Kalau kepengin seafood juga mahal. Coba di Jakarta, di pinggir jalan juga ada seafood enak,” katanya.

Suami Nina, Wayne Johnson bahkan sudah kecanduan dengan makanan Indonesia. Rendang adalah salah satu kegemarannya.

Wayne juga demen dengan mi instan di Indonesia. “Tidak ada mi instan seenak mi goreng di Indonesia. Paling enak,” katanya sembari menyebut salah satu merek mi instan.

“Pokoknya Indonesia is the best. Segalanya murah,” timpal Nina.

Foto: Ayatollah Antoni/JPNN Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu dan para WNI di Lusaka, Zambia.
Foto: Ayatollah Antoni/JPNN
Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu dan para WNI di Lusaka, Zambia.

Tinggal di luar negeri dengan beragam fasilitas dan kemudahan mungkin menjadi impian banyak orang di Indonesia. Tapi tinggal di Zambia, negara yang terletak di pedalaman Afrika, tentu tak terbayangkan sebelumnya. Itu pula yang dialami sejumlah warga negara Indonesia (WNI) di Zambia.

——————————-

Ayatollah Antoni, Lusaka

——————————-

ZAMBIA merupakan negara miskin di Afrika. Posisinya terkunci (landlocked) di tengah-tengah Benua Hitam itu. Negara yang beribu kota di Lusaka itu tanpa pantai dan pelabuhan laut.

Dari udara terlihat jelas mayoritas ruas jalan yang belum beraspal. Bahkan jalanan dari Lusaka menuju Bandara Internasional Kenneth Kaunda gelap-gulita tanpa penerangan di malam hari.

Untuk masalah kejahatan, para pendatang di Zambia pun harus ekstra waspada. Rumah-rumah warga asing di Zambia biasanya dilengkapi penjaga, pagar tinggi dengan aliran listrik, serta CCTV. Jendela dan pintu-pintunya bahkan dipasangi terali.

Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) pun tak cukup hanya diawasi dengan CCTV. Selalu aja ada petugas bersenjata.

Berdasarkan catatan Biro Keamanan Diplomatik Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (OSAC) 2015, angka kejahatan di Zambia memang tinggi. Pencurian, pembobolan rumah warga dan perampokan di jalanan merupakan hal yang biasa di Zambia. Sasarannya adalah ekspatriat atau pun pengunjung dari negara lain.

Belum lama ini seorang WNI yang berkunjung ke Zambia nyaris jadi korban pencopetan saat antre di tempat pemeriksaan jelang counter check in penumpang Kenneth Kaunda International Airport. Telepon selularnya tiba-tiba lenyap ketika dimasukkan ke mesin x-ray. Baru setelah ia teriak-teriak kehilangan iPhone, tiba-tiba ada seorang petugas ground handling menyerahkan gadget buatan Apple Inc itu.

Di Lusaka, suasananya juga semrawut. Bahkan ketika ada pendatang sembarangan memotret, bisa-bisa didatangi warga lokal. Urusannya bisa panjang.

“Amit-amit, deh. Jangan sampai jadi korban kejahatan di sini,” kata Nina Johnson, WNI yang mengikuti suaminya tingal di Lusaka.

Di Lusaka saja ada belasan WNI. Sebagian besar dari mereka adalah rohaniwan.

Awal pekan lalu beberapa di antara mereka brekumpul di sebuah restoran untuk perpisahan Arsyanti, WNI di Zambia yang bakal segera ikut suaminya ke Jepang.

Nina adalah warga Pluit, Jakarta Utara. Ia bersuamikan Wayne Johnson, pria Inggris yang menjadi guru di Lusaka.

Dulunya Nina juga tak membayangkan bakal tinggal di Zambia. “Tapi karena ikut suami, ya wis lah (ya sudah lah, red),” ujar perempuan berdarah Osing, Banyuwangi itu.

Nina bersama Wayne dan dua momongan mereka sudah dua tahun ini tinggal di Lusaka. Tentu saja ia bisa membandingkan Jakarta dengan Lusaka. “Jauh enak di Jakarta lah,” tuturnya.

Menurutnya, di Jakarta bisa berjalan sendirian dalam kondisi aman. Ia menegaskan, untuk ukuran makanan enak, Jakarta adalah tempatnya.

“Di sini nggak ada laut. Kalau kepengin seafood juga mahal. Coba di Jakarta, di pinggir jalan juga ada seafood enak,” katanya.

Suami Nina, Wayne Johnson bahkan sudah kecanduan dengan makanan Indonesia. Rendang adalah salah satu kegemarannya.

Wayne juga demen dengan mi instan di Indonesia. “Tidak ada mi instan seenak mi goreng di Indonesia. Paling enak,” katanya sembari menyebut salah satu merek mi instan.

“Pokoknya Indonesia is the best. Segalanya murah,” timpal Nina.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/