25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Merasa ‘Indonesia Is The Best’ Justru ketika di Mancanegara

Bagi penggemar barang-barang branded atau bermerek, Lusaka juga bukan tempat belanja yang pas. Tak banyak pusat perbelanjaan di negeri yang bermata uang Kwacha itu.

Sebenarnya ada beberapa mal. Tapi memang tak sebesar di Jakarta. Bangunannya paling terdiri dua atau tiga lantai.

Soal makanan juga bisa jadi masalah bagi WNI yang pertama kali datang di Zambia. “Sulit di sini makanan lokal yang cocok sama lidah Indonesia,” kata Arsyanti, warga Depok, Jawa Barat yang sudah 3 tahun lebih tinggal di Lusaka.

Menurutnya, suasana Indonesia memang tak tergantikan. Apalagi ketika Ramadan dan Idul Fitri, katanya, suasana di Indonesia tak akan ditemukan di negeri lain.

Arsyanti bersuamikan Kozo Sunada, seorang diplomat Jepang. Pekan lalu, Sunada mengakhiri tugasnya di Lusaka dan segera pulang kampung ke Hiroshima.

Kepulangan Sunada ke Jepang itu menjadi kesempatan bagi Arsyanti untuk pulang kampung. Ia ingin pada Ramadan dan Lebaran tahun ini bisa bersama keluarganya di Depok. “Saya dan anak saya mau Ramadan penuh di Indonesia,” ujarnya.

Ada juga Ida Litaay. Ia bekerja sebagai geologist di sebuah perusahaan pertambangan di Zambia.

Ia lebih beruntung karena setiap tiga atau empat bulan sekali bisa mendapat kesempatan pulang ke Indonesia. Karenanya, Ida memang lebih lama tinggal di Zambia dibandingkan kolega-koleganya sesama WNI. “Saya sudah 4,5 tahun di sini,” katanya.

Beruntung para WNI di Lusaka bisa guyub dan kompak. Secara berkala mereka bertemu dan menggelar kegiatan bersama.

Mereka bahkan pernah ikut berpartisipasi pada ajang Lusaka Internatioal Food Fair 2015. Dengan difasilitasi Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu, para WNI di Lusaka ikut memamerkan makanan khas Indonesia.

“Kami bikin bakso, dan makanan asli Indonesia lainnya. Gorengan yang paling laris. Ternyata banyak ekspatriat yang pernah tinggal dan kesengsem dengan Indonesia,” ujar Nina.

Ia bahkan yakin andai ada yang mau berbisnis makanan Indonesia di Lusaka, pasti bakal sukses. “Itu Mbak Ida jago bikin bakso,” kata Nina sembari menunjuk Ida Litaay.

“Saya malah penginnya jual bubur ayam,” kelakar Arsyanti yang langsung ditimpali tawa sohib-sohib akrabnya di Lusaka itu.

Di Zambia ada sekitar 400-an WNI. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja di pertambangan.

Staf bidang ekonomi KBRI Zimbabwe yang juga membawahi Zambia, Rudy Soeryanata mengatakan, angka terakhir WNI di negeri pimpinan Presiden Edgar Chagwa Lungu itu ada 396 orang. Namun, kata Rudy, angkanya memang dinamis.

“Angkanya berubah-ubah karena pekerja tambang kan bisa ganti-ganti. Mereka biasanya langsung lapor begitu ada pergantian,” kata diplomat asal Surabaya itu.(ara/jpnn)

Bagi penggemar barang-barang branded atau bermerek, Lusaka juga bukan tempat belanja yang pas. Tak banyak pusat perbelanjaan di negeri yang bermata uang Kwacha itu.

Sebenarnya ada beberapa mal. Tapi memang tak sebesar di Jakarta. Bangunannya paling terdiri dua atau tiga lantai.

Soal makanan juga bisa jadi masalah bagi WNI yang pertama kali datang di Zambia. “Sulit di sini makanan lokal yang cocok sama lidah Indonesia,” kata Arsyanti, warga Depok, Jawa Barat yang sudah 3 tahun lebih tinggal di Lusaka.

Menurutnya, suasana Indonesia memang tak tergantikan. Apalagi ketika Ramadan dan Idul Fitri, katanya, suasana di Indonesia tak akan ditemukan di negeri lain.

Arsyanti bersuamikan Kozo Sunada, seorang diplomat Jepang. Pekan lalu, Sunada mengakhiri tugasnya di Lusaka dan segera pulang kampung ke Hiroshima.

Kepulangan Sunada ke Jepang itu menjadi kesempatan bagi Arsyanti untuk pulang kampung. Ia ingin pada Ramadan dan Lebaran tahun ini bisa bersama keluarganya di Depok. “Saya dan anak saya mau Ramadan penuh di Indonesia,” ujarnya.

Ada juga Ida Litaay. Ia bekerja sebagai geologist di sebuah perusahaan pertambangan di Zambia.

Ia lebih beruntung karena setiap tiga atau empat bulan sekali bisa mendapat kesempatan pulang ke Indonesia. Karenanya, Ida memang lebih lama tinggal di Zambia dibandingkan kolega-koleganya sesama WNI. “Saya sudah 4,5 tahun di sini,” katanya.

Beruntung para WNI di Lusaka bisa guyub dan kompak. Secara berkala mereka bertemu dan menggelar kegiatan bersama.

Mereka bahkan pernah ikut berpartisipasi pada ajang Lusaka Internatioal Food Fair 2015. Dengan difasilitasi Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu, para WNI di Lusaka ikut memamerkan makanan khas Indonesia.

“Kami bikin bakso, dan makanan asli Indonesia lainnya. Gorengan yang paling laris. Ternyata banyak ekspatriat yang pernah tinggal dan kesengsem dengan Indonesia,” ujar Nina.

Ia bahkan yakin andai ada yang mau berbisnis makanan Indonesia di Lusaka, pasti bakal sukses. “Itu Mbak Ida jago bikin bakso,” kata Nina sembari menunjuk Ida Litaay.

“Saya malah penginnya jual bubur ayam,” kelakar Arsyanti yang langsung ditimpali tawa sohib-sohib akrabnya di Lusaka itu.

Di Zambia ada sekitar 400-an WNI. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja di pertambangan.

Staf bidang ekonomi KBRI Zimbabwe yang juga membawahi Zambia, Rudy Soeryanata mengatakan, angka terakhir WNI di negeri pimpinan Presiden Edgar Chagwa Lungu itu ada 396 orang. Namun, kata Rudy, angkanya memang dinamis.

“Angkanya berubah-ubah karena pekerja tambang kan bisa ganti-ganti. Mereka biasanya langsung lapor begitu ada pergantian,” kata diplomat asal Surabaya itu.(ara/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/