Empat Korban Sekeluarga Dikubur Satu Liang di Pasar IV Tembung
Menyadari istrinya Desi Indriani dan ketiga anaknya Yuni Sipiani, Rendy dan Dimas terjebak di bus ALS yang naas di Aek Latong, Cipeng berupaya memberikan pertolongan. Tapi takdir berkata lain, keempatnya meninggal hingga dimakamkan dalam satu liang, kemarin (27/6).
Ari Sisworo, Medan
Pukul 11.06 WIB, bunyi sirene dua unit Mobil Ambulance BB 161 F dan BB 190 F sontak mengagetkan warga Gang Fajar Tasbih Dalam, Pasar III Tembung, Senin (27/6). Kedatangan Mobil Ambulance yang membawa empat korban kecelakaan bus maut bus Antar Lintas Sumatera (ALS), di Aek Latong Tapanuli Selatan (Tapsel) Minggu (26/6) lalu, disambut histeris warga.
Pihak keluarga korban yang semula berada di rumah duka langsung berhamburan keluar. Tatkala pintu ambulans pertama BB 161 F dibuka, dua jena zah berbalut kain kafan putih diangkat dengan menggunakan tandu. Para keluarga korban yang awalnya tenang, langsung histeris. Suara tangisan bersautan dari para pelayat. Saat pelayat melihat dua jenazah berbalut kain kafan putih yang diketahui, Desi Indriani dan anak pertamanya Yuni Sipiani masih terdapat bercak darah membuat suasana semakin pilu.
“Ya Allah, bagaimana kejadiannya ya? Kok bisa sampai seperti itu. Itu masih ada bekas darahnya. Apa mereka (korban, Red) terjepit-jepit,” ungkap seorang pelayat yang tak jauh dari Sumut Pos.
Kedua jenazah ibu dan anak pertamanya itu dibawa ke kediaman orangtuanya Ali Umar dan Nurbima. Mobil Ambulance tersebut pun sedikit bergeser, untuk memberi ruang bagi Mobil Ambulance kedua BB 190 F yang membawa dua jenazah kakak beradik, Rendy dan Dimas. Saat kedua jenazah bocah tersebut dikeluarkan, kembali suara-suara tangisan pihak keluarga pun pecah, begitu juga para pelayat yang datang. Saat dibawa ke rumah duka, kain kafan kedua bocah kakak beradik itu pun, juga tampak bercak darah yang telah mengering.
Sesampainya di rumah duka, keempat jenazah tersebut direbahkan di kasur yang telah disediakan di ruang tamu. Sudah bisa diduga, kembali suara tangisan seolah sahut menyahut. Bukan hanya pihak keluarga, hampir seluruh pelayat yang hadir menangis.
Tak lama berselang, pukul 11.24 WIB, suami Almarhumah Desi Indriani, Cipieng tiba. Dia dipapah beberapa kerabat, tatapan mata yang kosong dan langkah gontai Cipieng masuk ke ruang tamu. Perlahan Cipieng membuka kain kafan yang membalut almarhumah istrinya. Cipieng tak tahan, air matanya meniti di pipinya. Matanya memerah. Namun, ia tetap tabah meskipun bercucuran air mata, Cipieng tidak meratap.
Lalu, perlahan dibukanya kain kafan yang membalut putri sulungnya, Yuni Sipiani. Kembali, air mata Cipieng tertumpah. Beberapa kerabatnya, memberikan air mineral agar Cipieng kuat. Namun, kondisi Cipieng semakin melemah. Cipieng tak sempat membuka kain kafan putra-putra tercintanya, untuk melihat wajah mereka terakhir kalinya.
Kerabat yang di dekatnya mengambil inisiatif memapahnya ke rumah tetangga di samping rumah duka. Praktis, Cipieng berada di ruang tamu sekitar 14 menit.
Di rumah tetangga mereka tersebut, Cipieng sempat berkisah mengenai kronologis kejadian naas tersebut. Pria yang kental logat Padangnya ini menceritakan, saat bus hendak menaiki tanjakan di Aek Latong, karena mesin bus tak sanggup maka supir bus menginstruksikan agar para pria untuk keluar, dan membantu mendorong bus tersebut. Namun, sayangnya usaha itu tak berhasil. Bus malah berjalan mundur dan masuk ke parit besar berisi air.
Saat mengetahui kejadian itu, Cipieng sempat berlari mengejar bus dan berniat untuk memecahkan kaca bus guna menyelamatkan istri dan ketiga buah hatinya yang tengah tertidur dipelukan Desi Indriani. Namun upaya Cipieng tak berhasil, istri dan anak-anaknya tak bisa dikeluarkan dari bus yang kemudian terjun bebas ke parit berisi air tersebut.
“Saat saya berusaha menyelamatkan, seolah kaki saya ada yang menarik. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” tuturnya.
Usai bercerita, tanpa terasa matanya memerah. Air matanya pun turun membahasi pipinya. Suara tangisannya tak terdengar. Matanya kosong. Salah seorang kerabat yang didekatnya, berupaya meminta agar wartawan menghentikan wawancara karena kondisi Cipieng yang tak stabil.
Di rumah duka, persiapan untuk melaksanakan prosesi Fardu Kifayah terlihat. Namun, karena menurut keterangan bahwa keempat jenazah telah dimandikan, maka keempat jenazah langsung dibawa ke Masjid Nurul Iman Pasar III Tembung untuk disalatkan.
Tepat pukul 12.26 WIB, semua korban disalatkan oleh puluhan warga dan pelayat. Prosesi salat jenazahnya, dilakukan seusai Salat Zhuhur.
Pada pukul 13.05 WIB, keempat korban kembali ditandu keluar masjid untuk dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di pekuburan Pasar IV Tembung menggunakan mobil ambulans yang masih menunggu.
Ratusan warga dan pelayat, bahkan orang yang tengah melintas pun ikut mengantarkan korban ke pekuburan. Pukul 13.12 WIB, dua ambulans yang membawa empat jenazah tersebut tiba di pekuburan.
Di pekuburan, satu liang lahat untuk keempat korban telah selesai disiapkan. Satu persatu, dimulai jasad Almarhumah Desi Indriani tepatnya pukul 13.15 WIB dimasukkan ke liang lahat. Kemudian disusul secara berurutan jenazah Yuni Sipiani, Rendy dan Dimas.
Saat ke empat jenazah tersebut satu per satu dimasukkan ke liang lahat, Cipieng tak kuasa menahan kesedihannya. Dia menangis, air matanya kembali keluar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, akhirnya Cipieng didudukkan di sebuah gubuk di area pekuburan itu.
Di gubuk itu, Cipieng tak henti-hentinya menitikkan air matanya dan sesekali berbicara dengan bahasa Padang dengan kerabatnya. Dan sesekali kerabatnya menyeka air mata Cipieng dengan handuk kecil berwarna biru.
Sebelumnya, dari pantauan Sumut Pos di rumah duka, tak terlihat satu pun pihak ALS yang datang ke rumah duka. Untungnya, ada seseorang petugas Jasa Raharja Sumut mendatangi keluarga korban.
Kepada wartawan, petugas Jasa Raharja Sumut bernama Fauzi Rizal Lubis menjelaskan, pihak Jasa Raharja Sumut mengeluarkan klaim asuransi kepada setiap korban meninggal sebesar Rp25 juta. Untuk empat korban jadi Rp100 juta.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Humas Poldasu AKBP Raden Heru Prakoso menjelaskan, dari ke-14 korban meninggal, khusus Adinda Pratiwi ditemukan Senin (27/6) pukul 08.00 WIB dan Refki Anugerah pukul 10.30 WIB.
Dijelaskannya, korban didominasi perempuan dan anak-anak. Sebab, sebelum bus tersebut masuk jurang sebagian penumpang khususnya laki-laki dewasa diminta supir dan kernet agar turun supaya beban kendaraan tidak terlalu berat. Sebab, jalanan mendaki dan licin akibat baru turun hujan.
Dijabarkan Heru, kronologis peristiwa maut tersebut berawal sekira delapan kilometer sebelum Aek Lotung, bus sempat mogok, Sabtu (25/6) kira-kira pukul 01.00 WIB. Kemudian diperbaiki dan mendekati Aek Lotung, supir meminta sebagian dari 65 penumpang turun agar beban bus tidak terlalu berat sebab jalanan mendaki. Beberapa penumpang terdiri dari kaum lelaki dewasa turun dan bus mulai mendaki jalanan yang licin. Di tengah jalan, bus tak kuat melanjutkan perjalanan dan kendaraan mundur hingga tercebur ke sungai. “Seluruh korban tewas akibat tenggelam dan saat ini kita fokus mencari keberadaan supir dan kernet yang diduga melarikan diri pasca peristiwa itu,” tegasnya.
Informasi sebelumnya menyebutkan, kondisi mobil sudah mengalami kerusakan sebelum berangkat dari Medan tetapi sebelumnya telah diperbaiki. Selain itu, sparepart juga dibawa untuk mengantisipasi kemungkinan kerusakan terulang. Keterangan lain juga menyebutkan, bus tersebut mengalami kerusakan pada as roda belakang.(ari)