MEDAN, SUMUTPOS.CO – Banyak yang terkejut melihat keterlibatan pelajar SMA dan SMK dalam aksi unjuk rasa. Bahkan, para pelajar tersebut jauh lebih militan dibandingkan dengan mahasiswa.
Meski dipandang dengan kebiasaan buruk mereka yang melakukan tawuran, hal ini menjadikan pribadi yang lebih militann
Keterlibatan para remaja di bawah umur yang bahkan banyak belum memiliki hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang menyebabkan mereka mau terlibat dalam demonstrasi?
Menurut Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA), Irna Minauli, jika dilihat dari generasi kelahirannya maka anak-anak pelajar ini termasuk dalam generasi milennial.
Mereka terlahir sebagai digital native, sehingga sebagian kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh digital. “Jadi, selain menimbulkan dampak negatif seperti kemungkinan mengalami kecanduan gadget, namun hal ini juga menimbulkan banyak remaja menjadi lebih melek politik,” ujarnya, Jumat (27/9).
Penelitian yang dilakukan oleh Associated Press pada tahun 2016 tentang keterlibatan remaja dalam politik menemukan hal-hal menarik. Dijelaskan Direktur Biro Minauli Consulting ini, bahwa remaja yang aktif dalam lebih dari 6 media sosial maka kepedulian mereka dalam politik menjadi lebih besar.
Remaja mulai mengembangkan ketertarikan pada politik karena mereka menyadari dan merasakan dampak dari kehidupan politik.”
Irna Minauli
Psikolog dari UMA
Terutama, pengguna Twitter yang memiliki kepedulian yang lebih besar, kemudian disusul dengan pengguna Instagram. Para remaja pengguna Facebook dan Snapchat sepertinya tidak terlalu memperlihatkan kepedulian pada politik.
“Jika dilihat secara inteligensi, mereka yang memiliki kecerdasan yang baik cenderung akan memilih Twitter dibandingkan dengan media sosial lainnya. Remaja yang mengikuti Twitter akan lebih update dalam masalah keseharian dan politik karena mereka akan disuguhi dengan apa yang sedang menjadi trending topic. Hal inilah yang membuat minat remaja terhadap politik menjadi semakin berkembang,” terangnya.
Sehingga bisa dinilai bahwa remaja yang sering ikut menandatangani petisi yang banyak dilakukan di media sosial, juga memiliki ketertarikan terhadap politik dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah menandatangani petisi.
Selain dari pengaruh media sosial, maka peran dari sekolah juga sangat mempengaruhi minat remaja terhadap politik. Sekolah-sekolah yang menyediakan mata pelajaran semacam PPKN atau pendidikan kewarganegaraan lain, terlebih jika guru memberi tugas yang mengharuskan siswa mencari materi yang sedang hits, serta mendiskusikan di dalam kelas, membuat remaja lebih peduli terhadap politik.
“Pada dasarnya remaja mulai mengembangkan ketertarikan pada politik karena mereka menyadari dan merasakan dampak dari kehidupan politik. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sulit seperti saat ini, mereka mungkin merasakan bahwa uang jajan yang mereka terima dari orangtua tidak lagi bisa membeli sebanyak yang bisa mereka beli sebelumnya,” jelasnya.
Namun, pada kasus anak-anak ini tampaknya pengaruh whatsapp group sangat berperan. Peran media sosial tersebut sangat masif dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan politik. Remaja yang terlibat dalam kelompok itu dan heterogen, akan lebih mudah dalam melihat politik dari berbagai perspektif.
Sementara itu, para remaja yang tergabung dalam kelompok aliran politik yang homogen akan memiliki identitas aliansi politik yang lebih jelas. “Selain itu, pengaruh para influencer muda yang berbicara masalah politik juga turut mempengaruhi kepedulian remaja terhadap politik saat ini,” pungkasnya. (ris)