24.6 C
Medan
Sunday, January 19, 2025

Mafia Tanah di Lahan Tol Medan-Binjai Ditangkap, Ganti Rugi Lahan Tunggu Inkrah

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tertangkapnya empat tersangka kasus dugaan pemalsuan surat tanah (grand sultan) seluas 150 hektare dalam proyek lahan tol Medan-Binjai, persisnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir oleh Polda Sumut, tidak memengaruhi proses konsinyasi (ganti rugi) pembebasan lahan. Pengadilan Negeri Medan menegaskan, proses ganti belum bisa dilakukan, selama kasus dugaan pemalsuan itu belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).

“APAKAH surat tanah Grand Sultan itu palsu atau tidak, tunggu nanti hasil peradilan pidana. Inilah yang sedang diproses di Polda (Sumut),” ujar Humas PN Medan, Jamaluddin, kepada wartawan, Kamis (27/12).

Banding ke Pengadilan Tinggi (PT) yang dilakukan para ahli waris Grand Sultan, menurut Jamaluddin, juga tidak akan mempengaruhi putusan walaupun salah satu pihak ditetapkan menjadi tersangka.

“Kan keputusannya ada di hakim tinggi. Mereka yang memutuskan sesuai bukti-bukti yang kita kirim ke sana, apakah nanti ditolak atau diterima,” jelasnya.

Jamaluddin mengaku, uang konsinyasi yang dititipkan di PN Medan, bisa diambil yang berhak, dengan catatan sudah ada putusan perdata tanah itu menjadi milik siapa. “Itu dituangkan dalam bentuk putusan, karena ini sudah terjadi kasus,” tandasnya.

Terpisah, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) mengatakan telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) para tersangka kasus dugaan pemalsuan surat tanah (Grand Sultan), dari Polda Sumut.

Kejatisu menerima empat SPDP tersangka, yakni milik pengacara, AA, dan tiga warga sipil yakni TAT, TI, dan TA. “Keempat SPDP nya kita terima sudah dari seminggu lalu,” ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu Sumanggar Siagian.

Menurut Sumanggar, Polda Sumut masih harus melengkapi berkas para tersangka. Pihaknya akan memberi waktu 30 hari ke depan untuk menyiapkannya. “Masih banyak pemeriksaan-pemeriksaan tambahan. Intinya SPDP sudah kita terima. Waktu untuk melengkapinya sampai 30 hari ke depan,” lanjut Sumanggar.

Kejatisu juga sudah menunjuk jaksa yang akan meneliti perkara keempat tersangka. “Jaksanya Indra dan Randi Tambunan,” sebut Sumanggar.

Sebelumnya, empat tersangka ditangkap Polda Sumut dalam dugaan pemalsuan tanah Grand Sultan, di Desa Tanjungmulia Hilir, Medan Deli, Medan. Para tersangka melakukan gugatan perdata menggunakan surat tanah Grand Sultan palsu. Akibatnya, pembangunan jalan tol Medan-Binjai menjadi terhambat.

Modus para pelaku, yakni dengan memalsukan foto kopi dokumen Grand Sultan atas lahan tersebut. Selanjutnya, mereka meminta keterangan dari BPN. Tapi surat jawaban BPN itu dipalsukan, lalu ditempelkan pada dokumen yang dibuat sendiri. Laporan atas dugaan pemalsuan surat tersebut diterima Polda Sumut pada Oktober 2018.

Masyarakat Desak Ganti Rugi Segera Direalisasikan

Terpisah, masyarakat yang tinggal di atas lahan yang dipersengketakan di atas lahan tol Seksi I Tanjungmulia, berharap agar hak ganti rugi pembebasan lahan segera direalisasikan.

“Kami sangat berterima kasih, akhirnya mafia tanah yang menghalangi pembayaran ganti rugi kami terbongkar. Harapan kami, agar pembayaran ganti rugi yang terkendala selama 2 tahun, segera terealisasi,” ungkap warga, Saut Simaremare, Kamis (27/12).

Dijelaskan pria yang ikut di tim Forum Masyarakat Kawat Tanjung Mulia Bersatu, sesuai ketetapan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ganti rugi diberikan dengan persentase 70 persen untuk masyarakat dan 30 persen pemilik surat hak milik (SHM).

Artinya, masyarakat yang sudah mendiami lahan selama ratusan tahun, harus menerima hak ganti rugi sebesar 70 persen. Selama ini, dari 378 KK yang terkena imbas gugatan di PN Medan, sudah masuk tahap nominatif selama 3 kali periode.

Selama proses pembayaran yang terhambat, dari 378 KK warga di sana, tahap nominatif pertama sebanyak 20 KK, kedua 45 KK, dan ketiga 70 KK.

Untuk itu, warga mendesak untuk menuntaskan sisa nominatif, agar tidak ada lagi mafia tanah yang menunggangi hak ganti rugi masyarakat. “Kami mau, segera dilakukan kembali nominatif terakhir untuk sisa yang belum diproses. Agar pembayaran segera terealisasi,” ungkat Saut.

Menurut Saut, pemalsuan Grand Sultan adalah bentuk kelicikan Afrizon Cs dalam mengelabui penegak hukum, untuk mengambil keuntungan dari hak ganti rugi. Seharusnya, kata dia, selama proses gugatan berjalan, PN Medan melibatkan masyarakat yang mengetahui tentang lahan tersebut.

“Ketika PN Medan memenangkan pemilik Grand Sultan, kita sebagai masyarakat yang sudah menempati lahan sejak tahun 1920, tidak pernah dilibatkan. Kalau dari awal kita diikutkan, kasus ini sudah terungkap dari kemarin,” sebut pria berusia 63 tahun ini.

Harapannya, ke depan penegak hukum lebih teliti menyikapi masalah kasus tanah. Karena peran mafia tanah terus berkembang di masyarakat.

“Kami masyarakat sangat dirugikan dengan adanya gugatan kemarin. Pembayaran kami jadi tertunda. Ini akibat ulah mafia tanah. Kalau memang mau gugat, kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru menggugat saat ada pembebasan lahan. Kalau kita lihat, ada unsur mengambil kepentingan oleh mafia tanah,” beber Saut.

Senada, Edy warga yang sama, meminta pejabat berwenang untuk segera merealisasikan ganti rugi kepada masyarakat. Sehingga mafia tanah tidak lagi menghalangi pembayaran.

“Kita masyarakat tidak pernah menghalangi pembangunan proyek nasional. Hanya saja, selama hak kita belum diberikan, kita terus mendesak. Dengan terungkapnya mafia tanah ini, kita berharap ganti rugi segera dibayarkan agar pembangunan tol dapat segera tuntas,” kata Edy.

Amatan Sumut Pos di lapangan, progres pembangunan tol seksi I sudah masuk tahap pengembangan ke kawasan laham 378 KK, yang kini masih tahap pembayaran. Pondasi jalan tol sudah mendekati areal yang bakal dilakukan pembebasan.

Pondasi yang berdiri mengelilingi lahan yang belum terbayarkan, kemungkinan besar dalam waktu dekat usai pembayaran ganti rugi, sisa lahan yang dikuasai 378 KK akan segera dilakukan pembebasan guna mempercepat kerampungam jalan tol tersebut.

Dewan: Mafia Tanah di Sumut Tersistem & Massif

Penangkapan sejumlah tersangka penipuan dalam proyek pembebasan lahan jalan tol Medan-Binjai di Seksi 1 Tanjung Mulia oleh Polda Sumut, mendapat apresiasi dari anggota DPRD Sumut. Dewan meyakini, ada sindikasi mafia tanah di sana.

Ketua Komisi A DPRD Sumut, HM Nezar Djoeli, mengatakan Poldasu berhasil membongkar sindikasi yang diduga melibatkan oknum di BPN dan mafia tanah. Menurutnya, kasus ini tidak mungkin hanya melihatkan segelintir orang.

“Tidak mungkin sendiri. Kanwil BPN (Badan Pertanahan Nasional) harus bertanggung jawab. Karena diduga ini tidak lepas dari pengetahuan pimpinannya. Walaupun katanya yang melakukan itu oknum,” ujar Nezar kepada Sumut Pos, Kamis (27/12).

Menurut Nezar, perbuatan melakukan pemalsuan surat atau identitas kepemilikan tanah memang dilakukan oknum tertentu. Namun Komisi A telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan memanggil sejumlah pihak. Termasuk ahli waris yang kini menjadi tersangka, berikut pengacara bernama Afrijon.

“Saya sudah minta pengacara menjelaskan, berapa sebenarnya ahli waris dari Sultan Deli, serta bagaimana kepemilikan surat. Kami tidak mau terjebak permainan. Makanya kami minta BPN memeriksa soal ini,” jelasnya.

Dalam RDP dengan ahli waris dan pengacara saat itu, Komisi A DPRD Sumut berharap agar program pemerintah tidak sampai merugikan masyarakat. BPN sebagai Ketua Tim Satgas Pembebasan Lahan diingatkan untuk memberikan data-data siapa saja pemilik lahan yang terkena pembebasan pembangunan jalan tol. Begitu juga dengan pak Camat dan Pak Lurah agar memberi data jika ada surat-surat silang sengketa.

Menurut Nezar, pendapat yang menyebut BPN kecolongan, tidak tepat. Karena masalah pembebasan lahan jalan tol itu seperti tersistem, terstruktur, dan massif. Untuk itu, pihaknya minta Kepolisian menginvestigasi persoalan ini hingga tuntas.

“Tak mungkin cuma satu orang saja. Pasti banyak yang terbawa (terlibat). Karena oknum tidak bisa bekerja sendiri di institusi negara. Pasti ada yang membeking. Kita tidak paham, tetapi kita minta didalami. Jangan sampai di sini saja,” sebutnya.

Jalan tol, menurut Nezar, sangat membantu masyarakat khususnya meningkatkan perekonomian melalui jalur distribusi bebas hambatan. “Yang terpenting, proyek jalan tol secepatnya dilanjutkan,” pungkasnya.

Selain anggota DPRD, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi juga memberi apresiasi kepada jajaran Polda Sumut yang menangkap tersangka mafia tanah jalan tol. Ia menegaskan, siapapun oknum yang bersalah, sudah sepantasnya ditangkap bahkan dihukum.

“Kalau dia salah, pasti ditangkap, tapi kalau tak salah tak akan ditangkap,” katanya menjawab wartawan di Kantor Gubsu, Medan, Kamis (27/12).

Edy mengisyaratkan kepada para mafia tanah ataupun ada oknum-oknum lain yang mencoba melawan hukum dengan menghambat proyek pembangunan di Sumut, agar berpikir ulang melakukan perbuatannya.

Tak lupa pada kesempatan itu ia turut mengapresiasi kinerja jajaran Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, yang sudah membantu pihak kepolisian dalam pengusutan mafia tanah pada proyek jalan tol Medan-Binjai. Menurutnya, BPN merupakan lembaga resmi negara yang paling tahu urusan pertanahan termasuk asal usul kepemilikannya.

“Ya, memang kalau urusan sertifikat tanah itu ranahnya BPN. Mereka yang bisa menjelaskan dan membuktikan pada masyarakat, asal usul dan status tanah tersebut. Jadi patut kita berikan apresiasi,” katanya.

Sebelumnya, Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono mengatakan, pihaknya optimis pengerjaan ruas tol Medan-Binjai seksi I, Tanjung Mulia-Helvetia tuntas tahun ini.

Menurut dia, permasalahan ganti rugi yang belum tuntas selama ini lantaran terdapat 11 gugatan perdata di Pengadilan Negeri Medan. “Munculnya 11 gugatan disebabkan adanya sembilan pemegang Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas lahan tersebut. Di lahan ini muncul delapan sertifikat dengan sembilan nama pemilik yang kini sedang berproses gugatan di pengadilan. Totalnya ada 11 gugatan perdata. Sepuluh di PN Medan dan satu di PTUN Jakarta. Satu gugatan sedang tahap banding dan satu lagi gugatannya kalah dan terindikasi perbuatan pidana. Ini juga sudah dilaporkan ke Poldasu dalam rangka mafia tanah,” paparnya.

Selaku Ketua Panitia Pengadaan Tanah Jalan Tol Medan-Binjai, ia menegaskan sudah menjalankan amanah Menteri ATR/BPN No 4405/50/XII/2017 tertanggal 7 Desember 2017, perihal penyelesaian Permasalahan Pengadaan Tanah Jalan Tol Medan-Binjai. Dimana pihaknya, Pemko Medan dan Pemprovsu diminta menggunakan kewenangan sesuai UU No 23/2014 tentang Pemda, dalam menyelesaikan ganti rugi dengan porsi 70 persen kepada masyarakat kampung tua yang menguasai tanah dan 30 persen kepada pemegang sertifikat dan ahli waris pemegang Grant Sultan.

“Baik pemegang sertifikat, pemilik bangunan dan penggarap diberi porsi masing-masing 70 persen dan 30 persen. Namun selaku ketua pengadaan tanah, saya tidak mau membayar begitu saja sementara masih banyak perkara gugatan di PN Medan yang belum selesai. Kami tak mau blunder akan hal ini,” katanya.

Tak hanya gugatan di PN Medan saja, permasalahan ini juga bergulir di PTUN Jakarta. Yakni adanya gugatan oleh ahli waris Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah (Sultan Deli X) pada 3 Desember 2017, terhadap pihak Kementerian PUPR dan BPN untuk dilakukan penitipan uang ganti kerugian ke PN. “Putusan PN Medan pada 18 Juli 2018 menerima atas gugatan tersebut (dimenangkan ahli waris) yang mengakibatkan penyelesaian pengadaan tanah untuk jalan tol Medan-Binjai seksi I menjadi stagnan. Saat ini, Kementerian PUPR dan BPN telah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Sumut (masih dalam proses banding),” ungkapnya.

BPN mencatat, progres proyek jalan tol Medan-Binjai sudah dikerjakan sepanjang 22.825 kilometer, dan sisanya 2.616 kilometer atau hanya 7,36 persen saja. Sementara pada seksi II dan seksi III, yakni Helvetia-Sei Semayang dan Sei Semayang-Binjai. Praktis hanya tersangkut di seksi I yaitu Tanjung Mulia-Helvetia dengan panjang 6,071 kilometer atau sudah dikerjakan dengan progres 74,66 persen. “Yang menggugat, ya itu-itu saja orangnya. Yang herannya, dulu waktu belum ada kegiatan pembangunan jalan tol tidak ada gugatan. Sekarang kok ada. Ya, mungkin saja tergiur akan ganti ruginya. Negara gak boleh kalah sama orang yang menganggu kegiatan pembangunan strategis Nasional,” pungkasnya. (man/fac/prn/bal)

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tertangkapnya empat tersangka kasus dugaan pemalsuan surat tanah (grand sultan) seluas 150 hektare dalam proyek lahan tol Medan-Binjai, persisnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir oleh Polda Sumut, tidak memengaruhi proses konsinyasi (ganti rugi) pembebasan lahan. Pengadilan Negeri Medan menegaskan, proses ganti belum bisa dilakukan, selama kasus dugaan pemalsuan itu belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).

“APAKAH surat tanah Grand Sultan itu palsu atau tidak, tunggu nanti hasil peradilan pidana. Inilah yang sedang diproses di Polda (Sumut),” ujar Humas PN Medan, Jamaluddin, kepada wartawan, Kamis (27/12).

Banding ke Pengadilan Tinggi (PT) yang dilakukan para ahli waris Grand Sultan, menurut Jamaluddin, juga tidak akan mempengaruhi putusan walaupun salah satu pihak ditetapkan menjadi tersangka.

“Kan keputusannya ada di hakim tinggi. Mereka yang memutuskan sesuai bukti-bukti yang kita kirim ke sana, apakah nanti ditolak atau diterima,” jelasnya.

Jamaluddin mengaku, uang konsinyasi yang dititipkan di PN Medan, bisa diambil yang berhak, dengan catatan sudah ada putusan perdata tanah itu menjadi milik siapa. “Itu dituangkan dalam bentuk putusan, karena ini sudah terjadi kasus,” tandasnya.

Terpisah, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) mengatakan telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) para tersangka kasus dugaan pemalsuan surat tanah (Grand Sultan), dari Polda Sumut.

Kejatisu menerima empat SPDP tersangka, yakni milik pengacara, AA, dan tiga warga sipil yakni TAT, TI, dan TA. “Keempat SPDP nya kita terima sudah dari seminggu lalu,” ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu Sumanggar Siagian.

Menurut Sumanggar, Polda Sumut masih harus melengkapi berkas para tersangka. Pihaknya akan memberi waktu 30 hari ke depan untuk menyiapkannya. “Masih banyak pemeriksaan-pemeriksaan tambahan. Intinya SPDP sudah kita terima. Waktu untuk melengkapinya sampai 30 hari ke depan,” lanjut Sumanggar.

Kejatisu juga sudah menunjuk jaksa yang akan meneliti perkara keempat tersangka. “Jaksanya Indra dan Randi Tambunan,” sebut Sumanggar.

Sebelumnya, empat tersangka ditangkap Polda Sumut dalam dugaan pemalsuan tanah Grand Sultan, di Desa Tanjungmulia Hilir, Medan Deli, Medan. Para tersangka melakukan gugatan perdata menggunakan surat tanah Grand Sultan palsu. Akibatnya, pembangunan jalan tol Medan-Binjai menjadi terhambat.

Modus para pelaku, yakni dengan memalsukan foto kopi dokumen Grand Sultan atas lahan tersebut. Selanjutnya, mereka meminta keterangan dari BPN. Tapi surat jawaban BPN itu dipalsukan, lalu ditempelkan pada dokumen yang dibuat sendiri. Laporan atas dugaan pemalsuan surat tersebut diterima Polda Sumut pada Oktober 2018.

Masyarakat Desak Ganti Rugi Segera Direalisasikan

Terpisah, masyarakat yang tinggal di atas lahan yang dipersengketakan di atas lahan tol Seksi I Tanjungmulia, berharap agar hak ganti rugi pembebasan lahan segera direalisasikan.

“Kami sangat berterima kasih, akhirnya mafia tanah yang menghalangi pembayaran ganti rugi kami terbongkar. Harapan kami, agar pembayaran ganti rugi yang terkendala selama 2 tahun, segera terealisasi,” ungkap warga, Saut Simaremare, Kamis (27/12).

Dijelaskan pria yang ikut di tim Forum Masyarakat Kawat Tanjung Mulia Bersatu, sesuai ketetapan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ganti rugi diberikan dengan persentase 70 persen untuk masyarakat dan 30 persen pemilik surat hak milik (SHM).

Artinya, masyarakat yang sudah mendiami lahan selama ratusan tahun, harus menerima hak ganti rugi sebesar 70 persen. Selama ini, dari 378 KK yang terkena imbas gugatan di PN Medan, sudah masuk tahap nominatif selama 3 kali periode.

Selama proses pembayaran yang terhambat, dari 378 KK warga di sana, tahap nominatif pertama sebanyak 20 KK, kedua 45 KK, dan ketiga 70 KK.

Untuk itu, warga mendesak untuk menuntaskan sisa nominatif, agar tidak ada lagi mafia tanah yang menunggangi hak ganti rugi masyarakat. “Kami mau, segera dilakukan kembali nominatif terakhir untuk sisa yang belum diproses. Agar pembayaran segera terealisasi,” ungkat Saut.

Menurut Saut, pemalsuan Grand Sultan adalah bentuk kelicikan Afrizon Cs dalam mengelabui penegak hukum, untuk mengambil keuntungan dari hak ganti rugi. Seharusnya, kata dia, selama proses gugatan berjalan, PN Medan melibatkan masyarakat yang mengetahui tentang lahan tersebut.

“Ketika PN Medan memenangkan pemilik Grand Sultan, kita sebagai masyarakat yang sudah menempati lahan sejak tahun 1920, tidak pernah dilibatkan. Kalau dari awal kita diikutkan, kasus ini sudah terungkap dari kemarin,” sebut pria berusia 63 tahun ini.

Harapannya, ke depan penegak hukum lebih teliti menyikapi masalah kasus tanah. Karena peran mafia tanah terus berkembang di masyarakat.

“Kami masyarakat sangat dirugikan dengan adanya gugatan kemarin. Pembayaran kami jadi tertunda. Ini akibat ulah mafia tanah. Kalau memang mau gugat, kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru menggugat saat ada pembebasan lahan. Kalau kita lihat, ada unsur mengambil kepentingan oleh mafia tanah,” beber Saut.

Senada, Edy warga yang sama, meminta pejabat berwenang untuk segera merealisasikan ganti rugi kepada masyarakat. Sehingga mafia tanah tidak lagi menghalangi pembayaran.

“Kita masyarakat tidak pernah menghalangi pembangunan proyek nasional. Hanya saja, selama hak kita belum diberikan, kita terus mendesak. Dengan terungkapnya mafia tanah ini, kita berharap ganti rugi segera dibayarkan agar pembangunan tol dapat segera tuntas,” kata Edy.

Amatan Sumut Pos di lapangan, progres pembangunan tol seksi I sudah masuk tahap pengembangan ke kawasan laham 378 KK, yang kini masih tahap pembayaran. Pondasi jalan tol sudah mendekati areal yang bakal dilakukan pembebasan.

Pondasi yang berdiri mengelilingi lahan yang belum terbayarkan, kemungkinan besar dalam waktu dekat usai pembayaran ganti rugi, sisa lahan yang dikuasai 378 KK akan segera dilakukan pembebasan guna mempercepat kerampungam jalan tol tersebut.

Dewan: Mafia Tanah di Sumut Tersistem & Massif

Penangkapan sejumlah tersangka penipuan dalam proyek pembebasan lahan jalan tol Medan-Binjai di Seksi 1 Tanjung Mulia oleh Polda Sumut, mendapat apresiasi dari anggota DPRD Sumut. Dewan meyakini, ada sindikasi mafia tanah di sana.

Ketua Komisi A DPRD Sumut, HM Nezar Djoeli, mengatakan Poldasu berhasil membongkar sindikasi yang diduga melibatkan oknum di BPN dan mafia tanah. Menurutnya, kasus ini tidak mungkin hanya melihatkan segelintir orang.

“Tidak mungkin sendiri. Kanwil BPN (Badan Pertanahan Nasional) harus bertanggung jawab. Karena diduga ini tidak lepas dari pengetahuan pimpinannya. Walaupun katanya yang melakukan itu oknum,” ujar Nezar kepada Sumut Pos, Kamis (27/12).

Menurut Nezar, perbuatan melakukan pemalsuan surat atau identitas kepemilikan tanah memang dilakukan oknum tertentu. Namun Komisi A telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan memanggil sejumlah pihak. Termasuk ahli waris yang kini menjadi tersangka, berikut pengacara bernama Afrijon.

“Saya sudah minta pengacara menjelaskan, berapa sebenarnya ahli waris dari Sultan Deli, serta bagaimana kepemilikan surat. Kami tidak mau terjebak permainan. Makanya kami minta BPN memeriksa soal ini,” jelasnya.

Dalam RDP dengan ahli waris dan pengacara saat itu, Komisi A DPRD Sumut berharap agar program pemerintah tidak sampai merugikan masyarakat. BPN sebagai Ketua Tim Satgas Pembebasan Lahan diingatkan untuk memberikan data-data siapa saja pemilik lahan yang terkena pembebasan pembangunan jalan tol. Begitu juga dengan pak Camat dan Pak Lurah agar memberi data jika ada surat-surat silang sengketa.

Menurut Nezar, pendapat yang menyebut BPN kecolongan, tidak tepat. Karena masalah pembebasan lahan jalan tol itu seperti tersistem, terstruktur, dan massif. Untuk itu, pihaknya minta Kepolisian menginvestigasi persoalan ini hingga tuntas.

“Tak mungkin cuma satu orang saja. Pasti banyak yang terbawa (terlibat). Karena oknum tidak bisa bekerja sendiri di institusi negara. Pasti ada yang membeking. Kita tidak paham, tetapi kita minta didalami. Jangan sampai di sini saja,” sebutnya.

Jalan tol, menurut Nezar, sangat membantu masyarakat khususnya meningkatkan perekonomian melalui jalur distribusi bebas hambatan. “Yang terpenting, proyek jalan tol secepatnya dilanjutkan,” pungkasnya.

Selain anggota DPRD, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi juga memberi apresiasi kepada jajaran Polda Sumut yang menangkap tersangka mafia tanah jalan tol. Ia menegaskan, siapapun oknum yang bersalah, sudah sepantasnya ditangkap bahkan dihukum.

“Kalau dia salah, pasti ditangkap, tapi kalau tak salah tak akan ditangkap,” katanya menjawab wartawan di Kantor Gubsu, Medan, Kamis (27/12).

Edy mengisyaratkan kepada para mafia tanah ataupun ada oknum-oknum lain yang mencoba melawan hukum dengan menghambat proyek pembangunan di Sumut, agar berpikir ulang melakukan perbuatannya.

Tak lupa pada kesempatan itu ia turut mengapresiasi kinerja jajaran Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, yang sudah membantu pihak kepolisian dalam pengusutan mafia tanah pada proyek jalan tol Medan-Binjai. Menurutnya, BPN merupakan lembaga resmi negara yang paling tahu urusan pertanahan termasuk asal usul kepemilikannya.

“Ya, memang kalau urusan sertifikat tanah itu ranahnya BPN. Mereka yang bisa menjelaskan dan membuktikan pada masyarakat, asal usul dan status tanah tersebut. Jadi patut kita berikan apresiasi,” katanya.

Sebelumnya, Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono mengatakan, pihaknya optimis pengerjaan ruas tol Medan-Binjai seksi I, Tanjung Mulia-Helvetia tuntas tahun ini.

Menurut dia, permasalahan ganti rugi yang belum tuntas selama ini lantaran terdapat 11 gugatan perdata di Pengadilan Negeri Medan. “Munculnya 11 gugatan disebabkan adanya sembilan pemegang Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas lahan tersebut. Di lahan ini muncul delapan sertifikat dengan sembilan nama pemilik yang kini sedang berproses gugatan di pengadilan. Totalnya ada 11 gugatan perdata. Sepuluh di PN Medan dan satu di PTUN Jakarta. Satu gugatan sedang tahap banding dan satu lagi gugatannya kalah dan terindikasi perbuatan pidana. Ini juga sudah dilaporkan ke Poldasu dalam rangka mafia tanah,” paparnya.

Selaku Ketua Panitia Pengadaan Tanah Jalan Tol Medan-Binjai, ia menegaskan sudah menjalankan amanah Menteri ATR/BPN No 4405/50/XII/2017 tertanggal 7 Desember 2017, perihal penyelesaian Permasalahan Pengadaan Tanah Jalan Tol Medan-Binjai. Dimana pihaknya, Pemko Medan dan Pemprovsu diminta menggunakan kewenangan sesuai UU No 23/2014 tentang Pemda, dalam menyelesaikan ganti rugi dengan porsi 70 persen kepada masyarakat kampung tua yang menguasai tanah dan 30 persen kepada pemegang sertifikat dan ahli waris pemegang Grant Sultan.

“Baik pemegang sertifikat, pemilik bangunan dan penggarap diberi porsi masing-masing 70 persen dan 30 persen. Namun selaku ketua pengadaan tanah, saya tidak mau membayar begitu saja sementara masih banyak perkara gugatan di PN Medan yang belum selesai. Kami tak mau blunder akan hal ini,” katanya.

Tak hanya gugatan di PN Medan saja, permasalahan ini juga bergulir di PTUN Jakarta. Yakni adanya gugatan oleh ahli waris Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah (Sultan Deli X) pada 3 Desember 2017, terhadap pihak Kementerian PUPR dan BPN untuk dilakukan penitipan uang ganti kerugian ke PN. “Putusan PN Medan pada 18 Juli 2018 menerima atas gugatan tersebut (dimenangkan ahli waris) yang mengakibatkan penyelesaian pengadaan tanah untuk jalan tol Medan-Binjai seksi I menjadi stagnan. Saat ini, Kementerian PUPR dan BPN telah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Sumut (masih dalam proses banding),” ungkapnya.

BPN mencatat, progres proyek jalan tol Medan-Binjai sudah dikerjakan sepanjang 22.825 kilometer, dan sisanya 2.616 kilometer atau hanya 7,36 persen saja. Sementara pada seksi II dan seksi III, yakni Helvetia-Sei Semayang dan Sei Semayang-Binjai. Praktis hanya tersangkut di seksi I yaitu Tanjung Mulia-Helvetia dengan panjang 6,071 kilometer atau sudah dikerjakan dengan progres 74,66 persen. “Yang menggugat, ya itu-itu saja orangnya. Yang herannya, dulu waktu belum ada kegiatan pembangunan jalan tol tidak ada gugatan. Sekarang kok ada. Ya, mungkin saja tergiur akan ganti ruginya. Negara gak boleh kalah sama orang yang menganggu kegiatan pembangunan strategis Nasional,” pungkasnya. (man/fac/prn/bal)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/