30 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Kemana Kedua Kaki Adik Kami?

Pemakaman Dua Korban Tewas Dibakar di Kutalimbaru

Kematian Ricardo Sitorus SE dan Marco Siregar munculkan kesedihan yang tak berkesudahan bagi keluarga masing-masing. Selain penuh tangis, kebingungan keluarga tentang pengusutan kasus tersebut pun begitu tampak.

“Kami sudah bingung dan tidak tahu lagi harus melapor ke mana lagi. Kami berharap agar para pelaku diperiksa sesuai kenyataan yang ada dan sesuai dengan prosedur, “ kata abangnya Marco Siregar  yang bekerja di Kemenkumhan saat disambangi Sumut Pos di rumah duka Jalan Perkutut, Lorong Gereja I, Kecamatan Medan Helvetia, Selasa (28/2) siang.

Marco, kemarin, dimakamkan di Pemakaman Umum Seibedera Jalan Asrama, Medan, dengan kondisi tubuh yang tewas dengan mengenaskan. “Tindakan masyarakat bermain hakim sendiri tidak bisa dibuktikan, satu bukti pun tidak ada. Akhirnya adik saya mati dengan tragis. Yang menjadi pertanyaan kami kemana kedua kaki adik saya yang sudah terpotong cantik dari pahanya,” ungkapnya.

Pihak keluarga menuding aksi dari amuk massa tersebut sudah terkoodinir yang melakukan tindakan tanpa manusiawi. “Kenapa hanya dua yang bisa menjadi korban sedangkan ketiganya dapat selamat, “ tegasnya.

Dikatakannya, pihak keluarga belum puas menerima kematian adiknya tanpa mengetahui penyebab sebenarnya. “Kami mau berbuat apalagi, karena sudah terjadi. Tapi kami belum puas dengan tanpa mengetahui penyebab pasti kematian adik saya. Karena sangat tidak logika atas kematian adik saya,” cetusnya meminta agar media memberitakan peristiwa ini sesuai dengan fakta.

Di keluarga Ricardo Sitorus, situasi tak jauh berbeda. Jenazah Ricardo dikelilingi oleh ibunya, Posmaria br Sibarani dan keluarga lainnya. Sementara, sang ayah, Sabam Sitorus, terduduk lemas di atas kursi plastik berwarna biru memandangi peti jenazah sang anak.

Usai keluarga dan sanak famili yang lainnya menyalami keluarga, peti jenazah pun diangkat. Saat peti jenazah hendak diangkat, Rikki (adik Ricardo) tak memberi peti jenazah abangnya itu untuk diangkat. “Jangan kalian angkat, dia itu abangku. Dia itu sayang sama kami. Mau dibawa kemana. Biar abangku disini,” tangis Rikki.

Tak hanya itu, Rina (adik Ricardo yang lain) terjatuh dan lemas. “Kenapa kau pergi Abang… Kok kau tinggal adik-adikmu ini Bang… Kau baik sama kami Bang…” tangis Rina sambil duduk lemas di atas kursi plastik.

Kesedihan keluarga semakin kental terasa, ketika mengenang kembali saat di mana seharusnya Ricardo telah menerima pengangkatannya sebagai karyawan PTPN III sejak beberapa hari lalu. “Seharusnya kemarin (Senin, 27/2)  Ricardo kami antarkan ke Langkat untuk pengangkatan dirinya sebagai karyawan PTPN III. Namun siapa sangka kalau ini adalah jawaban yang harus kami terima,” ungkap sang ayah Sabam Sitorus.

Sang ayah yang merupakan dosen Kopertis dan Pembantu Rektor Universitas Setia Budi Mandiri ini menuntut agar kepolisian segera mengusut tuntas kasus yang telah menghabiskan nyawa anaknya. “Kapolri, tolong tuntaskan dengan setuntas-tuntasnya dan secepatnya agar tidak terulang lagi kenakalan seperti ini. Kita mau meluruskan bagaimana sebenarnya yang lurus itu agar dapat dijalankan seyogianya,” tegas Sabam Sitorus.

Tangis haru tak hanya dirasakan keluarga saja, namun juga dari sejumlah tetangga yang ikut membahana memecah kesunyian rumah duka yang berlokasi Jalan Perkutut, Gang Setuju, Medan Helvetia, sejak kemarin pagi.

Bahkan kesedihan juga turut dirasakan Meta Simangunsong (25), seorang wanita berkulit hitam manis yang diketahui sebagai calon isteri korban. Tangis yang tak terbendung, pecah saat dirinya memasuki rumah duka sembari memeluk peti mati sang pariban yang direncanakan akan mempersunting dirinya.

Tak ada kalimat ratapan yang keluar dari mulut mungilnya, kecuali sebuah kekecewaan mendalam yang ditunjukan lewat raut wajah penuh rona kesedihan dan air matanya.

Sebagai Bidan di Dolok Sanggul, dan berdomisili di Sibolga, Meta yang mengaku telah mengenal korban sejak 2006 lalu itu sempat didatangi korban lewat mimpi, tepatnya dua hari sebelum kematian Ricardo.

“Sebelum kejadian, aku dua kali mimpi didatangi Ricardo. Ada apa sebenarnya dengan mimpiku ini, ak gak tau, tapi  ini ternyata adala jawabannya,” ujar wanita berkulit hitam manis, dan berambut lurus sebahu yang terkuncir rapi dan menggunakan kacamata putih.

Bahkan dari pengakuan adik Meta, Rosa (23), kakaknya memang telah memiliki rencana  menikah dengan korban Ricardo. Hanya saja waktunya belum ditentukan karena masih menunggu kepastian dari pihak laki-laki.

“Amangboru pernah bilang mau menjadikan kakakku (Meta) sebagai menantunya. Dan Bang Ricardo juga sudah menyukainya. Tapi apa mau dikata mungkin kejadian ini sudah menjadi kehendak tuhan,”ucap Rosa yang juga menyebutkan jika kakaknya telah melewati proses antaran. (uma/adl/rud/jon)

Pemakaman Dua Korban Tewas Dibakar di Kutalimbaru

Kematian Ricardo Sitorus SE dan Marco Siregar munculkan kesedihan yang tak berkesudahan bagi keluarga masing-masing. Selain penuh tangis, kebingungan keluarga tentang pengusutan kasus tersebut pun begitu tampak.

“Kami sudah bingung dan tidak tahu lagi harus melapor ke mana lagi. Kami berharap agar para pelaku diperiksa sesuai kenyataan yang ada dan sesuai dengan prosedur, “ kata abangnya Marco Siregar  yang bekerja di Kemenkumhan saat disambangi Sumut Pos di rumah duka Jalan Perkutut, Lorong Gereja I, Kecamatan Medan Helvetia, Selasa (28/2) siang.

Marco, kemarin, dimakamkan di Pemakaman Umum Seibedera Jalan Asrama, Medan, dengan kondisi tubuh yang tewas dengan mengenaskan. “Tindakan masyarakat bermain hakim sendiri tidak bisa dibuktikan, satu bukti pun tidak ada. Akhirnya adik saya mati dengan tragis. Yang menjadi pertanyaan kami kemana kedua kaki adik saya yang sudah terpotong cantik dari pahanya,” ungkapnya.

Pihak keluarga menuding aksi dari amuk massa tersebut sudah terkoodinir yang melakukan tindakan tanpa manusiawi. “Kenapa hanya dua yang bisa menjadi korban sedangkan ketiganya dapat selamat, “ tegasnya.

Dikatakannya, pihak keluarga belum puas menerima kematian adiknya tanpa mengetahui penyebab sebenarnya. “Kami mau berbuat apalagi, karena sudah terjadi. Tapi kami belum puas dengan tanpa mengetahui penyebab pasti kematian adik saya. Karena sangat tidak logika atas kematian adik saya,” cetusnya meminta agar media memberitakan peristiwa ini sesuai dengan fakta.

Di keluarga Ricardo Sitorus, situasi tak jauh berbeda. Jenazah Ricardo dikelilingi oleh ibunya, Posmaria br Sibarani dan keluarga lainnya. Sementara, sang ayah, Sabam Sitorus, terduduk lemas di atas kursi plastik berwarna biru memandangi peti jenazah sang anak.

Usai keluarga dan sanak famili yang lainnya menyalami keluarga, peti jenazah pun diangkat. Saat peti jenazah hendak diangkat, Rikki (adik Ricardo) tak memberi peti jenazah abangnya itu untuk diangkat. “Jangan kalian angkat, dia itu abangku. Dia itu sayang sama kami. Mau dibawa kemana. Biar abangku disini,” tangis Rikki.

Tak hanya itu, Rina (adik Ricardo yang lain) terjatuh dan lemas. “Kenapa kau pergi Abang… Kok kau tinggal adik-adikmu ini Bang… Kau baik sama kami Bang…” tangis Rina sambil duduk lemas di atas kursi plastik.

Kesedihan keluarga semakin kental terasa, ketika mengenang kembali saat di mana seharusnya Ricardo telah menerima pengangkatannya sebagai karyawan PTPN III sejak beberapa hari lalu. “Seharusnya kemarin (Senin, 27/2)  Ricardo kami antarkan ke Langkat untuk pengangkatan dirinya sebagai karyawan PTPN III. Namun siapa sangka kalau ini adalah jawaban yang harus kami terima,” ungkap sang ayah Sabam Sitorus.

Sang ayah yang merupakan dosen Kopertis dan Pembantu Rektor Universitas Setia Budi Mandiri ini menuntut agar kepolisian segera mengusut tuntas kasus yang telah menghabiskan nyawa anaknya. “Kapolri, tolong tuntaskan dengan setuntas-tuntasnya dan secepatnya agar tidak terulang lagi kenakalan seperti ini. Kita mau meluruskan bagaimana sebenarnya yang lurus itu agar dapat dijalankan seyogianya,” tegas Sabam Sitorus.

Tangis haru tak hanya dirasakan keluarga saja, namun juga dari sejumlah tetangga yang ikut membahana memecah kesunyian rumah duka yang berlokasi Jalan Perkutut, Gang Setuju, Medan Helvetia, sejak kemarin pagi.

Bahkan kesedihan juga turut dirasakan Meta Simangunsong (25), seorang wanita berkulit hitam manis yang diketahui sebagai calon isteri korban. Tangis yang tak terbendung, pecah saat dirinya memasuki rumah duka sembari memeluk peti mati sang pariban yang direncanakan akan mempersunting dirinya.

Tak ada kalimat ratapan yang keluar dari mulut mungilnya, kecuali sebuah kekecewaan mendalam yang ditunjukan lewat raut wajah penuh rona kesedihan dan air matanya.

Sebagai Bidan di Dolok Sanggul, dan berdomisili di Sibolga, Meta yang mengaku telah mengenal korban sejak 2006 lalu itu sempat didatangi korban lewat mimpi, tepatnya dua hari sebelum kematian Ricardo.

“Sebelum kejadian, aku dua kali mimpi didatangi Ricardo. Ada apa sebenarnya dengan mimpiku ini, ak gak tau, tapi  ini ternyata adala jawabannya,” ujar wanita berkulit hitam manis, dan berambut lurus sebahu yang terkuncir rapi dan menggunakan kacamata putih.

Bahkan dari pengakuan adik Meta, Rosa (23), kakaknya memang telah memiliki rencana  menikah dengan korban Ricardo. Hanya saja waktunya belum ditentukan karena masih menunggu kepastian dari pihak laki-laki.

“Amangboru pernah bilang mau menjadikan kakakku (Meta) sebagai menantunya. Dan Bang Ricardo juga sudah menyukainya. Tapi apa mau dikata mungkin kejadian ini sudah menjadi kehendak tuhan,”ucap Rosa yang juga menyebutkan jika kakaknya telah melewati proses antaran. (uma/adl/rud/jon)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/