26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Rumput di Gunung Lebih Empuk daripada Kasur

Foto: Matthew Tandioputra For Jawa Pos Matthew Tandioputra saat berada di puncak Gunung Kerinci pada Desember 2015.
Foto: Matthew Tandioputra For Jawa Pos
Matthew Tandioputra saat berada di puncak Gunung Kerinci pada Desember 2015.

Umurnya baru 10 tahun. Tapi, sudah tiga puncak tertinggi Indonesia didaki Matthew Tandioputra. Selalu praktikkan wushu begitu sampai puncak.

—————————

Nora Sampurna, Bandung

—————————

BEGITU kakinya menginjak tanah yang cukup lapang itu, segera saja bocah tersebut mengambil ancang-ancang. Jurus wushu yang belum lama dipelajari di sekolah dipraktikkannya di sana.

Tak sedikit pun dia terlihat lelah. Padahal, untuk sampai ke tempat dia mempraktikkan jurus itu, dibutuhkan perjuangan yang sangat menguras energi.

Maklum, tanah lapang itu adalah tempat tertinggi di Jawa: Puncak Mahameru. ’’Kalau tempatnya agak luas, meragain jurus. Tapi, kadang di puncak itu sempit. Jadi, pose gerakannya aja,’’ tutur Matthew Tandioputra, si bocah tersebut, mengenang pendakiannya pada Desember 2014 itu.

Memperagakan atau berpose dengan jurus wushu merupakan cara Matthew merayakan keberhasilan mencapai puncak gunung. Ya, pada usia yang baru 10 tahun, jam terbang putra sulung pasangan Joel Tandionugroho dan Claudia tersebut sungguh mengagumkan.

Lebih dari tujuh gunung di seputaran Jawa Barat telah dia daki. Begitu pula tujuh puncak di Jawa yang diawali dengan pendakian ke Semeru tadi. Disusul Gunung Lawu (Maret 2015), Ciremai (Februari 2015), Welirang dan Arjuno (Juni 2015), Gunung Sumbing, serta Gunung Slamet (September 2015).

Perjalanan ke Semeru tersebut sekaligus menandai cita-cita pelajar SDK 3 Bina Bakti Bandung itu yang lebih besar: menggapai tujuh puncak tertinggi di tanah air. Setahun setelah Semeru atau Desember 2015, dia mendaki Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Pulau Sumatera.

Lantas, Maret lalu, bocah kelahiran Bandung pada 8 November 2005 itu mencapai Rante Mario, puncak tertinggi Pegunungan Latimojong di Sulawesi Selatan.

’’Capek sih, tapi seru naik gunung,’’ katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya di Bandung.

Semua perjalanan ke gunung itu justru bermula ketika Matthew terlihat sulit berkonsentrasi saat menginjak SD. Energinya berlebih. Dia cepat bosan kalau disuruh diam dalam waktu cukup lama.

Setelah berkonsultasi dengan pakar tumbuh kembang, disarankan untuk melakukan terapi alam.

Matthew pun lantas diperkenalkan dengan aktivitas outdoor. Dimulai dari kemping saat usianya baru sekitar lima setengah tahun. Ternyata, dia terlihat menikmati. ’’Dari kemping, lalu kenal komunitas Eiger, ikut lari, dan mengenal pendakian,’’ tutur Claudia yang mendampingi saat bertemu Jawa Pos.

Kebetulan, keluarga itu berdomisili di Bandung yang memiliki banyak dataran tinggi dan gunung. Weekend pun kerap diisi dengan aktivitas trekking dan hiking. Matthew dan sang adik, Dave, sering diajak ke lokasi kerja papanya di bidang agrobisnis di Pengalengan, Bandung.

”Kalau udah di sana, anak-anak dilepas main di kebun, senang banget mereka,” kata perempuan berambut pendek tersebut.

Kebetulan juga, Claudia dan Joel berlatar belakang pendaki dan dipertautkan di gunung. Keduanya merupakan teman satu jurusan semasa kuliah, yaitu di Biologi Universitas Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah.

Claudia dan Joel kerap ikut dalam pendakian di sekitar Jawa Tengah seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Gunung Sumbing. ”Mungkin juga ya, karena papa-mamanya ketemu di gunung, anaknya suka juga ke gunung hehehe,” kata Claudia.

Setelah diajak sang ayah menjajal Gunung Burangrang pada 5 April 2014, petualangan bocah penyuka wushu dan futsal itu berlanjut ke Papandayan. Matthew makin ketagihan. Dia pun mengajak sang papa mendaki ke tujuh puncak gunung di Jawa Barat.

Foto: Matthew Tandioputra For Jawa Pos Matthew Tandioputra saat berada di puncak Gunung Kerinci pada Desember 2015.
Foto: Matthew Tandioputra For Jawa Pos
Matthew Tandioputra saat berada di puncak Gunung Kerinci pada Desember 2015.

Umurnya baru 10 tahun. Tapi, sudah tiga puncak tertinggi Indonesia didaki Matthew Tandioputra. Selalu praktikkan wushu begitu sampai puncak.

—————————

Nora Sampurna, Bandung

—————————

BEGITU kakinya menginjak tanah yang cukup lapang itu, segera saja bocah tersebut mengambil ancang-ancang. Jurus wushu yang belum lama dipelajari di sekolah dipraktikkannya di sana.

Tak sedikit pun dia terlihat lelah. Padahal, untuk sampai ke tempat dia mempraktikkan jurus itu, dibutuhkan perjuangan yang sangat menguras energi.

Maklum, tanah lapang itu adalah tempat tertinggi di Jawa: Puncak Mahameru. ’’Kalau tempatnya agak luas, meragain jurus. Tapi, kadang di puncak itu sempit. Jadi, pose gerakannya aja,’’ tutur Matthew Tandioputra, si bocah tersebut, mengenang pendakiannya pada Desember 2014 itu.

Memperagakan atau berpose dengan jurus wushu merupakan cara Matthew merayakan keberhasilan mencapai puncak gunung. Ya, pada usia yang baru 10 tahun, jam terbang putra sulung pasangan Joel Tandionugroho dan Claudia tersebut sungguh mengagumkan.

Lebih dari tujuh gunung di seputaran Jawa Barat telah dia daki. Begitu pula tujuh puncak di Jawa yang diawali dengan pendakian ke Semeru tadi. Disusul Gunung Lawu (Maret 2015), Ciremai (Februari 2015), Welirang dan Arjuno (Juni 2015), Gunung Sumbing, serta Gunung Slamet (September 2015).

Perjalanan ke Semeru tersebut sekaligus menandai cita-cita pelajar SDK 3 Bina Bakti Bandung itu yang lebih besar: menggapai tujuh puncak tertinggi di tanah air. Setahun setelah Semeru atau Desember 2015, dia mendaki Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Pulau Sumatera.

Lantas, Maret lalu, bocah kelahiran Bandung pada 8 November 2005 itu mencapai Rante Mario, puncak tertinggi Pegunungan Latimojong di Sulawesi Selatan.

’’Capek sih, tapi seru naik gunung,’’ katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya di Bandung.

Semua perjalanan ke gunung itu justru bermula ketika Matthew terlihat sulit berkonsentrasi saat menginjak SD. Energinya berlebih. Dia cepat bosan kalau disuruh diam dalam waktu cukup lama.

Setelah berkonsultasi dengan pakar tumbuh kembang, disarankan untuk melakukan terapi alam.

Matthew pun lantas diperkenalkan dengan aktivitas outdoor. Dimulai dari kemping saat usianya baru sekitar lima setengah tahun. Ternyata, dia terlihat menikmati. ’’Dari kemping, lalu kenal komunitas Eiger, ikut lari, dan mengenal pendakian,’’ tutur Claudia yang mendampingi saat bertemu Jawa Pos.

Kebetulan, keluarga itu berdomisili di Bandung yang memiliki banyak dataran tinggi dan gunung. Weekend pun kerap diisi dengan aktivitas trekking dan hiking. Matthew dan sang adik, Dave, sering diajak ke lokasi kerja papanya di bidang agrobisnis di Pengalengan, Bandung.

”Kalau udah di sana, anak-anak dilepas main di kebun, senang banget mereka,” kata perempuan berambut pendek tersebut.

Kebetulan juga, Claudia dan Joel berlatar belakang pendaki dan dipertautkan di gunung. Keduanya merupakan teman satu jurusan semasa kuliah, yaitu di Biologi Universitas Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah.

Claudia dan Joel kerap ikut dalam pendakian di sekitar Jawa Tengah seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Gunung Sumbing. ”Mungkin juga ya, karena papa-mamanya ketemu di gunung, anaknya suka juga ke gunung hehehe,” kata Claudia.

Setelah diajak sang ayah menjajal Gunung Burangrang pada 5 April 2014, petualangan bocah penyuka wushu dan futsal itu berlanjut ke Papandayan. Matthew makin ketagihan. Dia pun mengajak sang papa mendaki ke tujuh puncak gunung di Jawa Barat.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/