MEDAN, SUMUTPOS.CO – Merasa tak terima uang donasi yang dikumpulkan oleh pihak Yayasan Buddhis BodhiCitta dilaporkan ke Polrestabes Medan dalam kasus dugaan penggelapan uang donasi donatur. Budiman selaku abang korban resmi melaporkan kasus ini sesuai Nomor STTLP/798/lV/YAN 2,5/2021/ SPKT Polrestabes Medan tanggal 15 april 2021.
Kuasa Hukum Korban, Ferdi Santoso Tania SH mengatakan, hal tersebut bermula pada saat Mery mantan alumni SMA Yayasan Buddhis BodhiCitta mengalami kecelakaan di Jalan Yos Sudarso pada Tahun 2019 silam.
Mery pun mengalami patah tulang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk penyembuhannya. Keadaan Mery yang berstatus anak yatim piatu justru membuat sejumlah donatur menjadi iba.
Melalui Yayasan Buddhis BodhiCitta dilakukanlah penggalangan dana untuk biaya perobatan Mery. Namun belakangan, alumni Yayasan ini, yang kini sudah melanjutkan studinya ke salah satu Fakultas Ekonomi malah diduga tidak mendapatkan uang donasi yang telah terkumpul tersebut.
Ferdi menerangkan, uang yang telah berhasil dikumpulkan menurut hasil klarifikasinya ke pihak Yayasan pada saat dilakukan mediasi telah mencapai sedikitnya Rp500 juta. “Mery didampingi keluarganya yang menerima biaya berobat dari donasi yang dikumpulkan tersebut senilai Rp70 juta dengan cara dibayarkan langsung ke pihak Rumah Sakit dan uang tunai Rp10 juta. Selanjutnya setahun kemudian, tepatnya pada tahun 2021 diberikanlah kembali Rp10 juta,” ungkap Ferdi.
Terkait dengan adanya laporan dugaan penggelapan dana sumbangan dari oknum guru buddis Bodhicitta, Praktisi Hukum Sumut, Daniel Simbolon SH juga turut mendesak agar kasus ini dibongkar se-transparan mungkin.”Para oknum guru tersebut harus ditindak tegas sesuai perbuatannya karena sudah seharusnya seorang guru memberikan contoh teladan yang baik terutama terhadap siswa ataupun mantan siswinya,” tegasnya.
Daniel menambahkan, bahwa informasinya dana yang telah terkumpul sekitar Rp620 juta, tetapi alhasil dana tersebut tidak disampaikan secara keseluruhan kepada mantan si siswinya itu. “Yang telah diberikan kepada siswinya itu hanya sekitar Rp90 juta, itupun abang si korban pada saat meminta dana tersebut kepada gurunya itu seakan dipersulit. Padahal sampai sekarang si korban masih sangat membutuhkan dana tersebut untuk perobatan medis maupun perobatan alternatif,” bebernya.
Pihaknya mempertanyakan sisa dana uang tersebut. “Kenapa tidak langsung diberikan secara keseluruhan terhadap korban atau keluarganya yang sudah menjadi hak si korban?,” tanya Daniel penuh heran.
Karena dalam hal ini, kata dia, pihak oknum guru tersebut telah mencatut dan mempergunakan nama si korban untuk meminta dana kepada para donatur sebagai biaya perobatan si korban, tetapi kenyataaannya sampai sekarang dana tersebut masih dipegang dan disimpan oleh para oknum tersebut. “Oleh karena itu keluarga korban dan korban merasa keberatan dan membuat laporan di Polrestabes Medan melalui kuasa hukumnya, dan itu merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan,” paparnya.
Dikatakannya, peristiwa tersebut bisa diduga telah melanggar pasal 372 KUHP ( Penggelapan ) dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara. “Untuk itu saya mengimbau agar persoalan ini segera diselesaikan secara kekeluargaan dan damai. Apabila oknum guru tersebut tidak mempunyai itikad yang baik untuk menyelesaikannya maka hal ini bisa menjadi contoh yang buruk terhadap tenaga pendidik, khususnya di yayasan tersebut. Saya yakin penyidik bekerja dengan baik dan profesional dalam menangani kasus ini,” pungkasnya. (mag-1/ila)