30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Cegah Politik Biaya Tinggi

JAKARTA- RUU Pilkada diharapkan mampu mencegah politik biaya tinggi. Hal itu mengemuka dalam diskusi Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam keterangan pers Perludem yang diterima Suara Karya, di Jakarta, kemarin.

Hadir sebagai pembicara, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, dan aktivis Perludem Veri Junaidi.

Veri Junaidi mengatakan, RUU yang sedang dalam pembahasan oleh DPR sebaiknya bisa menjawab masalah politik uang dan korupsi. “Persoalan yang sering melanda penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Indonesia adalah politik biaya tinggi yang menjadi akar korupsi,” ujarnya.
Menurut Veri, hampir di setiap pemilihan kepala daerah, banyak ditemukan berbagai kasus pelanggaran hukum terkait dengan pembiayaan dan dana kampanye.

Mengutip data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dia menyebutkan, dari tahun 2004-2012 ada 173 kepala daerah yang terlibat dalam kasus hukum berkaitan dengan korupsi
Hal sama disampaikan Andrinof Chaniago. Dia menuturkan, biaya politik yang tinggi muncul akibat politik pencitraan yang dibangun oleh kandidat.
“Sistem pemilihan langsung disikapi dengan pendekatan yang tidak tepat dengan semata-mata menjunjung tinggi popularitas semu,” ucapnya.
Dia mengatakan, popularitas ini dibangun dengan pendekatan secara tidak langsung dengan pemilih. Biasanya media yang digunakan melalui iklan kampanye, baliho, spanduk, leaflet dan sarana kampanye yang tidak menyentuh pendekatan kepada pemilih-yang justru berbiaya tinggi. Dia mengingatkan, jalan pintas dengan uang sebagai satu-satunya alat pemenangan merupakan mekanisme yang keliru. Sistem pemilihan langsung dalam pemilukada didesain untuk mendekatkan pemilih dengan kandidat.

“Mestinya kandidat membuat visi-misi yang jelas dan program kerja dengan sosialisasi kepada pemilih yang baik. Mekanisme sosialisasi harus dilakukan secara adil untuk menjamin hak bagi seluruh pihak untuk menyampaikan informasi kepada pemilih,” katanya.
Namun faktanya, Abdullah Dahlan juga mengingatkan, penggunaan uang dalam kampanye dan pemenangan menjadi sulit dibendung. “Sebab, aturan yang selama ini berlaku hanya membatasi sumbangan yang masuk. Akibatnya semakin besar sumbangan kepada kandidat maka semakin besar sosialisasi dan biaya kampanye yang dikeluarkan. Kondisi ini justru tidak memberikan keadilan bagi seluruh pihak untuk bisa memberikan informasi yang berimbang kepada pemilih,” ujarnya.

Penting untuk diingat, kata dia, bahwa dalam kampanye tidak semata-mata terdapat hak bagi kandidat untuk memberikan informasi. Ada hak bagi pemilih yang mesti dijamin untuk memperoleh informasi yang seimbang.

“Mengingat hal itu maka penting kiranya dalam RUU Pilkada untuk menjamin agar adanya keseimbangan terhadap akses informasi baik bagi kandidat maupun pemilih,” katanya. Sementara itu, kalangan DPR RI menargetkan pembahasan UU Pilkada paling cepat disahkan Desember 2012. Kini pembahasannya memasuki tahapan daftar inventarisasi masalah di tingkat fraksi. “Paling cepat UU Pilkada itu akan selesai Desember 2012,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Sunardi Ayub, saat pertemuan koordinasi dengan Baleg DPRD NTB, di Jakarta, Selasa (27/6).
Sesudah pengesahan, menurutnya, butuh 60 hari bagi pemerintah, sebelum UU itu dinyatakan berlaku. Dikatakan, hampir seluruh fraksi setuju gubernur akan dipilih oleh DPRD, namun masih ada sejumlah masalah pelik yang memerlukan pembahasan. (sam/boy/jpnn)

JAKARTA- RUU Pilkada diharapkan mampu mencegah politik biaya tinggi. Hal itu mengemuka dalam diskusi Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam keterangan pers Perludem yang diterima Suara Karya, di Jakarta, kemarin.

Hadir sebagai pembicara, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, dan aktivis Perludem Veri Junaidi.

Veri Junaidi mengatakan, RUU yang sedang dalam pembahasan oleh DPR sebaiknya bisa menjawab masalah politik uang dan korupsi. “Persoalan yang sering melanda penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Indonesia adalah politik biaya tinggi yang menjadi akar korupsi,” ujarnya.
Menurut Veri, hampir di setiap pemilihan kepala daerah, banyak ditemukan berbagai kasus pelanggaran hukum terkait dengan pembiayaan dan dana kampanye.

Mengutip data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dia menyebutkan, dari tahun 2004-2012 ada 173 kepala daerah yang terlibat dalam kasus hukum berkaitan dengan korupsi
Hal sama disampaikan Andrinof Chaniago. Dia menuturkan, biaya politik yang tinggi muncul akibat politik pencitraan yang dibangun oleh kandidat.
“Sistem pemilihan langsung disikapi dengan pendekatan yang tidak tepat dengan semata-mata menjunjung tinggi popularitas semu,” ucapnya.
Dia mengatakan, popularitas ini dibangun dengan pendekatan secara tidak langsung dengan pemilih. Biasanya media yang digunakan melalui iklan kampanye, baliho, spanduk, leaflet dan sarana kampanye yang tidak menyentuh pendekatan kepada pemilih-yang justru berbiaya tinggi. Dia mengingatkan, jalan pintas dengan uang sebagai satu-satunya alat pemenangan merupakan mekanisme yang keliru. Sistem pemilihan langsung dalam pemilukada didesain untuk mendekatkan pemilih dengan kandidat.

“Mestinya kandidat membuat visi-misi yang jelas dan program kerja dengan sosialisasi kepada pemilih yang baik. Mekanisme sosialisasi harus dilakukan secara adil untuk menjamin hak bagi seluruh pihak untuk menyampaikan informasi kepada pemilih,” katanya.
Namun faktanya, Abdullah Dahlan juga mengingatkan, penggunaan uang dalam kampanye dan pemenangan menjadi sulit dibendung. “Sebab, aturan yang selama ini berlaku hanya membatasi sumbangan yang masuk. Akibatnya semakin besar sumbangan kepada kandidat maka semakin besar sosialisasi dan biaya kampanye yang dikeluarkan. Kondisi ini justru tidak memberikan keadilan bagi seluruh pihak untuk bisa memberikan informasi yang berimbang kepada pemilih,” ujarnya.

Penting untuk diingat, kata dia, bahwa dalam kampanye tidak semata-mata terdapat hak bagi kandidat untuk memberikan informasi. Ada hak bagi pemilih yang mesti dijamin untuk memperoleh informasi yang seimbang.

“Mengingat hal itu maka penting kiranya dalam RUU Pilkada untuk menjamin agar adanya keseimbangan terhadap akses informasi baik bagi kandidat maupun pemilih,” katanya. Sementara itu, kalangan DPR RI menargetkan pembahasan UU Pilkada paling cepat disahkan Desember 2012. Kini pembahasannya memasuki tahapan daftar inventarisasi masalah di tingkat fraksi. “Paling cepat UU Pilkada itu akan selesai Desember 2012,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Sunardi Ayub, saat pertemuan koordinasi dengan Baleg DPRD NTB, di Jakarta, Selasa (27/6).
Sesudah pengesahan, menurutnya, butuh 60 hari bagi pemerintah, sebelum UU itu dinyatakan berlaku. Dikatakan, hampir seluruh fraksi setuju gubernur akan dipilih oleh DPRD, namun masih ada sejumlah masalah pelik yang memerlukan pembahasan. (sam/boy/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/