25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

KPPU Temukan Harga Telur di Peternakan Turun Tapi di Pedagang Mahal

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) melakukan sidak harga telur, mulai dari pedagang, distributor, hingga peternak ayam. Ditemukan, harga di produsen turun, namun, di tingkat pedagang tradisional cukup mahal.

Berdasarkan pantauan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga telur ayam memasuki awal Juli 2022 mengalami penurunan dari Rp26.050 per kilogram menjadi Rp25.650, dan stabil sampai pekan ketiga Agustus. Namun menjelang akhir bulan, kembali naik ke level Rp26.100.

Dari hasil pemantauan Kantor Wilayah 1 KPPU, yang dilakukan ke beberapa pasar Kota Medan dan sekitarnya, seperti Pusat Pasar, Pasar Petisah, Pasar Palapa, Pasar Sukaramai, hingga Pasar MMTC, diperoleh informasi harga rata-rata untuk telur ukuran kecil, yakni Rp1.550-1.700, ukuran sedang Rp1.600-1.750, dan ukuran besar antara Rp1.700-1.900.

“Terjadi kenaikan harga sejak awal Agustus 2022. Namun tidak ada penurunan pasokan dan beberapa pedagang mengaku terjadi penurunan permintaan,” ungkap Kepala KPPU Kanwil 1, Ridho Pamungkas, Minggu (28/8).

Ridho juga mengatakan, dari hasil pemantauan yang dilakukannya langsung, ditemukan informasi yang sedikit berbeda dari distributor. Dalam pantauannya ke PT Sumber Pangan Nusantara Indonesia di Kabupaten Deliserdang, KPPU mendapati harga telur di tingkat distributor mengalami penurunan.

“Saat ini, harga telur ayam di distributor dari berbagai grade mengalami penurunan Rp100-120 per butir, dari pekan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama ini, permintaan dan pasokan mereka stabil,” tuturnya.

Setelah dari distributor, KPPU melanjutkan pantauan ke peternak ayam ras petelur yang berlokasi di Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deliserdang.

“Berdasarkan informasi yang diperoleh, harga jual telur di tingkat peternak sekitar Rp1.460 per butir, tanpa dibedakan ukurannya, untuk satu ikat di atas 18 kilogram,” beber Ridho.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari seorang peternak yang memiliki sekitar 30 ribu ekor ayam petelur, untuk biaya produksi telur ayam ras dengan harga sekitar Rp1.390 per butir. Menurutnya, dari sisi produksi, akibat turunnya harga telur tahun lalu dan kenaikan harga pakan sekitar 40 persen dibandingkan tahun lalu, menyebabkan dia mengurangi kapasitas kandangnya sekitar 35 persen. Bahkan beberapa peternak telur di Pantailabu, harus gulung tikar.

Pemicu turunnya harga telur tahun lalu disinyalir karena perusahaan unggas terintegrasi juga telah memiliki peternakan ayam petelur, sehingga terjadi banjir telur di pasar.

“Terkait pembentukan harga, peternak mengatakan, harga ditentukan oleh agen yang mengambil telur ke tempatnya. Sementara harga acuan agen mengikuti informasi realisasi harga telur ayam himpunan Medan dan Kepri, yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia,” jelas Ridho.

Dengan temuan tersebut, Ridho mengatakan, pihaknya akan mendalami berbagai informasi yang telah diperoleh di lapangan. Dia menjelaskan, KPPU Kanwil 1 akan memanggil beberapa distributor telur, perusahaan terintegrasi, dan Pinsar Indonesia.

“Pinsar, khususnya untuk mengklarifikasi adanya info realisasi harga yang membentuk harga telur di pasar,” ujarnya.

Hal ini menurutnya, untuk memastikan apakah kenaikan harga ini memang terkait dengan dampak Covid-19 yang telah melandai, sehingga permintaan naik, atau penurunan pasokan karena banyaknya peternak yang mengurangi produksinya pada saat pandemi.

“Sampai saat ini belum normal biaya produksi pakan ternak, atau adanya bansos telur ayam di sejumlah daerah,” beber Ridho.

Ridho mengatakan, KPPU akan terus melakukan pengawasan terhadap bahan pokok strategis lain dan meningkatkan sinergitas dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan. Dia juga mendukung upaya Pemprov Sumut yang sedang mempersiapkan aplikasi Early Warning System bahan pokok, yang dapat memberikan notifikasi kepada pimpinan daerah dan stakeholder, yang mengendalikan inflasi ketika terjadi permintaan atau pasokan yang menyentuh ambang batas tidak wajar.

“Sehingga dapat terpantau keseimbangan jumlah permintaan dan pasokan bahan pangan di pasar,” pungkasnya. (gus/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) melakukan sidak harga telur, mulai dari pedagang, distributor, hingga peternak ayam. Ditemukan, harga di produsen turun, namun, di tingkat pedagang tradisional cukup mahal.

Berdasarkan pantauan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga telur ayam memasuki awal Juli 2022 mengalami penurunan dari Rp26.050 per kilogram menjadi Rp25.650, dan stabil sampai pekan ketiga Agustus. Namun menjelang akhir bulan, kembali naik ke level Rp26.100.

Dari hasil pemantauan Kantor Wilayah 1 KPPU, yang dilakukan ke beberapa pasar Kota Medan dan sekitarnya, seperti Pusat Pasar, Pasar Petisah, Pasar Palapa, Pasar Sukaramai, hingga Pasar MMTC, diperoleh informasi harga rata-rata untuk telur ukuran kecil, yakni Rp1.550-1.700, ukuran sedang Rp1.600-1.750, dan ukuran besar antara Rp1.700-1.900.

“Terjadi kenaikan harga sejak awal Agustus 2022. Namun tidak ada penurunan pasokan dan beberapa pedagang mengaku terjadi penurunan permintaan,” ungkap Kepala KPPU Kanwil 1, Ridho Pamungkas, Minggu (28/8).

Ridho juga mengatakan, dari hasil pemantauan yang dilakukannya langsung, ditemukan informasi yang sedikit berbeda dari distributor. Dalam pantauannya ke PT Sumber Pangan Nusantara Indonesia di Kabupaten Deliserdang, KPPU mendapati harga telur di tingkat distributor mengalami penurunan.

“Saat ini, harga telur ayam di distributor dari berbagai grade mengalami penurunan Rp100-120 per butir, dari pekan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama ini, permintaan dan pasokan mereka stabil,” tuturnya.

Setelah dari distributor, KPPU melanjutkan pantauan ke peternak ayam ras petelur yang berlokasi di Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deliserdang.

“Berdasarkan informasi yang diperoleh, harga jual telur di tingkat peternak sekitar Rp1.460 per butir, tanpa dibedakan ukurannya, untuk satu ikat di atas 18 kilogram,” beber Ridho.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari seorang peternak yang memiliki sekitar 30 ribu ekor ayam petelur, untuk biaya produksi telur ayam ras dengan harga sekitar Rp1.390 per butir. Menurutnya, dari sisi produksi, akibat turunnya harga telur tahun lalu dan kenaikan harga pakan sekitar 40 persen dibandingkan tahun lalu, menyebabkan dia mengurangi kapasitas kandangnya sekitar 35 persen. Bahkan beberapa peternak telur di Pantailabu, harus gulung tikar.

Pemicu turunnya harga telur tahun lalu disinyalir karena perusahaan unggas terintegrasi juga telah memiliki peternakan ayam petelur, sehingga terjadi banjir telur di pasar.

“Terkait pembentukan harga, peternak mengatakan, harga ditentukan oleh agen yang mengambil telur ke tempatnya. Sementara harga acuan agen mengikuti informasi realisasi harga telur ayam himpunan Medan dan Kepri, yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia,” jelas Ridho.

Dengan temuan tersebut, Ridho mengatakan, pihaknya akan mendalami berbagai informasi yang telah diperoleh di lapangan. Dia menjelaskan, KPPU Kanwil 1 akan memanggil beberapa distributor telur, perusahaan terintegrasi, dan Pinsar Indonesia.

“Pinsar, khususnya untuk mengklarifikasi adanya info realisasi harga yang membentuk harga telur di pasar,” ujarnya.

Hal ini menurutnya, untuk memastikan apakah kenaikan harga ini memang terkait dengan dampak Covid-19 yang telah melandai, sehingga permintaan naik, atau penurunan pasokan karena banyaknya peternak yang mengurangi produksinya pada saat pandemi.

“Sampai saat ini belum normal biaya produksi pakan ternak, atau adanya bansos telur ayam di sejumlah daerah,” beber Ridho.

Ridho mengatakan, KPPU akan terus melakukan pengawasan terhadap bahan pokok strategis lain dan meningkatkan sinergitas dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan. Dia juga mendukung upaya Pemprov Sumut yang sedang mempersiapkan aplikasi Early Warning System bahan pokok, yang dapat memberikan notifikasi kepada pimpinan daerah dan stakeholder, yang mengendalikan inflasi ketika terjadi permintaan atau pasokan yang menyentuh ambang batas tidak wajar.

“Sehingga dapat terpantau keseimbangan jumlah permintaan dan pasokan bahan pangan di pasar,” pungkasnya. (gus/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/