28 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pemprovsu Ngotot Buat Pergub

“Kalau RPJMD kan masih ada waktu 6 bulan lagi. Kan duluan APBD 2019. Ya saat ini sedang kita susun. Secepatnya nanti kita kirim,” ujar Sabrina sembari menutup pintu mobilnya dan melaju keluar dari perkarangan Kantor Bappeda Sumut.

Sebelumnya, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda menilai, penerbitan Pergub atas penolakan penandatanganan KUA-PPAS PAPBD tidak memiliki dasar hukum. Karenanya dia menyarankan Gubsu bersama TAPD untuk duduk lagi dengan Banggar DPRD Sumut membahas hal tersebut. “Kalau dia (Gubsu) mau buat Pergub, tentu pagu anggarannya harus ikut yang lama (APBD murni). Artinya, ya tidak ada perubahan sama sekali, jadi buat apa ada Pergub?” kata Elfenda.

Dijelaskan dia, ada dua asumsi yang terbangun dari P-APBD. Di mana, jika ada perkiraan uang berlebih, akan ada penambahan proyek atau kegiatan. Sebaliknya, jika pendapatannya tidak mencapai target, maka akan dilakukan rasionalisasi. “Tren biasanya P-APBD Sumut terjadi penambahan. Karena target yang dibuat sejak APBD murni memang didesain ada penambahan saat perubahan,” katanya.

Mantan Sekretaris Fitra Sumut ini menambahkan, di sinilah sebenarnya seni berpolitik Edy dan Ijeck diuji. Sebab mereka tidak akan bisa berjalan mengendalikan pemerintahan jika tidak beriringan dengan legislatif. “Sesuai UU, APBD itu disusun dan dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif. Tidak bisa pakai gaya otoriter berjalan sendiri-sendiri. Inilah seninya berpolitik sebab jabatan dia dipilih dari proses politik,” katanya.

Soal bagaimana kompromi kepala daerah dan wakil rakyat mengenai alokasi anggaran yang mau diakomodir, menurut Elfenda, seperti halnya permintaan dana bansos oleh legislatif, tentu Edy harus punya trik jitu mencari jalan tengah terbaik. “Kalau mau tegas dalam APBD umpamanya, gubernur tinggal sampaikan kepada dewan apa dasar hukum untuk penganggaran bansos atau dana hibah. Kalau memang ada kemudian penerimanya jelas, berarti tidak masalah jika dianggarkan. Sebenarnya mudah saja kalau gubernur tidak pakai gaya otoriter,” katanya.

Apalagi memasuki tahun politik seperti ini, sambungnya, gubernur harus memahami kondisi tersebut secara bijak. Artinya para legislatif saat ini banyak kebutuhan dan kepentingan konstituennya masing-masing. “Cuma harus ada dasar yang kuat juga. Kan ada aturan mainnya. Ada verifikasi penerima bansos dan lainnya. Sebab kita tidak mau mengulangi sejarah yang pernah dibuat Gatot (Gubsu sebelumnya), berdasarkan selera politik. Kalau memang mau menghambat DPRD dalam hal bansos, bisa saja Gubsu minta alasan dan argumentasi seperti penerima yang sudah terverifikasi,” paparnya.

“Kalau RPJMD kan masih ada waktu 6 bulan lagi. Kan duluan APBD 2019. Ya saat ini sedang kita susun. Secepatnya nanti kita kirim,” ujar Sabrina sembari menutup pintu mobilnya dan melaju keluar dari perkarangan Kantor Bappeda Sumut.

Sebelumnya, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda menilai, penerbitan Pergub atas penolakan penandatanganan KUA-PPAS PAPBD tidak memiliki dasar hukum. Karenanya dia menyarankan Gubsu bersama TAPD untuk duduk lagi dengan Banggar DPRD Sumut membahas hal tersebut. “Kalau dia (Gubsu) mau buat Pergub, tentu pagu anggarannya harus ikut yang lama (APBD murni). Artinya, ya tidak ada perubahan sama sekali, jadi buat apa ada Pergub?” kata Elfenda.

Dijelaskan dia, ada dua asumsi yang terbangun dari P-APBD. Di mana, jika ada perkiraan uang berlebih, akan ada penambahan proyek atau kegiatan. Sebaliknya, jika pendapatannya tidak mencapai target, maka akan dilakukan rasionalisasi. “Tren biasanya P-APBD Sumut terjadi penambahan. Karena target yang dibuat sejak APBD murni memang didesain ada penambahan saat perubahan,” katanya.

Mantan Sekretaris Fitra Sumut ini menambahkan, di sinilah sebenarnya seni berpolitik Edy dan Ijeck diuji. Sebab mereka tidak akan bisa berjalan mengendalikan pemerintahan jika tidak beriringan dengan legislatif. “Sesuai UU, APBD itu disusun dan dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif. Tidak bisa pakai gaya otoriter berjalan sendiri-sendiri. Inilah seninya berpolitik sebab jabatan dia dipilih dari proses politik,” katanya.

Soal bagaimana kompromi kepala daerah dan wakil rakyat mengenai alokasi anggaran yang mau diakomodir, menurut Elfenda, seperti halnya permintaan dana bansos oleh legislatif, tentu Edy harus punya trik jitu mencari jalan tengah terbaik. “Kalau mau tegas dalam APBD umpamanya, gubernur tinggal sampaikan kepada dewan apa dasar hukum untuk penganggaran bansos atau dana hibah. Kalau memang ada kemudian penerimanya jelas, berarti tidak masalah jika dianggarkan. Sebenarnya mudah saja kalau gubernur tidak pakai gaya otoriter,” katanya.

Apalagi memasuki tahun politik seperti ini, sambungnya, gubernur harus memahami kondisi tersebut secara bijak. Artinya para legislatif saat ini banyak kebutuhan dan kepentingan konstituennya masing-masing. “Cuma harus ada dasar yang kuat juga. Kan ada aturan mainnya. Ada verifikasi penerima bansos dan lainnya. Sebab kita tidak mau mengulangi sejarah yang pernah dibuat Gatot (Gubsu sebelumnya), berdasarkan selera politik. Kalau memang mau menghambat DPRD dalam hal bansos, bisa saja Gubsu minta alasan dan argumentasi seperti penerima yang sudah terverifikasi,” paparnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/