MEDAN, SUMUTPOS.CO – Proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) dan Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Medan Masih menunggu keputusan pemerintah pusat.
Keputusan tersebut terkait pembiayaan rolling stock atau sarana dan prasarana pendukung.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan Wirya Alrahman mengatakan, sejauh ini pembiayaannya belum tertampung. Tetapi, sudah didesak kepada pemerintah pusat. “Saat ini sedang dibahas struktur pembiayaan di pusat.
Kalau ini sudah diputuskan selanjutnya masuk ke tahap transaksi. Target kami kalau bisa diharapkan pada Oktober (2019), makanya kami minta pembiayaan rolling stock-nya dibayar oleh pusat. Sebab, jika tidak maka Pemko tak akan mampu,” ungkap Wirya baru-baru ini.
Menurutnya, pembiayaan rolling stock membutuhkan biaya besar, paling tidak Rp2,5 triliun. “Bayangkan apabila ini ditampung dalam lingkup Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), mau berapa dicicil dan sampai kapan? Makanya, kita sudah sampaikan ke pusat bahwa beban biaya tersebut selain kami, semua daerah juga tidak akan mampu terkecuali Jakarta,” sebut Wirya.
Namun demikian, sambung dia, dalam pembiayaan rolling stock oleh pemerintah pusat terbentur regulasi. Karena, ada peraturan yang melarang pemerintah pusat menyediakan atau membiayai rolling stock itu.”Pada pertemuan beberapa lalu dijanjikan peraturan bisa diubah sehingga nanti bisa ditampung atau disesuaikan. Sebab, kapasitas fiskal Medan terbatas untuk membiayai itu,” ujarnya.
Wirya menyebutkan, jika pembiayaan ditampung dalam lingkup KPBU, Pemko jelas tak mampu. Oleh sebab itu, bila belum ada juga kesepakatan antara pemerintah pusat dengan Pemko Medan maka mau tidak mau harus ditunda dulu.”Tidak akan mungkin pak wali kota menggadaikan APBD untuk pembangunan tersebut. Jika itu dipaksakan, tentu berdampak terhadap keuangan kita. Makanya, kita tidak mau ambil risiko,” tegasnya.
Wirya menuturkan, pembangunan LRT dan BRT sudah mendesak di Medan. Dari hasil studi atau kajian yang dilakukan, pada 2024 kalau tidak ditangani apapun mulai sekarang maka Kota Medan akan mengalami green lock atau lalu lintas berhenti dan tak bisa jalan.
“Jumlah peningkatan jalan dengan kendaraan sangat jauh perbandingannya. Memang untuk mengatasi bisa dengan jalur layang salah satu solusinya. Namun, yang menjadi kendala dari mana biayanya? Oleh karena itu, inilah harapannya sebagai solusi persoalan kemacetan di Medan yaitu dibangun LRT dan BRT,” tukasnya.
Wirya mengatakan, proyek ini hampir menghabiskan anggaran mencapai Rp13 triliun. Untuk itu, pembangunan proyek yang ditargetkan rampung pada 2020 mendatang ini struktur pembiayaannya lewat pemerintah pusat dan KPBU atau melibatkan investor.”Struktur pendanaannya masih dibahas untuk dirumuskan berapa persentasenya. Namun yang jelas, dananya sebagian dari APBN dan KPBU,” pungkasnya.
Sementara, Anggota DPRD Medan Parlaungan Simangunsong mendukung adanya proyek tersebut karena dinilai dapat mengatasi permasalahan kemacetan. Namun demikian, pembangunan fasilitas moda transportasi itu diharapkan jangan sampai menimbulkan masalah baru.
“Harus melalui perencanaan yang matang. Dengan kata lain, harus disusun melalui skema perencanaan yang mendalam sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Kita minta Pemko Medan jangan hanya memberi angan-angan saja dalam pembangunan infrastruktur ini,” ujarnya.
Kata Parlaungan, pembangunan LRT bisa memanfaatkan jalan layang. Lain halnya dengan BRT (Bus Rapid Transit) yang membutuhkan jalur tersendiri. Namun begitu, hambatannya adalah soal anggaran karena tentu membutuhkan biaya yang sangat besar.
“Pembangunan proyek infrastruktur transportasi ini harus juga memikirkan dampak terhadap pelaku usaha jasa di Medan. Jangan sampai adanya proyek ini, malah membuat pelaku usaha angkutan umum massal gulung tikar. Oleh karena itu, ini juga harus dipikirkan pemerintah,” imbuhnya.
Diketahui, kajian sementara Pemko Medan, jalur LRT akan melintasi Stasiun Besar Kereta Api Medan, Jalan Williem Iskandar, Jalan M Yamin, Jalan Gatot Subroto, Jalan Iskandar Muda, Jalan Universitas Sumatera Utara (USU), Jalan Setia Budi, Jalan Djamin Ginting, dan terakhir di Pasar Induk Laucih, Tuntungan. (ris/ila)