Tiga tahun berlalu, tapi kejadian pilu itu masih meliputi keluarga Makatey-Julin Mahengkeng. Anak perempuannya, Julia Fransiska Makatey, yang melahirkan melalui bedah Caesar meninggal dunia saat ditangani dr Dewa Ayu Sasiary SpOG dan dua rekannya. Jiwa bayinya tertolong, dan kini Flora Notanubun, nama bayi itu, tumbuh menjadi bocah yang lucun
Perempuan berkaus oblong oranye yang dipadu dengan celana selutut warna cokelat muda itu menyambut kedatangan wartawan Manado Post (Jawa Pos Group) di rumah keluarga mendiang Julia Fransiska Makatey (Siska) Senin pekan lalu. Dengan ramah perempuan 50-an tahun itu menyilakan wartawan duduk di ruang tamu rumahnya yang resik di Desa Tateli Weru, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
“Silakan duduk,” kata Julin Mahengkeng, perempuan yang tak lain ibunda mendiang Siska. Saat itu Julin didampingi kakak Siska, Grace Makatey.
Tak berselang lama, seorang bocah perempuan dengan baju terusan merah bermotif polkadot putih masuk ke ruang tamu. “Nah, ini anak mendiang. Ayo, beri salam Om,” ujar Julin sambil menarik tangan Flora Notanubun, cucunya dari Siska.
Namun, bocah tiga tahun itu tampak malu dan menggelendot kepada omanya.
Beberapa saat ngobrol, Julin kemudian menceritakan kronologi kejadian yang menimpa Siska, 10 April 2010. Dia tak menyangka putrinya yang perawat lulusan Diploma III Poltekkes Manado 2005 akan meninggal dunia secepat itu.
Julin mengaku selalu tidak kuat menahan air mata jika melihat dua anak Siska yang lucu-lucu itu. Katanya, beberapa kali Anselo Notanubun, kakak Flora, mengenang saat-saat indah bersama ibunya ketika melewati atau berada di tempat saat dia dan ibunya jalan-jalan.
“Sedih rasanya melihat Anselo. Waktu ibunya meninggal, dia berusia empat tahun. Jadi, sedikit mengerti bahwa ibunya telah tiada,” kata Julin sambil mengusap air mata.
Kini Anselo berusia tujuh tahun dan duduk di kelas II SD Tateli Weru, Kecamatan Mandolang, Minahasa. Sedangkan Flora masih tiga tahun tujuh bulan. “Kini dua bocah itu sudah tahu jika ibunya telah meninggal,” tambah Grace Makatey.
Menurut Grace, Flora mulai diberi penjelasan tentang keberadaan ibunya. “Setiap melihat kubur di mana pun, Flora pasti bilang “Itu Mama, “itu Mama”,” kata Grace dengan mata berkaca-kaca.
Bahkan Anselo, ungkap Grace, jika ditanya tentang cita-citanya, selalu menjawab akan menjadi polisi. “Supaya boleh menangkap orang yang membunuh ibu, kata anak itu,” tambahnya.
Wartawan koran ini lalu diajak melihat kubur Siska. Bersama Flora dan Anselo, menyusuri kebun kecil menuju ke pekuburan desa. Tampak peristirahatan terakhir Siska dihiasi ubin biru, berhias bunga dan terpajang foto mendiang saat diwisuda sebagai perawat. “Makam ini dibangun dari uang kompensasi mereka (dr Ayu cs, Red),” ujar Julin.
Menurut Julin, meski keluarga menangis sejadi-jadinya, itu tidak bisa mengembalikan jasad Siska yang telah tenang di alam kubur. Yang bisa dilakukan hanyalah mengusut penyebab kematian Siska. Sebab, mungkin tidak terjadi tragedi jika para dokter saat itu langsung menolong Siska yang sudah dalam kondisi lemah.
“Sejujurnya kami tidak menyudutkan profesi dokter. Kami sama sekali juga tak mendendam kepada dokter. Menurut kami, dokter tetap profesi mulia. Tapi, ada beberapa oknum yang membuat nama baik dokter menjadi tercemar,” tutur Julin.
“Kami berupaya menuntut keadilan agar di luar sana tidak ada Siska-Siska lain, yang akan bernasib sama dengan anak saya. Kami hanya ingin menggugah para petugas medis untuk mendahulukan nyawa pasien,” tambahnya.
Ibu dr Hendry Meninggal
Sementara itu, berita duka juga diterima dr Hendry Simanjuntak, satu di antara tiga dokter yang menjadi terpidana kasus malapraktik yang menyebabkan Siska meninggal dunia saat melahirkan dengan bedah Caesar. Terpidana 10 bulan yang kini mendekam di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Malendeng, Sulut, itu, Rabu (27/11) lalu kehilangan sang ibu, Marsinta Pangaribuan. Almarhumah meninggal setelah dirawat di sebuah rumah sakit Jakarta.
Hendry Simanjuntak sendiri belum lama ditangkap pihak kejaksaan setelah tiga tahun kabur dari vonis pengadilan yang menghukumnya 10 bulan bersama dr Ayu dan dr Hendy Siagian (masih buron). Saat mendengar kabar duka itu, Hendry sempat meminta izin kepala Rutan Malendeng agar diperbolehkan pulang kampung di Sumatera Utara untuk mengikuti upacara pemakaman sang bunda.
Selama ini mendiang Marsinta dirawat anaknya sendiri itu di Jakarta. Namun, setelah Hendry ditangkap di Siborongborong, Sumatera Utara, kondisi sang ibu langsung drop.
Saat dikonfirmasi hal itu, Hendry tidak mau menjawab. Bahkan, dia selalu berusaha menghindar dari jepretan kamera wartawan.
Dia tampak sedih dan tidak bersemangat. “Mungkin dia lagi sedih karena keadaan yang dialaminya. Baru saja ditahan, ibunya meninggal,” tutur seorang staf di Rutan Malendeng.
Kepala Rutan Malendeng Jefry Paath membenarkan bahwa dr Hendry telah mengajukan izin untuk bisa menghadiri pemakaman ibunya. “Masalah seperti itu adalah hak semua tahanan. Kami akan merekomendasikannya karena ini masalah kemanusiaan,” tuturnya.
Paath juga mengungkapkan, lamanya waktu yang diberikan untuk dr Hendry keluar tahanan bergantung pada jarak yang ditempuh. “Waktu yang kami berikan hanya untuk acara pemakaman ibunya. Kami bersama kepolisian akan melakukan pengawalan ketat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” pungkasnya. (*)