24 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Suami tak Bertanggung Jawab Mendominasi Perceraian

1.315 Warga Medan Bercerai di Pengadilan Agama Medan  

MEDAN-Jumlah kasus perceraian di Kota Medan tiap tahunnya selalu meningkat. Tentu saja banyak faktor penyebabnya, mulai dari faktor suami kurang bertanggung jawab, faktor moral (poligami, krisis akhlak, dan cemburu), serta faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Panitera Sekertaris Pengadilan Agama Medan Hilman Lubis SH mengatakan, kasus perceraian di Medan menjadi peringkat 10 besar tertinggi di Indonesia. Bahkan, jumlah perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2012, perkara gugatan yang diterima  Pengadilan Agama Medan mencapai 1.315 kasus perceraian. Sedangkan memasuki awal tahun 2013, Pengadilan Agama Medan sudah menerima lebih kurang 214 perkara.

Sementara faktor penyebab terjadinya perceraian, didominasi oleh faktor suami meninggalkan kewajiban atau tak bertanggung jawab terhadap keluarga berjumlah, disusul oleh faktor berselisih paham, factor moral yakni poligami, krisis akhlak, dan cemburu serta faktor menyakiti jasmani atau kekerasan dalam rumah tangga (lihat tabel).

“Jumlah perkara gugatan yang kita terima setiap tahunnya terus meningkat. Menurut saya jumlahnya lebih banyak lagi bila digabungkan dengan jumlah perceraian di bawah tangan atau tidak sampai ke Pengadilan yang banyak terjadi di Medan,” terang Hilman.

Untuk menekan jumlah perceraian di Kota Medan, kata Hilman, Pengadilan Agama Medan hanya dapat melakukan upaya mediasi agar kedua belah pihak yang hendak bercerai agar dapat rujuk.

Selain itu, dalam setiap sidang yang digelar, setiap Hakim memberi masukan dan nasihat kepada kedua belah pihak yang hendak bercerai agar kembali rujuk.

Hilman mengakui, upaya menekan jumlah perceraian melalui sistem penyuluhan banyak mengalami kendala. Kendala paling besar adalah soal anggaran. Sebab pihaknya tak memiliki anggaran penyuluhan atau sosialisasi untuk menekan angka perceraian. Sedangkan anggaran yang ada masih sangat minim. “Apalagi tingkat penggunaan surat miskin agar tidak dikenakan biaya perkara, terus meningkat, berkisar 5 persen dari keseluruhan perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Medan,” pungkas Hilman.

Ditempat terpisah, Direktur Biro Psilologi Persona Medan Dra Irna Minauli Msi yang dimintai pendapatnya mengatakan, faktor suami tak bertanggung jawab terhadap keluarga, termasuk dalam mencari nafkah, memang paling banyak terjadi di Kota Medan. Tapi, tidak hanya di Kota Medan, di pelosok desa justru cenderung banyak suami tak tak bekerja. “Coba kita lihat di desa-desa, banyak suami tak punya pekerjaan, hanya duduk di warung kopi saja. Sedangkan si istri bekerja turun ke sawah demi mencari nafkah,” ujar Irna mencontohkan.

Sedangkan di Kota Medan, banyak istri yang mandiri dan banting tulang demi menafkahi keluarganya, sedangkan suami banyak yang tak memiliki pekerjaan alias menganggur.  Ini menyebabkan ketimpangan sehingga istri jadi berubah peran sebagai pencari nafkah tunggal dan juga dibebani tugas rumah tangga. Hal ini menyebabkan beban istri jadi berlebih.

“Akhirnya istri menyadari untuk apa dia menikah, kalau semua beban tertumpu padanya. Ini sering memicu pertengkaran karena terkadang suami sangat sensitif perasaannya sebagai pengangguran. Istri lalu ingin lepas dari belenggu dengan berani menggugat cerai suami. Nah, kalau istri zaman dulu lebih mentoleransi suaminya dan tak punya keberanian menggugat cerai suaminya,” kata Irna berpendapat.

Menurut Irna, dampak akibat perceraian tentu saja terjadi kepada anak-anaknya. Misalnya, perceraian akibat faktor kekerasan dalam rumah tangga akan terpapar ke anak, dampaknya lebih buruk. Anak menjadi trauma. “Kasus perceraian karena KDRT masih lebih mending dilakukan karena bisa mengancam keselamatan istri dan anak,” bilang Irna.

Untuk kasus di luar KDRT, lanjut Irna, juga tetap memberi dampak kepada anak-anak mereka. Untuk itu, mental dan sikologis anak harus dipersiapkan sebelum mengambil keputusan untuk bercerai. Misalnya, perceraian jangan sampai memperebutkan anak. Sebab, anak akan menjadi binggung untuk memilih salah satu dari orangtua mereka. “Harus dibicarakan baik-baik ke anak. Kesalahan terbesar terjadi pasangan suami istri yang akan bercerai cendrung menjelek-jelekan pribadi pasangannya di depan anak. Ini akan menyangkiti perasaan anak karena keduanya adalah orangtua mereka,” kata Irna.

Agar dampak sikologis ke anak tidak terlalu besar, lanjut Irna, setelah terjadi perceraian, si ibu harus bisa mencari figur pengganti ayah atau ibu untuk si anak, dalam hal ini bukan menikah. Tapi, figur pengganti itu adalah dari keluarga terdekat, misalnya, abang atau kakak, paman atau bibi, kakek atau nenek si anak. “Bagi pasangan bercerai sangat mudah mencari pengganti pasangan hidup mereka masing-masing. Tapi bagi sang anak justru melukai perasaannya karena bagi anak, figur orangtua mereka tidak bisa digantikan dengan figur orang lain,” tutur Irna.

Bila orangtua tidak mampu membekali mental anaknya dari perceraian yang mereka lakukan, sambungnya, maka anak akan menjadi trauma berkepanjangan sehingga anak akan menjadi bandel dan nakal. “Bila diarahkan dengan baik, anak akan tumbuh sehat, bahkan berhasil di masa depannya. Kalau kita lihat, latar belakang kehidupan tokoh-tokoh, orang pintar atau penemu berasal dari korban perceraian orangtua. Jadi, harus didukung peran lingkungan, guru, teman-teman untuk menyemangati anak korban bercerai orangtua agar berhasil di masa depannya tanpa rasa trauma,” pungkas Irna. (mag-10/ila)

[table id=”tabel” caption=”Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Medan Tahun 2012″ delimiter=”+” ai=”1″]

Kasus perceraian yang dikabulkan sebanyak 1.112 kasus. Di antaranya 29 PNS.
Kasus perceraian yang dicabut perkaranya sebanyak 106 kasus.
Kasus perceraian yang dibatalkan sebanyak  52 kasus.
Kasus perceraian yang digugurkan sebanyak 28 kasus.
Kasus perceraian yang ditolak sebanyak 10 kasus.
Kasus perceraian NO atau tidak diterima karena berkas tidak memenuhi syarat sebanyak 7 kasus.
Kasus perceraian masih dalam perkara sidang sebanyak 288 kasus.

[/table]

[table caption=”Faktor Penyebab Perceraian” ai=”1″ delimiter=”+”]

Faktor suami tak bertanggung jawab sebanyak 589 kasus.
Faktor perselisihan/pertengkaran terus menerus sebanyak 575 kasus.
Factor moral mulai dari poligami, krisis akhlak, dan cemburu sebanyak 148 kasus.
Factor menyakiti jasmani atau kekerasan dari rumah tangga (KDRT) sebanyak 106.

[/table]

*Data dari Pengadilan Agama Medan *

1.315 Warga Medan Bercerai di Pengadilan Agama Medan  

MEDAN-Jumlah kasus perceraian di Kota Medan tiap tahunnya selalu meningkat. Tentu saja banyak faktor penyebabnya, mulai dari faktor suami kurang bertanggung jawab, faktor moral (poligami, krisis akhlak, dan cemburu), serta faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Panitera Sekertaris Pengadilan Agama Medan Hilman Lubis SH mengatakan, kasus perceraian di Medan menjadi peringkat 10 besar tertinggi di Indonesia. Bahkan, jumlah perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2012, perkara gugatan yang diterima  Pengadilan Agama Medan mencapai 1.315 kasus perceraian. Sedangkan memasuki awal tahun 2013, Pengadilan Agama Medan sudah menerima lebih kurang 214 perkara.

Sementara faktor penyebab terjadinya perceraian, didominasi oleh faktor suami meninggalkan kewajiban atau tak bertanggung jawab terhadap keluarga berjumlah, disusul oleh faktor berselisih paham, factor moral yakni poligami, krisis akhlak, dan cemburu serta faktor menyakiti jasmani atau kekerasan dalam rumah tangga (lihat tabel).

“Jumlah perkara gugatan yang kita terima setiap tahunnya terus meningkat. Menurut saya jumlahnya lebih banyak lagi bila digabungkan dengan jumlah perceraian di bawah tangan atau tidak sampai ke Pengadilan yang banyak terjadi di Medan,” terang Hilman.

Untuk menekan jumlah perceraian di Kota Medan, kata Hilman, Pengadilan Agama Medan hanya dapat melakukan upaya mediasi agar kedua belah pihak yang hendak bercerai agar dapat rujuk.

Selain itu, dalam setiap sidang yang digelar, setiap Hakim memberi masukan dan nasihat kepada kedua belah pihak yang hendak bercerai agar kembali rujuk.

Hilman mengakui, upaya menekan jumlah perceraian melalui sistem penyuluhan banyak mengalami kendala. Kendala paling besar adalah soal anggaran. Sebab pihaknya tak memiliki anggaran penyuluhan atau sosialisasi untuk menekan angka perceraian. Sedangkan anggaran yang ada masih sangat minim. “Apalagi tingkat penggunaan surat miskin agar tidak dikenakan biaya perkara, terus meningkat, berkisar 5 persen dari keseluruhan perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Medan,” pungkas Hilman.

Ditempat terpisah, Direktur Biro Psilologi Persona Medan Dra Irna Minauli Msi yang dimintai pendapatnya mengatakan, faktor suami tak bertanggung jawab terhadap keluarga, termasuk dalam mencari nafkah, memang paling banyak terjadi di Kota Medan. Tapi, tidak hanya di Kota Medan, di pelosok desa justru cenderung banyak suami tak tak bekerja. “Coba kita lihat di desa-desa, banyak suami tak punya pekerjaan, hanya duduk di warung kopi saja. Sedangkan si istri bekerja turun ke sawah demi mencari nafkah,” ujar Irna mencontohkan.

Sedangkan di Kota Medan, banyak istri yang mandiri dan banting tulang demi menafkahi keluarganya, sedangkan suami banyak yang tak memiliki pekerjaan alias menganggur.  Ini menyebabkan ketimpangan sehingga istri jadi berubah peran sebagai pencari nafkah tunggal dan juga dibebani tugas rumah tangga. Hal ini menyebabkan beban istri jadi berlebih.

“Akhirnya istri menyadari untuk apa dia menikah, kalau semua beban tertumpu padanya. Ini sering memicu pertengkaran karena terkadang suami sangat sensitif perasaannya sebagai pengangguran. Istri lalu ingin lepas dari belenggu dengan berani menggugat cerai suami. Nah, kalau istri zaman dulu lebih mentoleransi suaminya dan tak punya keberanian menggugat cerai suaminya,” kata Irna berpendapat.

Menurut Irna, dampak akibat perceraian tentu saja terjadi kepada anak-anaknya. Misalnya, perceraian akibat faktor kekerasan dalam rumah tangga akan terpapar ke anak, dampaknya lebih buruk. Anak menjadi trauma. “Kasus perceraian karena KDRT masih lebih mending dilakukan karena bisa mengancam keselamatan istri dan anak,” bilang Irna.

Untuk kasus di luar KDRT, lanjut Irna, juga tetap memberi dampak kepada anak-anak mereka. Untuk itu, mental dan sikologis anak harus dipersiapkan sebelum mengambil keputusan untuk bercerai. Misalnya, perceraian jangan sampai memperebutkan anak. Sebab, anak akan menjadi binggung untuk memilih salah satu dari orangtua mereka. “Harus dibicarakan baik-baik ke anak. Kesalahan terbesar terjadi pasangan suami istri yang akan bercerai cendrung menjelek-jelekan pribadi pasangannya di depan anak. Ini akan menyangkiti perasaan anak karena keduanya adalah orangtua mereka,” kata Irna.

Agar dampak sikologis ke anak tidak terlalu besar, lanjut Irna, setelah terjadi perceraian, si ibu harus bisa mencari figur pengganti ayah atau ibu untuk si anak, dalam hal ini bukan menikah. Tapi, figur pengganti itu adalah dari keluarga terdekat, misalnya, abang atau kakak, paman atau bibi, kakek atau nenek si anak. “Bagi pasangan bercerai sangat mudah mencari pengganti pasangan hidup mereka masing-masing. Tapi bagi sang anak justru melukai perasaannya karena bagi anak, figur orangtua mereka tidak bisa digantikan dengan figur orang lain,” tutur Irna.

Bila orangtua tidak mampu membekali mental anaknya dari perceraian yang mereka lakukan, sambungnya, maka anak akan menjadi trauma berkepanjangan sehingga anak akan menjadi bandel dan nakal. “Bila diarahkan dengan baik, anak akan tumbuh sehat, bahkan berhasil di masa depannya. Kalau kita lihat, latar belakang kehidupan tokoh-tokoh, orang pintar atau penemu berasal dari korban perceraian orangtua. Jadi, harus didukung peran lingkungan, guru, teman-teman untuk menyemangati anak korban bercerai orangtua agar berhasil di masa depannya tanpa rasa trauma,” pungkas Irna. (mag-10/ila)

[table id=”tabel” caption=”Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Medan Tahun 2012″ delimiter=”+” ai=”1″]

Kasus perceraian yang dikabulkan sebanyak 1.112 kasus. Di antaranya 29 PNS.
Kasus perceraian yang dicabut perkaranya sebanyak 106 kasus.
Kasus perceraian yang dibatalkan sebanyak  52 kasus.
Kasus perceraian yang digugurkan sebanyak 28 kasus.
Kasus perceraian yang ditolak sebanyak 10 kasus.
Kasus perceraian NO atau tidak diterima karena berkas tidak memenuhi syarat sebanyak 7 kasus.
Kasus perceraian masih dalam perkara sidang sebanyak 288 kasus.

[/table]

[table caption=”Faktor Penyebab Perceraian” ai=”1″ delimiter=”+”]

Faktor suami tak bertanggung jawab sebanyak 589 kasus.
Faktor perselisihan/pertengkaran terus menerus sebanyak 575 kasus.
Factor moral mulai dari poligami, krisis akhlak, dan cemburu sebanyak 148 kasus.
Factor menyakiti jasmani atau kekerasan dari rumah tangga (KDRT) sebanyak 106.

[/table]

*Data dari Pengadilan Agama Medan *

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/