25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

USU Disebut ‘Kebal’

MEDAN-Kasus dugaan korupsi yang belakangan menerpa Universitas Sumatera Utara (USU) sejatinya bukan kabar baru dan mencengangkan. Pasalnya, universitas negeri ini memang diduga sering tersandung kasus serupa. Namun, anehnya, USU cenderung ‘kebal’ hingga banyak kasus tak tuntas.

Rurita Ningrum, Direktur Eksekutif  FITRA Sumut
Rurita Ningrum, Direktur Eksekutif FITRA Sumut

Hal ini diungkapkan Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara (Sumut) melalui Direktur Eksekutif Rurita Ningrum. “Untuk kasus yang bergulir di USU, jarang sekali mencuat ke permukaan. Ini yang terkadang membuat kita heran, ada apa sebenarnya?” kata Ruri, sapaan akrab Rurita Ningrum, kemarin.

FITRA Sumut menilai, sistem tender pengadaan barang/jasa melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejatinya mempermudah oknum untuk bermain alias melakukan tindak pidana korupsi.

“Intinya adalah integritas para pejabat baik panitia pengadaan maupun KPA (kuasa pengguna anggaran),” katanya.

Hal ini diutarakannya menyikapi kasus dugaan korupsi dana hibah pendidikan tinggi (Dikti) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2010, yang melilit USU, di mana sekarang dalam proses pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ruri bahkan mengaku tidak pernah mengetahui tindak lanjutnya. Baik soal spesifikasi, rincian biaya dan lain sebagainya. “Saya kira dengan sistem mengulur waktu (yang dilakukan penyidik) itu terhadap proses perkembangan suatu kasus di Sumut baik di pemerintahan maupun di USU, membuat masyarakat tidak pernah mengetahui perkembangan kecuali dari media,” kata dia.

Khusus untuk USU, sebutnya lagi, mungkin menjadi lebih lama lantaran mahasiswa tidak berani mendorong percepatan kasus-kasus yang ada supaya terungkap. “Jadi tidak sinkron atas fakta yang mereka (mahasiswa) lihat dengan kondisi saat ini. Artinya, hal-hal seperti ini kan sudah ada di depan mata mereka, ya, seharusnya mahasiswa tergerak untuk melakukan suatu aksi,” imbaunya.

Anggaran terbatas dan kerap dikesampingkan menjadi persoalan klasik dalam mengungkap tuntas suatu kasus. Sehingga mengindikasikan bahwa penyidik kerap mengotak-ngotakkan kasus. “Sebab dalam satu tahun ada bujet yang harus mereka keluarkan untuk satu kasus. Atau dialihkan pada tahun depan, lantaran kasus yang hendak ditangani tidak dalam posisi prioritas. Nah, di sini kita melihat ada penguluran waktu juga memperlama penanganan kasus atau  bahkan sengaja dijadikan ATM bagi mereka,” jelas Ruri.

Kenapa kita berindikasi seperti itu, sambungnya, karena pada tahun ini mayarakat tidak melihat ekspos dari penyidik tipikor tentang kasus yang ditangani. Hal ini berbeda di tahun sebelumnya, di mana pada Maret 2013 sudah membuat rilis kepada masyarakat tentang hasil kinerja mereka. Indikasi lain muncul yaitu tipikor terkesan menunda kasus-kasus yang sedang ditangani, apalagi menyangkut tokoh-tokoh besar seperti bupati, walikota dan juga kepala daerah.

“Nah, apalagi status USU tidak terlalu banyak disorot orang awam terkecuali oleh media, sehingga mayarakat diingatkan kembali akan sesuatu hal yang sudah lama terjadi, namun tak kunjung terselesaikan,” ungkapnya.

“Kita melihat kinerja tipikor atau penyidik memang sangat lemah. Bahkan beberapa waktu lalu ada permintaan kepada Kapoldasu agar dilakukan pergantian terhadap orang-orang yang selama ini mungkin bercokol lama sebagai penyidik, untuk ditukar dari daerah lain supaya ada semangat kerja yang baru,” tambah dia.

Menurut Ruri semua media harus memberitakan hal itu agar menjadi sorotan banyak orang. Selain FITRA, gerakan pemberantasaan korupsi di Sumut dianggap masih rendah. Tetapi lain ceritanya jika suatu kelompok memiliki kepentingan tertentu terhadap kasus yang tengah bergulir.

“Nah, harapan kita tentunya mahasiswa dapat membaca semua pemberitaan di media kemudian tergerak hatinya mengikuti perkembangan kasus tersebut. Kedua, hal ini akan menjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat. Bukan hanya mahasiswa, namun masyarakat menilai kinerja penyidik begitu penting untuk diketahui,” katanya.

Selain FITRA dan kawan-kawan media, imbuh dia, hanya sedikit sekali orang yang menyoroti kinerja dari tipikor Sumut ini, jadi beritakan teruslah perkembangan kasus ini. Di sisi lain mahasiswa harus bergerak guna melakukan tekanan kepada pihak kampus untuk percepatan pengungkapan kasus korupsi tersebut. Dia menambahkan seharusnya kasus ini cepat terungkap jika sudah ditangani oleh pihak Kejagung, apalagi sampai melibatkan dekan, rektor, PPK bahkan sampai pihak dari pemerintahan yang mengucurkan dana hibah, di mana telah memainkan peranan lobi-lobi. (mag-6)

MEDAN-Kasus dugaan korupsi yang belakangan menerpa Universitas Sumatera Utara (USU) sejatinya bukan kabar baru dan mencengangkan. Pasalnya, universitas negeri ini memang diduga sering tersandung kasus serupa. Namun, anehnya, USU cenderung ‘kebal’ hingga banyak kasus tak tuntas.

Rurita Ningrum, Direktur Eksekutif  FITRA Sumut
Rurita Ningrum, Direktur Eksekutif FITRA Sumut

Hal ini diungkapkan Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara (Sumut) melalui Direktur Eksekutif Rurita Ningrum. “Untuk kasus yang bergulir di USU, jarang sekali mencuat ke permukaan. Ini yang terkadang membuat kita heran, ada apa sebenarnya?” kata Ruri, sapaan akrab Rurita Ningrum, kemarin.

FITRA Sumut menilai, sistem tender pengadaan barang/jasa melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejatinya mempermudah oknum untuk bermain alias melakukan tindak pidana korupsi.

“Intinya adalah integritas para pejabat baik panitia pengadaan maupun KPA (kuasa pengguna anggaran),” katanya.

Hal ini diutarakannya menyikapi kasus dugaan korupsi dana hibah pendidikan tinggi (Dikti) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2010, yang melilit USU, di mana sekarang dalam proses pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ruri bahkan mengaku tidak pernah mengetahui tindak lanjutnya. Baik soal spesifikasi, rincian biaya dan lain sebagainya. “Saya kira dengan sistem mengulur waktu (yang dilakukan penyidik) itu terhadap proses perkembangan suatu kasus di Sumut baik di pemerintahan maupun di USU, membuat masyarakat tidak pernah mengetahui perkembangan kecuali dari media,” kata dia.

Khusus untuk USU, sebutnya lagi, mungkin menjadi lebih lama lantaran mahasiswa tidak berani mendorong percepatan kasus-kasus yang ada supaya terungkap. “Jadi tidak sinkron atas fakta yang mereka (mahasiswa) lihat dengan kondisi saat ini. Artinya, hal-hal seperti ini kan sudah ada di depan mata mereka, ya, seharusnya mahasiswa tergerak untuk melakukan suatu aksi,” imbaunya.

Anggaran terbatas dan kerap dikesampingkan menjadi persoalan klasik dalam mengungkap tuntas suatu kasus. Sehingga mengindikasikan bahwa penyidik kerap mengotak-ngotakkan kasus. “Sebab dalam satu tahun ada bujet yang harus mereka keluarkan untuk satu kasus. Atau dialihkan pada tahun depan, lantaran kasus yang hendak ditangani tidak dalam posisi prioritas. Nah, di sini kita melihat ada penguluran waktu juga memperlama penanganan kasus atau  bahkan sengaja dijadikan ATM bagi mereka,” jelas Ruri.

Kenapa kita berindikasi seperti itu, sambungnya, karena pada tahun ini mayarakat tidak melihat ekspos dari penyidik tipikor tentang kasus yang ditangani. Hal ini berbeda di tahun sebelumnya, di mana pada Maret 2013 sudah membuat rilis kepada masyarakat tentang hasil kinerja mereka. Indikasi lain muncul yaitu tipikor terkesan menunda kasus-kasus yang sedang ditangani, apalagi menyangkut tokoh-tokoh besar seperti bupati, walikota dan juga kepala daerah.

“Nah, apalagi status USU tidak terlalu banyak disorot orang awam terkecuali oleh media, sehingga mayarakat diingatkan kembali akan sesuatu hal yang sudah lama terjadi, namun tak kunjung terselesaikan,” ungkapnya.

“Kita melihat kinerja tipikor atau penyidik memang sangat lemah. Bahkan beberapa waktu lalu ada permintaan kepada Kapoldasu agar dilakukan pergantian terhadap orang-orang yang selama ini mungkin bercokol lama sebagai penyidik, untuk ditukar dari daerah lain supaya ada semangat kerja yang baru,” tambah dia.

Menurut Ruri semua media harus memberitakan hal itu agar menjadi sorotan banyak orang. Selain FITRA, gerakan pemberantasaan korupsi di Sumut dianggap masih rendah. Tetapi lain ceritanya jika suatu kelompok memiliki kepentingan tertentu terhadap kasus yang tengah bergulir.

“Nah, harapan kita tentunya mahasiswa dapat membaca semua pemberitaan di media kemudian tergerak hatinya mengikuti perkembangan kasus tersebut. Kedua, hal ini akan menjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat. Bukan hanya mahasiswa, namun masyarakat menilai kinerja penyidik begitu penting untuk diketahui,” katanya.

Selain FITRA dan kawan-kawan media, imbuh dia, hanya sedikit sekali orang yang menyoroti kinerja dari tipikor Sumut ini, jadi beritakan teruslah perkembangan kasus ini. Di sisi lain mahasiswa harus bergerak guna melakukan tekanan kepada pihak kampus untuk percepatan pengungkapan kasus korupsi tersebut. Dia menambahkan seharusnya kasus ini cepat terungkap jika sudah ditangani oleh pihak Kejagung, apalagi sampai melibatkan dekan, rektor, PPK bahkan sampai pihak dari pemerintahan yang mengucurkan dana hibah, di mana telah memainkan peranan lobi-lobi. (mag-6)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/