Pasien Tuduh Dokter di RS Elisabeth Lakukan Malpraktek
Dugaan malpraktik yang dilakukan dokter Hotma Partogi Pasaribu, SpOG yang berpraktik di RS Santa Elisabeth Medan pada 2009 lalu, kepada pasien Mariani Sihombing warga Pematangsiantar, berbuntut panjang.
Sebagai korban dugaan malpraktik, Mariani memutuskan untuk melanjutkan kasusnya ke pengadilan. Meskipun kasus tersebut telah dilaporkan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, dan memutuskan dokternya bersalah.
Kusuma Ramadhan, Medan
Namun tetap saja, dokter menangani Mariani Sihombing tidak merasa telah melakukan kesalahan. Alhasil untuk mendapatkan keadilan, Mariani Sihombing memutuskan mengambil jalan akhir, dengan melanjutkan kasus yang dialaminya secara perdata ke pengadilan.
“Berdasarkan bukti dan data, mereka (MKDKI) sepakat dan memutuskan kalau dokternya memang bersalah. Namun setelah menjalani berbagai persidangan dan melakukan proses mediasi ada kejanggalan dan rasa tidak bersalah dari dokter itu. Padahal akibat kelalaian sang dokter ibu saya (Mariani Sihombing) mengalami cacat permanen dan harus menjalani pergantian selang setiap bulannya Siantar-Medan (lokasi kediaman korban dan rumah sakit),”terang Sangapan Sinambela, anak kandung korban, Senin (29/10).
Peristiwa itu terjadi lanjut Sangapan, berawal 14 Mei 2009 silam. Mariani ketika itu berobat pada salah satu dokter yang berpraktik di kota Pematangsiantar, yang tak jauh dari kediamannya.
Mariani menyampaikan keluhannya, yaitu saat haid darahnya selalu bergumpal, sehingga harus menjalani pemeriksaan USG, dan hasilnya ditemukan adanya myoma uteri (pembesaran otot rahim), yang harus dibuang melalui tindakan operasi. Namun saat pemeriksaan, Hb (Hemoglobin) Mariani terlalu rendah, oleh karenanya tidak dimungkinkannya dilakukan tindakan operasi.
Untuk menaikan Hb Mariani, harus melalui transfusi darah. Setelah itu Mariani dirujuk ke dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG yang berpraktik di RS Santa Elisabeth Jalan Haji Misbah No 7 Medan, dengan jaminan bahwa alatnya lebih lengkap dan beliau adalah dokter yang bagus dan baik.
Pada 19 mei 2009, korban mendatangi praktik dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG, setelah dilakukan rangkaian pemeriksaan maka korban di Biopsi (pengambilan sebagian jaringan untuk diperiksa) dan dianjurkan untuk dirawat inap di RS Santa Elisabeth Medan.
“Pada tanggal 20 mei 2009, Ibu saya (Mariani) menjalani rawat inap di RS Santa Elisabeth Medan, dimana dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG mengatakan agar dilakukan tindakan kuret (dikerok dinding rahim) tanpa menjelaskan apa maksud dan tujuan dari tindakan tersebut. Namun pada kenyataannya bukan tindakan kuret yang dilakukan melainkan tindakan pengangkatan rahim,”ucap Sangapan.
Selanjutnya pada 27 Mei 2009, Mariani menjalani operasi selama lebih kurang empat jam dari mulai pukul 08.00 hingga 12.30 WIB, yang dilakukan oleh dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG.
Pasca operasi, setelah sadar rupanya korban tidak dapat mengeluarkan urine di kateter, ini berlangsung hingga esok paginya. Pagi itu juga dilakukan USG terhadap dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG pada korban dan hasilnya ada penyumbatan. Kemudian sang dokter kembali mengoperasi korban untuk kedua kalinya selama tiga jam.
“Sampai hari kedua pasca operasi, urine keluar dari kateter, tetapi pada hari ketiga dan seterusnya, ada urine keluar melalui vagina (seperti beser), dan pernah dilakukan peneropongan dari vagina, dan dijelaskan bahwa ada bocor halus pada kandung kemih korban. Atas dasar itu dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG memberikan obat dan menyatakan akan sembuh,”sebutnya.
Tiga minggu berlalu kateter dibuka, ternyata urine masih keluar melalui vagina tanpa sadar dan tidak bisa ditahan. Selama menjalani perawatan 25 hari di RS Santa Elisabeth Medan, Mariani merasa penyakitnya bukannya sembung, malah makin parah.
Akhirnya Mariani memutuskan untuk pindah ke RS Columbia Asia Medan, setelah menjalani pemeriksaan Mariani di vonis ada kanker dan perlu dirawat untuk kemoterapi dan radiasi. “Namun karena sering beser, kemo tidak jadi dilaksanakan. Kemudian korban dipindahkan ke Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta pada 1 juni 2009,”ujarnya.
Sesampainya di RS PGI Cikini, korban ditangani oleh dr Eben Ezer Siahaan, SpU. Selama dua minggu dilakukan pemeriksaan ulang terhadap korban, karena tidak adanya rekaman medik selama korban menjalani perawatan di RS Santa Elisabeth Medan.
Oleh dr Eben Ezer, SpU membentuk tim untuk melakukan tindakan operasi terhadap korban. Setelah dua jam operasi dilakukan, pihak keluarga korban diminta masuk keruangan operasi untuk memperlihatkan hasil operasi yang pernah dilakukan di dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG sebelumnya.
“Ternyata hasil operasi yang dilakukan dr Hotma sebelumnya, terdapat dua robekan sebesar ibu jari dan tidak mungkin untuk diperbaiki lagi. Bukan itu selain belum bersih dan masih ada kelenjar yang tertinggal. Ini sangat berbeda dengan penjelasan dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG yang menyatakan bahwa kebocorannya sangat halus dan akan sembuh setelah diobati,” ungkap Sangapan kesal.
Saat itu juga dr Eben Ezer Siahaan, SpU dan dr Chamim, SpOK (Onk) menjelaskan bahwa kebocoran tersebut dapat diperbaiki tetapi hanya bertahan satu minggu, sementara korban harus radiasi agar kankernya tidak menyebar kemana-mana.
Solusi akhir adalah dilakukannya tindakan penutupan kandung kemih dan dipasangnya kateter langsung dari ginjal secara permanen. Selain proses operasi, Mariani juga telah menjalani 25 kali radiasi luar dan dua kali radiasi dalam.
Akibat dari semuanya itu, korban mengalami cacat permanen, serta kondisi fisik yang terus menurun dan diperlihatkan dengan berulangkalinya Mariani harus dirawat inap di rumah sakit Colombia Asia, dengan keluhan yang sama, yaitu pada ginjal.
Disamping itu sambungnya, setiap satu bulan sekali, Mariani harus melakukan perjalanan sekitar tujuh jam dari Pematang Siantar ke RS Colombia Medan untuk mengganti selang yang tertanam pada ginjalnya.
Termasuk juga harus mengganti perban penutup lubang pada pinggang kiri, dan kanan setiap tiga hari sekali yang terpaksa dilakukan sendiri dengan dibantu keluarga.
Kondisi inilah yang membuat Sangapan mengambil langkah hukum dengan menggugat RS Elisabeth, dr Hotma Partogi Pasaribu, SpOG, serta dokter yang merujuk.
Sebenarnya sambung Sangapan, sudah dilakukan mediasi antara penggugat (korban) dan tergugat. Namun mediasi gagal karena para tergugat,( dr Hotma tergugat I, RS Santa Elisabeth tergugat II, dan tergugat III (dokter yang merujuk) hanya mau mengganti 2 persen dari total tuntutan sebesar Rp10 miliar.
“Inikan terkesan melecehkan, padahal kerugian yang ditimbulkan ibu saya sangat besar. Selain mengalami cacat permanen, juga harus berulang kali masuk rumah sakit akibat yang dialaminya hingga kini. Bahkan sampai bertahun-tahun tidak sekalipun dokter Hotma menyatakan permohonan maaf dan tetap merasa tidak bersalah,”ucapnya.
Sementara itu, Humas RS Elisabeth Alfred C Satyo saat dikonfirmasi tidak mengetahui akan adanya gugatan yang dilakukan oleh korban. “Secara pribadi saya tidak tau mengenai adanya gugatan ke rumah sakit ini (RS Santa Elizabeth) mungkin dirut tau,” ungkapnya.
Hanya saja Alfred menyarankan kepada pasien untuk melaporkan secara tertulis kronologisnya dan diserahkan ke MKEK IDI Medan, agar ditindaklanjutinya.
“Serahkan aja kronologisnya secara tertulis ke MKEK IDI Medan, biar saya juga ikut pelajari kasusnya. Walaupun proses pengadilannya tetap berjalan,”sebutnya mengakhiri.
Sebagaimana direncanakan, persidangan pertama untuk kasus ini akan dilaksanakan pada Selasa pagi, (30/10) di Pengadilan Tinggi Negeri Medan, Jalan Pengadilan, Medan. (*)