25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Harga TBS Sawit Anjlok, Berharap KEK Sei Mangkei Produksi Turunan CPO

Sawit

SUMUTPOS.CO – Anjloknya harga TBS sawit saat ini membuat petani merugi. Selain karena kendali harga bergantung pada mekanisme pasar, black campaign (kampanye hitam) tentang produk CPO (Crude Palm Oil) Indonesia dinilai turut mempengaruhi penurunan harga “Kita tidak bisa berbuat banyak mengintervensi pasar. Sebab penentu harga adalah mekanisme pasar global. Apalagi ada black campaign dari LSM/NGO tentang produk CPO Indonesia,” ujar perwakilan Humas PTPN III, Ridho Asril, kemarin.

Pun begitu, menurutnya, para produsen CPO seperti PTPN dan perusahaan swasta lainnya, terus berupaya memerangi black campaign tersebut. Sebab kampanye hitam NGO di luar negeri sangat tidak berdasar. Terlebih Sumatera Utara merupakan satu dari beberapa daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia.

“Salahsatu upaya kita saat ini adalah berusaha memajukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei menjadi pusat industri berskala global. Terutama untuk produk turunan CPO,” sebutnya.

Senada dengan PTPN III, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga mengatakan, mekanisme pasar sangat mempengaruhi harga TBS sawit.

Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut, Parlindungan Lubis, kepada Sumut Pos, mengatakan perekonomian dunia sedang lesu. “Tiga bulan ini daya beli pasar dunia terhadap produk-produk kita terasa jauh menurun,” katanya.

Menurutnya, sebenarnya pasar Indonesia terkhusus Sumut, sangat besar dan potensial untuk komoditas CPO. Namun konsumsi terhadap produk itu lebih banyak dimanfaatkan untuk hasil minyak. Padahal banyak celah dan peluang atas komoditas itu yang dapat dimanfaatkan, antara lain menjadi biodiesel, sehingga produk dalam negeri lebih kompetitif bersaing di pasar dunia.

“Pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit bisa maksimal. Karena itu, kita mendorong pengusaha membuat produk turunan CPO, agar kondisi ini tidak berlarut-larut. Sebab bisa membawa dampak negatif bagi penerimaan devisa kita,” katanya.

Parlindungan menganalisis, turunnya harga TBS sawit pasti memengaruhi perputaran atau pergerakan ekonomi di Sumut. Petani akan lebih sulit menjual produknya untuk menjual ke mata rantai berikutnya.

“Alurnya ‘kan dari petani, ke PKS, dan PKS untuk ekspor, pajak ekspor ke negara, negara ke rakyat. Kalau barang tersendat di mata rantai terbawah atau barang menumpuk, maka semua sektor pasti terpengaruh,” katanya.

Untuk itu, ia berharap pemerintah pusat memiliki solusi konkrit atas persoalan ini.

Menanggapi anjloknya harga TBS sawit, anggota Komisi B DPRD Sumut, Richard Sidabutar, menyebutkan pemerintah harus bisa mencari jalan keluar mengatasi persoalan ini. Selain menghilangkan pungutan ekspor CPO, jangka panjangnya adalah adanya instrument yang bisa menghempang intervensi pasar terhadap harga komoditi ini.

“Ke depan pemerintah harus melakukan terobosan untuk mengatur harga TBS sawit. Jangan hanya diserahkan kepada mekanisme pasar saja. Sebab perkebunan sawit di Sumut termasuk yang terbesar di Indonesia. Khususnya petani kecil, tentu mengalami kerugian yang besar,” sebut Richard.

Mengontrol mekanisme pasar ini, menurut Richard, antara lain menetapkan ketentuan batas terendah harga TBS. Dengan begitu, masyarakat merasa terlindungi. Sekaligus juga mendorong industri turunan CPO dalam negeri. Sehingga Indonesia tidak hanya memproduksi dan mengekspor CPO saja.

“Tentu produksi turunan ini pengaruhnya besar. Seperti CPO untuk sabun mandi, kosmetik dan sebagainya. Peluang ini yang belum diolah maksimal,” jelasnya lagi.

Alasan itu pula, politisi Partai Gerindra ini berharap KEK Sei Mangkei bisa menjadi andalan masyarakat dan negara dalam memanfaatkan CPO menjadi berbagai produk turunan.

Pungutan Sawit Dinolkan
Terkait anjloknya harga TBS sawit, pemerintah memutuskan untuk menghapus sementara pungutan bagi produk minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) dan seluruh turunnya, dari sebelumnya sebesar US$50 per ton. Kebijakan ini ditempuh guna membantu industri yang tengah kesulitan akibat anjloknya harga sawit.

“Setelah berdiskusi panjang kami kemudian sepakat bahwa pungutan kelapa sawit dan turunan untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) itu dengan harga yang sangat rendah diputuskan untuk dinolkan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Senin (26/11) lalu.

Ia menuturkan harga CPO dalam seminggu terakhir cukup memprihatinkan, yakni hanya mencapai US$420 per ton. Padahal sekitar dua pekan lalu, harga CPO masih di kisaran US$530 per ton. “Padahal harga US$530 per ton sempat bertahan cukup lama, sehingga kami tadi komite pengarah melihat ini (harga US$420 per ton) sudah urgensi keadaan yang mendesak terutama bagi petani dan semua pemain kelapa sawit,” imbuhnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018, besaran pungutan ekspor sawit terbagi menjadi US$50 per ton untuk CPO, US$30 untuk produk turunan pertama dari CPO, dan US$20 untuk turunan kedua. “Nah itu yang sekarang kami nol kan,” terangnya.

Ia melanjutkan, jika harga membaik menjadi US$500 ton, maka pungutan akan dinaikkan menjadi US$25 per ton untuk CPO, US$10 untuk produk turunan pertama dari CPO, dan US$5 untuk turunan kedua. Lalu jika harga sudah kembali menyentuh US$550 per ton, maka aturan pungutan kembali seperti semula.

Darmin mengatakan aturan tersebut rencananya akan dibahas bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani yang saat ini masih berada untuk kepentingan dinas di Argentina. “Jadi berlakunya setelah beliau pulang tanggal 2 Desember,” ujarnya. (bal/prn/uji/JPC)

Sawit

SUMUTPOS.CO – Anjloknya harga TBS sawit saat ini membuat petani merugi. Selain karena kendali harga bergantung pada mekanisme pasar, black campaign (kampanye hitam) tentang produk CPO (Crude Palm Oil) Indonesia dinilai turut mempengaruhi penurunan harga “Kita tidak bisa berbuat banyak mengintervensi pasar. Sebab penentu harga adalah mekanisme pasar global. Apalagi ada black campaign dari LSM/NGO tentang produk CPO Indonesia,” ujar perwakilan Humas PTPN III, Ridho Asril, kemarin.

Pun begitu, menurutnya, para produsen CPO seperti PTPN dan perusahaan swasta lainnya, terus berupaya memerangi black campaign tersebut. Sebab kampanye hitam NGO di luar negeri sangat tidak berdasar. Terlebih Sumatera Utara merupakan satu dari beberapa daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia.

“Salahsatu upaya kita saat ini adalah berusaha memajukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei menjadi pusat industri berskala global. Terutama untuk produk turunan CPO,” sebutnya.

Senada dengan PTPN III, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga mengatakan, mekanisme pasar sangat mempengaruhi harga TBS sawit.

Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut, Parlindungan Lubis, kepada Sumut Pos, mengatakan perekonomian dunia sedang lesu. “Tiga bulan ini daya beli pasar dunia terhadap produk-produk kita terasa jauh menurun,” katanya.

Menurutnya, sebenarnya pasar Indonesia terkhusus Sumut, sangat besar dan potensial untuk komoditas CPO. Namun konsumsi terhadap produk itu lebih banyak dimanfaatkan untuk hasil minyak. Padahal banyak celah dan peluang atas komoditas itu yang dapat dimanfaatkan, antara lain menjadi biodiesel, sehingga produk dalam negeri lebih kompetitif bersaing di pasar dunia.

“Pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit bisa maksimal. Karena itu, kita mendorong pengusaha membuat produk turunan CPO, agar kondisi ini tidak berlarut-larut. Sebab bisa membawa dampak negatif bagi penerimaan devisa kita,” katanya.

Parlindungan menganalisis, turunnya harga TBS sawit pasti memengaruhi perputaran atau pergerakan ekonomi di Sumut. Petani akan lebih sulit menjual produknya untuk menjual ke mata rantai berikutnya.

“Alurnya ‘kan dari petani, ke PKS, dan PKS untuk ekspor, pajak ekspor ke negara, negara ke rakyat. Kalau barang tersendat di mata rantai terbawah atau barang menumpuk, maka semua sektor pasti terpengaruh,” katanya.

Untuk itu, ia berharap pemerintah pusat memiliki solusi konkrit atas persoalan ini.

Menanggapi anjloknya harga TBS sawit, anggota Komisi B DPRD Sumut, Richard Sidabutar, menyebutkan pemerintah harus bisa mencari jalan keluar mengatasi persoalan ini. Selain menghilangkan pungutan ekspor CPO, jangka panjangnya adalah adanya instrument yang bisa menghempang intervensi pasar terhadap harga komoditi ini.

“Ke depan pemerintah harus melakukan terobosan untuk mengatur harga TBS sawit. Jangan hanya diserahkan kepada mekanisme pasar saja. Sebab perkebunan sawit di Sumut termasuk yang terbesar di Indonesia. Khususnya petani kecil, tentu mengalami kerugian yang besar,” sebut Richard.

Mengontrol mekanisme pasar ini, menurut Richard, antara lain menetapkan ketentuan batas terendah harga TBS. Dengan begitu, masyarakat merasa terlindungi. Sekaligus juga mendorong industri turunan CPO dalam negeri. Sehingga Indonesia tidak hanya memproduksi dan mengekspor CPO saja.

“Tentu produksi turunan ini pengaruhnya besar. Seperti CPO untuk sabun mandi, kosmetik dan sebagainya. Peluang ini yang belum diolah maksimal,” jelasnya lagi.

Alasan itu pula, politisi Partai Gerindra ini berharap KEK Sei Mangkei bisa menjadi andalan masyarakat dan negara dalam memanfaatkan CPO menjadi berbagai produk turunan.

Pungutan Sawit Dinolkan
Terkait anjloknya harga TBS sawit, pemerintah memutuskan untuk menghapus sementara pungutan bagi produk minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) dan seluruh turunnya, dari sebelumnya sebesar US$50 per ton. Kebijakan ini ditempuh guna membantu industri yang tengah kesulitan akibat anjloknya harga sawit.

“Setelah berdiskusi panjang kami kemudian sepakat bahwa pungutan kelapa sawit dan turunan untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) itu dengan harga yang sangat rendah diputuskan untuk dinolkan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Senin (26/11) lalu.

Ia menuturkan harga CPO dalam seminggu terakhir cukup memprihatinkan, yakni hanya mencapai US$420 per ton. Padahal sekitar dua pekan lalu, harga CPO masih di kisaran US$530 per ton. “Padahal harga US$530 per ton sempat bertahan cukup lama, sehingga kami tadi komite pengarah melihat ini (harga US$420 per ton) sudah urgensi keadaan yang mendesak terutama bagi petani dan semua pemain kelapa sawit,” imbuhnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018, besaran pungutan ekspor sawit terbagi menjadi US$50 per ton untuk CPO, US$30 untuk produk turunan pertama dari CPO, dan US$20 untuk turunan kedua. “Nah itu yang sekarang kami nol kan,” terangnya.

Ia melanjutkan, jika harga membaik menjadi US$500 ton, maka pungutan akan dinaikkan menjadi US$25 per ton untuk CPO, US$10 untuk produk turunan pertama dari CPO, dan US$5 untuk turunan kedua. Lalu jika harga sudah kembali menyentuh US$550 per ton, maka aturan pungutan kembali seperti semula.

Darmin mengatakan aturan tersebut rencananya akan dibahas bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani yang saat ini masih berada untuk kepentingan dinas di Argentina. “Jadi berlakunya setelah beliau pulang tanggal 2 Desember,” ujarnya. (bal/prn/uji/JPC)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/