Terkait Penggantian Masjid At Thoyyibah di Jalan Multatuli
MEDAN-Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Drs KH Tengku Zulkarnain MA, menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penggantian Masjid At Thoyyibah di Jalan Multatuli. Dalam kesaksiannya, dia mempersoalkan fatwa MUI Medan.
Dia menegaskan kalau Fatwa MUI Kota Medan soal istibdal (pengganti) masjid yang berada di Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimoon itu keliru dan bertentangan dengan syariat islam maupun hukum wakaf. Pasalnya tidak ada satu alasan pun yang menguatkan kalau Masjid At Thoyyibah harus dihancurkan selain alasan bisnis semata.
“Yang saya ketahui tidak ada alasan Masjid At Thoiyyibah harus dihancurkan ataupun diganti. Bangunannya masih bagus, jamaahnya ada. Masjid At Thoiyyibah sudah sejak 1956 dibangun dan tidak ada yang mempersoalkan hal itu. Jadi jangan bicarakan soal ada tidaknya surat wakaf. Kalau itu alasannya bisa-bisa semua Masjid di seluruh Indonesia ini bisa dijual karena banyak yang tidak ada surat wakafnya. Jadi Fatwa MUI Kota Medan ini sangat keliru,” tegas Zulkarnain dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Wahidin pada persidangan lanjutan gugatan di PN Medan, Kamis (30/8).
Lebih lanjut dikatakan Zulkarnain fatwa yang dikeluarkan MUI Kota Medan dinilai keliru karena antara putusan dengan dalil sebagai pertimbangan tidak singkron. “Dari delapan dalil sebagai pertimbangan pada Fatwa MUI Kota Medan itu, saya tidak melihat ada sinkroniasi setiap dalilnya yang menjadi dasar kuat masjid itu harus dihancurkan atau diganti. Apalagi masjid yang baru jaraknya tidak sampai 200 meter dari masjid semula,” ujarnya lagi.
Ditegaskannya, masjid itu boleh diganti dengan yang baru ada beberapa alasan di antaranya apabila untuk kepentingan publik, seperti pembuatan jalan. “Kalau diganti ruko, tentunya tidak benar karena itu untuk kepentingan pengembang. Jangan coba-coba bangunkan macan yang sedang tidur,” tegasnya.
Menanggapi pertanyaan kuasa hukum para tergugat soal permohonan Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Masjid At Thoiyyibah yang mengajukan Fatwa MUI Kota Medan agar masjid diganti dinilai Zulkarnain tidak serta merta harus dipenuhi karena dinilai telah mewakili keinginan masyarakat. “Pengurus BKM yang mengajukan itu 20 orang, sementara masyarakat yang menolak ada empat ratusan. Apa itu menjadi pembenaran MUI Kota Medan mengeluarkan Fatwa tersebut. Disinilah kesalahan MUI Kota Medan tidak mendengarkan suara yang ratusan itu,” jelasnya lagi.
Selain memberikan tanggapannya sebagai saksi ahli, Zulkarnain yang merupakan ulama asal Medan ini juga mengaku kecewa atas banyaknya peristiwa perubuhan Masjid khususnya di Medan. Bahkan menurut Zulkarnain, Medan merupakan daerah yang paling banyak masjidnya dihancurkan karena alasan bisnis.
Sementara itu, puluhan masyarakat Multatuli teriak histeris usai mendengarkan keterangan saksi lainnya, Ahmad Zuhri yang juga dihadirkan pada persidangan kemarin. Pasalnya, keterangan dosen IAIN itu dinilai sangat kontroversi. Bahkan, akibat ungkapannya, masyarakat yang juga jamaah Masjid At-Thaiyyibah ingin menyerang Ahmad Zuhri. Massa berteriak histeris dan mengundang perhatian wartawan maupun pengunjung sidang yang lain.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar. Ya Allah laknat orang ini,” teriak massa.
Dalam keterangannya, Ahmad Zuhri yang dihadirkan sebagai saksi mewakili tergugat II yakni MUI Kota Medan mengatakan, dia ikut dalam tim merumuskan fatwa tentang istibdal. Menurutnya, fatwa yang dikeluarkan MUI terkait dibolehkannya masjid tersebut dipindahkan dan dibangun yang baru. “Fatwa itu boleh dilaksanakan, boleh tidak,” ucapnya.
Ternyata fatwa MUI Kota Medan itu diikuti oleh pihak pengembang yakni PT Multatuli Indah. Di dalam fatwa itu, ada tercantum tiga poin penting. Namun, anehnya tidak ada kata perintah membongkar atau menghacurkan yang lama dan menggantikannya dengan ruko. Poin pertama menyebutkan, masjid yang baru memenuhi syarat sebagai pengganti bangunan masjid yang lama. Masjid yang baru sesuai untuk memenuhi pertapakan menggantikan pertapakan masjid yang lama telah ada sebelumnya. Masjid baru bisa dilangsungkan kegiatan ibadah seperti keberadaan masjid sebelumnya dan masjid lainnya. Namun, Ahmad Zuhri tidak bisa menyebutkan, apa alasan membongkar masjid yang lama. “Itu bisa diikuti, bisa tidak,” ucapnya singkat. (far)