Ibadah kurban merupakan ibadah yang usianya cukup tua seiring dengan hidupnya manusia pertama di bumi ini. Perintah kurban sangan jelas diserukan sesuai firman Allah swt yang artinya:” Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.Q.S.Al-Kausar:1-3.
Adam merupakan sosok makhluk yang sudah pernah menerapkan ibadah kurban, yaitu dengan memerintahkan anaknya Kabil dan Habil untuk melaksanakan ibadah kurban. Ibadah ini kemudian diteruskan oleh Nabi Ibrahim as. Ibadah ini belakangan disempurnakan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam sejarah Alquran, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah swt untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail as. Perintah tersebut ia laksanakan dengan penuh ikhlas tanpa ada keraguan sedikitpun. Pengorbanan Nabi Ibrahim as terhadap anaknya Ismail as merupakan cikal bakal disyariatkannya ibadah kurban dalam Islam. Ibadah yang penuh historis tersebut telah diabadikan Allah swt dalam Alquran, yaitu dalam surat as-saffât ayat 102 s/d 111.
102..Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.
103.tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
104. dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. 108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, 109. (ya-itu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. 110. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 111. Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
Didalam ayat tersebut digambarkan betapa taatnya seorang anak melaksanakan perintah orang tuanya, walaupun pekerjaan itu akan mengancam jiwanya. Ketaatan Ismail as kepada orang tuanya merupakan suatu bukti sejarah bahwa rumah tangga Ibrahim as merupakan profil rumah tangga yang sukses dalam mendidik anak-anaknya.
Pada hakikatnya, keberhasilan pendidikan didalam rumah tangga tidak terlepas dari kerja keras dan kerja sama yang baik kedua orang tua dan adanya usaha untuk mengayomi dan mendidik anak-anaknya kejalan yang benar. Menanamkan benih-benih tauhid dan pengamalan agama merupakan suatu pekerjaan yang penuh pengorbanan yang besar, baik material maupun moral. Untuk menciptakan anak yang salih dan salihah tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan tanpa adanya pengorbanan.
Rumah tangga seperti sebuah bahtera yang sedang berlayar di tengah lautan yang sedang menuju kesebuah pulau. Keberadaan orang tua laksana seorang nakhoda yang bertanggung jawab penuh terhadap penumpangnya. Seorang nakhoda harus dibekali dengan ilmu yang cukup agar bahtera tersebut selamat sampai keseberang. Kehati-hatian dan tingkat kewaspadaan yang tinggi akan membawakan bahtera tersebut selamat sampai ketempat tujuan, sebaliknya kesalahan dalam mengemudikannya, akan berakibat fatal dan dapat menenggelamkan bahtera tersebut.
Camkanlah sabda Nabi saw:
Artinya:Sesungguhnya seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi yahudi, nasrani atau majusi.HR.Tabrani.
Orang tua mempunyai tanggungjawab yang sangat besar dihadapan Allah swt, sejauh mana ia telah mendidik, mengayomi dan mengarahkan anak-anaknya. Apakah ia sudah arahkan menjadi anak yang mengenal Tuhan dan menyembah-Nya atau sebaliknya, orang tua yang hanya sekadar memberikan sandang dan pangan saja, sementara pendidikan agama ia remehkan dan ia kesampingkan. Anak-anaknya ia giring hanya kepada hal-hal yang bersifat duniawi sementara ukhrawi ia lupakan. (*)