Dalam catatan sirah, Rasulullah memiliki beberapa pembantu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “Zdu al-Ma’d” (1/113), menyebutkan beberapa pembantu nabi Muhammad di antaranya: Anas bin Malik (bagian melayani kebutuhan Rasulullah úý), Abdullah bin Mas‘ud (bagian pembawa sandal dan siwaknya), ‘Uqbah bin ‘mir al-Juhani (bagian pemandu keledainya), Asla‘ bin Syuraik (bagian urusan safari), Bilal (sebagai Mu‘adzin), Sa‘ad maula Abu Bakar, Abu Dzar al-Ghifari, Aiman bin ‘Ubaid (bagian menyiapkan tempat bersuci dan yang berkaitan dengannya).
Bagi yang membaca lembaran hayat Nabi, interaksi beliau bersama pembantu sangat mengesankan. Sebagai contoh, simak baik-baik pernyataan ‘Aisyah berikut ini, “Rasulullah tak pernah memukul sesuatu pun dengan tangannya, baik itu perempuan, maupun pembantu, melainkan dalam jihad (perang) di jalan Allah Swt.” (HR. Muslim).
Sebuah kesaksian luar biasa yang menggambarkan kelembutan dan kasih sayang Rasul kepada pelayannya. Sebagai tuan dari pembantunya, Nabi Muhammad mengingatkan dengan cara yang baik dan tak pernah membentak.
Ini bisa dilihat dari kesaksian Anas bin Malik, “Rasulullah adalah orang yang paling indah budi pekertinya. Pada suatu hari beliau menyuruh Anas untuk suatu keperluan. Ia pun menjawab: “Demi Allah, aku tidak mau pergi (seolah-olah Anas tidak mau melakukan perintah Rasulullah, namun hal itu terjadi karena beliau masih kecil), akan tetapi dalam hatiku aku bertekad akan pergi untuk melaksanakan perintah Nabi kepadaku.”
Lalu akhirnya Anas pun pergi, hingga melewati beberapa anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba Rasulullah memegang tengkuknya (leher bagian belakang) dari belakang.
Anas bercerita: “Lalu aku menengok ke arah beliau, dan beliau tersenyum.” Lalu kata beliau: ‘ Wahai, Anas kecil! Sudahkah engkau melaksanakan apa yang aku perintahkan?’ “Ya, saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah..” Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah, selama sembilan tahun aku membantu Rasulullah, aku tidak pernah mengetahui beliau menegurku atas apa yang aku kerjakan dengan ucapan: “Mengapa kamu melakukan begini dan begitu.” ataupun terhadap apa yang tidak aku kerjakan, dengan perkataan: “Kenapa tidak kamu lakukan begini dan begini.” (HR. Muslim).
Interaksi luhur dengan pembantu juga bisa dilihat dalam nasihat beliau berikut yang ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghifari, “Saudara-saudara kalian adalah budak dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan (kekuasaan) kalian.
Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (kekuasaannya), hendaklah ia memberinya makanan dari apa-apa yang dia makan, memberinya pakaian dari jenis pakaian apa yang dia pakai, dan janganlah kalian membebani (memberi tugas) mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.”(HR. Bukhari).
Pada hadits itu dijelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan agar pelayan diperlakukan sama dengan majikannya. Sehingga, tidak ada yang namanya diskriminasi atau merendahkan profesi pembantu. Mereka –seperti halnya manusia lainnya- memiliki hak untuk memakai pakaian dan makanan yang layak.
Di samping itu, yang tak kalah penting adalah jangan membebaninya tugas di luar kemampuannya. Bahkan, terkait masalah gaji, beliau juga pernah mengingatkan:
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Artinya, jangan sampai menyepelekan hak dari pesuruh, pembantu atau pekerja. Bila perlu, gaji segera diberikan sebelum keringatnya kering.
Lebih dari itu, Anas menceritakan, saat pembantu nabi Muhammad (anak Yahudi) sedang sakit, dengan cepat beliau membesuknya. Beliau juga mendakwahkan Islam padanya. Dengan suka hati –di samping dukungan orang tuanya-, akhirnya pelayan tersebut masuk Islam. Demikianlah akhlak dan interaksi Nabi dengan para pembantunya (HR. Bukhari). (hdy/ram)