24 C
Medan
Tuesday, September 24, 2024

Sejarah Penetapan Tanggal Hijriyah

Saat ini kita berada di penghujung bulan Dzulhijah, bulan ke 12 dari kalender hijriyah. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Moment yang sangat pas untuk mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.

Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,
“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)

Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun fiil/tahun gajah.

Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan)
Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah, menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi Muhammad. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander).

Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad ke Kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Hati Umar bin Khatab ternyata condong kepada usulan ke dua ini,
”Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan,
” Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)
Sudah suatu hal yang maklum, maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu.

Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Rasulullah dan para sahabatnya ke kota Madinah.

Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”

“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Rasulullah sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.

Sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Penentuan Bulan
Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji,” ujar Umar.

Akhirnya para sahabatpun sepakat.

Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). (bbs/ram)

Saat ini kita berada di penghujung bulan Dzulhijah, bulan ke 12 dari kalender hijriyah. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Moment yang sangat pas untuk mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.

Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,
“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)

Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun fiil/tahun gajah.

Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan)
Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah, menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi Muhammad. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander).

Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad ke Kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Hati Umar bin Khatab ternyata condong kepada usulan ke dua ini,
”Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan,
” Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)
Sudah suatu hal yang maklum, maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu.

Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Rasulullah dan para sahabatnya ke kota Madinah.

Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”

“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Rasulullah sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.

Sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Penentuan Bulan
Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji,” ujar Umar.

Akhirnya para sahabatpun sepakat.

Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). (bbs/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/