32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Mengerem Syahwat Korupsi

Drs.H.Hasan Maksum Nasution, SH, MA

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur, karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak, sehingga pesmisif terhadap penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan, para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu kala para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup, karena bisnisnya, ya kekuasaan itu sendiri. Pengelola bukanlah pekerja professional yang harus pintar, cerdas dan rajin, tidak digajipun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan, karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.

Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadai gaji dan upah yang diterima seseorang pekerja, merebaknya nafsu politik, kekuasaan, budaya, jalan pintas, suka menerobos aturan serta dipolitisi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas disamping karena banyak lapisannya dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu, dekontruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan mewujudkan dalam masyarakat baru yang anti korupsi.

Mengerem Syahwat Korupsi

Dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) melaporkan, bahwa selama bulan Januari – April 2010 jajarannya menyidik 567 perkara korupsi. Data tersebut hampir dua kali lebih besar dari jumlah penyidikan yang dilakukan sepanjang tahun 2009 jumlah 1.345 perkara. Data ini menggambarkan dua kondisi yang ambigu, satu sisi data tersebut menggambarkan kinerja Jampidsus dalam mendorong jajarannya di seluruh Indonesia untuk memberantas korupsi semakin meningkat, namun di sisi lain data itu juga menorehkan ironi. Tindakan represif berupa penyidikan tersebut ternyata belum mampu mengerem syahwat korupsi di seluruh daerah Indonesia.

Dengan mengacu data-data tersebut tentu muncul pertanyaan kolektif, mengapa orang saat ini, tetap tidak takut melakukan tindak pidana korupsi. Juga kita merasa bangga, Polda Sumut akan berusaha meningkatkan kinerja secara professional terhadap tindak pidana korupsi. Apalagi dengan adanya kewenangan Polri sebagai penyelidik yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, dimana di Sumut tingkat korupsi tersohor, dan kita harapkan Polri Sumut dapat menangani secara serius budaya korupsi ini, karena korupsi tidak akan berkurang, hanya dengan kata-kata (bahasa daerahnya “hata-hata dupang-dupang, kata-kata membayar hutang), karena korupsi pada umumnya sudah menjadi sedemikian kompleks.

Fenomena tidak takut melakukan tindak pidana korupsi ini tidak terlepas dari struktur politik yang mempunyai kekuasaan yang bersifat absolut. Karena, ketika seseorang memasuki arena politik, maka tujuan hanya satu, mendapatkan kekuasaan. Semakin besar kekuasaan digenggam, maka kian besar pula peluang untuk disalahgunakan. Karenanya, seperti politik korupsi dan kekuasaan juga bagai dua sisi keping mata uang. Korupsi pada prinsipnya selalu melekat dalam struktur politik yang ditandai fenomena pemusatan kekuasaan, baik untuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), ateritarian dan bahkan totalitarian (kekuasaan politik). Dimana dalam struktur itu, korupsi menjadi fungsional, karena “cost of polities” untuk memperluas, mempertahankan dan memelihara kekuasaan, juga menjadi cukup besar.

Untuk mendapatkan atau memelihara kekuasaan itu, membuat politisi, baik yang berkuasa maupun oposisi, menjadi gelap mata untuk mendapatkan sebanyak-banyak sumber pembiayaan.

Pilkada Suburkan Korupsi

Sistem politik biaya tinggi di daerah membuat elit local harus membekali diri dengan dana haram sebanyak mungkin. Penyelenggaraan “Pilkada” umpamanya, didanai dengan uang negara, akhirnya hanya untuk memilih elit lokal yang paling jago dalam menjarah uang negara. Mengikuti pemilihan kepala daerah, seperti memasuki sebuah arena judi, jika menang, maka modal yang digelantarkan bisa kembali, jika kalah bisa-bisa yang tersisa hanya tinggal celana kolor, karena dikejar hutang kiri kanan, akhirnya pusing kepala, “gila”. Itu disebabkan tingginya biaya-biaya untuk mendapatkan dukungan politik, baik dari parpel maupun dari pemilih.

Itu sebabnya, pilkada bagi banyak akademisi belakangan justru dianggap sebagai faktor utama yang menumbuh suburkan praktek korupsi di sejumlah daerah, karena elit politik membutuhkan logistik tidak sedikit untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Meningkatnya praktek korupsi memang didukung data dan fakta, sekaligus menunjukkan juga betapa praktek korupsi semakin tahun justru kian meningkat, biaya demokrasi itu memang mahal. Bukan uang dan harta benda, tetapi juga air mata, bahkan juga nyawa.

Hal ini sangat memprihatinkan, meskipun tidak bisa dipungkiri lebih banyak Pilkada yang berlangsung dengan aman dan lancar, namun pecahnya kerusuhan di pelaksanan pilkada di beberapa daerah dapat menjadi indikator, bahwa masih ada masyarakat yang belum siap menjalankan demokrasi. Tentu, ini menjadi tugas dan pekerjaan rumah kita bersama. Bukankah semua yang akan dipetik membutuhkan modal, tetapi kalau modal dalam bentuk darah, air mata dan nyawa yang harus dikeluarkan.

Meretas Korupsi Tanpa Dekonstruksi

Menurut Klitgaard, meretas budaya korupsi, mempunyai dua bidang kerja yang paling berkaitan; pertama, bagaimana mengacaukan iklim kepercayaan serta keyakinan yang memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi korup, karena korupsi memang beroperasi secara tertutup, rahasia dan mengandalkan kepercayaan tidak akan bocor keluar. Kedua, melawan sinisme publik, karena kata-kata sudah terlampau murah, langkah pertama yang pas adaalh menangkap ikan besar (koruptor kelas kakap). Dalam budaya korupsi, ikan teri yang terlihat korupsi, hanya sedikit pengaruhnya, tapi jika keseriusan memberantas korupsi itu ditunjukkan melalui apa yang disebut Klitgaard “dengan menggoreng ikan besar di depan umum” yang diikuti dengan pengumuman perubahan-perubahan kebijakan untuk melawan korupsi, maka mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap sikap masyarakat terhadap korupsi.

Strategi Media Massa

Media massa maksudnya adalah media informasi untuk menyampaikan pesan (informasi) kepada khalayak ramai (masyarakat), merupakan sarana informasi yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan dan kesan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan media massa terdiri dari berbagai pesan antara lain pesan tentang pembangunan bangsa dan negara, tentang berkhlakul karimah, tentang mengatasi sosial masyarakat dan tentang masalah korupsi.

Demikian halnya pesan (informasi) tentang masalah korupsi, tentang masalah narkoba dan solusi untuk memberantas masalah korupsi, media massa memegang peranan penting untuk menyampaikan tentang masalah-masalah tersebut, media massa terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu media elektrorik seperti televise dan radio dan media cetak, seperti surat kabar, majallah dan lainnya. Kedua jenis media massa mempunyai tujuan sama yaitu menyampaikan pesan (informasi) terhadap masyarakat, sehingga masyarakat diikut sertakan dalam masalah besar ini. Jadi hal yang paling utama untuk memberantas korupsi ialah harus dimulai dari keluarga (masyarakat), firman Allah surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”,  nah generasi muda sejak dini harus dibekali pendidikan agama (moral, budi pekerti dan akhlak karimah). Akhirnya mari sama kita berdoa Kehadirat Ilahi Rabbi, mari kita bangun individu generasi muda untuk berakhlak karimah, saling nasehat-menasehati, dan amar ma’ruf nahi munkar.

(Penulis Dosen STAI. Sumatera,  PTI Al-Hikmah dan STAI.RA. Batang Kuis).

Drs.H.Hasan Maksum Nasution, SH, MA

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur, karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak, sehingga pesmisif terhadap penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan, para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu kala para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup, karena bisnisnya, ya kekuasaan itu sendiri. Pengelola bukanlah pekerja professional yang harus pintar, cerdas dan rajin, tidak digajipun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan, karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.

Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadai gaji dan upah yang diterima seseorang pekerja, merebaknya nafsu politik, kekuasaan, budaya, jalan pintas, suka menerobos aturan serta dipolitisi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas disamping karena banyak lapisannya dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu, dekontruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan mewujudkan dalam masyarakat baru yang anti korupsi.

Mengerem Syahwat Korupsi

Dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) melaporkan, bahwa selama bulan Januari – April 2010 jajarannya menyidik 567 perkara korupsi. Data tersebut hampir dua kali lebih besar dari jumlah penyidikan yang dilakukan sepanjang tahun 2009 jumlah 1.345 perkara. Data ini menggambarkan dua kondisi yang ambigu, satu sisi data tersebut menggambarkan kinerja Jampidsus dalam mendorong jajarannya di seluruh Indonesia untuk memberantas korupsi semakin meningkat, namun di sisi lain data itu juga menorehkan ironi. Tindakan represif berupa penyidikan tersebut ternyata belum mampu mengerem syahwat korupsi di seluruh daerah Indonesia.

Dengan mengacu data-data tersebut tentu muncul pertanyaan kolektif, mengapa orang saat ini, tetap tidak takut melakukan tindak pidana korupsi. Juga kita merasa bangga, Polda Sumut akan berusaha meningkatkan kinerja secara professional terhadap tindak pidana korupsi. Apalagi dengan adanya kewenangan Polri sebagai penyelidik yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, dimana di Sumut tingkat korupsi tersohor, dan kita harapkan Polri Sumut dapat menangani secara serius budaya korupsi ini, karena korupsi tidak akan berkurang, hanya dengan kata-kata (bahasa daerahnya “hata-hata dupang-dupang, kata-kata membayar hutang), karena korupsi pada umumnya sudah menjadi sedemikian kompleks.

Fenomena tidak takut melakukan tindak pidana korupsi ini tidak terlepas dari struktur politik yang mempunyai kekuasaan yang bersifat absolut. Karena, ketika seseorang memasuki arena politik, maka tujuan hanya satu, mendapatkan kekuasaan. Semakin besar kekuasaan digenggam, maka kian besar pula peluang untuk disalahgunakan. Karenanya, seperti politik korupsi dan kekuasaan juga bagai dua sisi keping mata uang. Korupsi pada prinsipnya selalu melekat dalam struktur politik yang ditandai fenomena pemusatan kekuasaan, baik untuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), ateritarian dan bahkan totalitarian (kekuasaan politik). Dimana dalam struktur itu, korupsi menjadi fungsional, karena “cost of polities” untuk memperluas, mempertahankan dan memelihara kekuasaan, juga menjadi cukup besar.

Untuk mendapatkan atau memelihara kekuasaan itu, membuat politisi, baik yang berkuasa maupun oposisi, menjadi gelap mata untuk mendapatkan sebanyak-banyak sumber pembiayaan.

Pilkada Suburkan Korupsi

Sistem politik biaya tinggi di daerah membuat elit local harus membekali diri dengan dana haram sebanyak mungkin. Penyelenggaraan “Pilkada” umpamanya, didanai dengan uang negara, akhirnya hanya untuk memilih elit lokal yang paling jago dalam menjarah uang negara. Mengikuti pemilihan kepala daerah, seperti memasuki sebuah arena judi, jika menang, maka modal yang digelantarkan bisa kembali, jika kalah bisa-bisa yang tersisa hanya tinggal celana kolor, karena dikejar hutang kiri kanan, akhirnya pusing kepala, “gila”. Itu disebabkan tingginya biaya-biaya untuk mendapatkan dukungan politik, baik dari parpel maupun dari pemilih.

Itu sebabnya, pilkada bagi banyak akademisi belakangan justru dianggap sebagai faktor utama yang menumbuh suburkan praktek korupsi di sejumlah daerah, karena elit politik membutuhkan logistik tidak sedikit untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Meningkatnya praktek korupsi memang didukung data dan fakta, sekaligus menunjukkan juga betapa praktek korupsi semakin tahun justru kian meningkat, biaya demokrasi itu memang mahal. Bukan uang dan harta benda, tetapi juga air mata, bahkan juga nyawa.

Hal ini sangat memprihatinkan, meskipun tidak bisa dipungkiri lebih banyak Pilkada yang berlangsung dengan aman dan lancar, namun pecahnya kerusuhan di pelaksanan pilkada di beberapa daerah dapat menjadi indikator, bahwa masih ada masyarakat yang belum siap menjalankan demokrasi. Tentu, ini menjadi tugas dan pekerjaan rumah kita bersama. Bukankah semua yang akan dipetik membutuhkan modal, tetapi kalau modal dalam bentuk darah, air mata dan nyawa yang harus dikeluarkan.

Meretas Korupsi Tanpa Dekonstruksi

Menurut Klitgaard, meretas budaya korupsi, mempunyai dua bidang kerja yang paling berkaitan; pertama, bagaimana mengacaukan iklim kepercayaan serta keyakinan yang memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi korup, karena korupsi memang beroperasi secara tertutup, rahasia dan mengandalkan kepercayaan tidak akan bocor keluar. Kedua, melawan sinisme publik, karena kata-kata sudah terlampau murah, langkah pertama yang pas adaalh menangkap ikan besar (koruptor kelas kakap). Dalam budaya korupsi, ikan teri yang terlihat korupsi, hanya sedikit pengaruhnya, tapi jika keseriusan memberantas korupsi itu ditunjukkan melalui apa yang disebut Klitgaard “dengan menggoreng ikan besar di depan umum” yang diikuti dengan pengumuman perubahan-perubahan kebijakan untuk melawan korupsi, maka mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap sikap masyarakat terhadap korupsi.

Strategi Media Massa

Media massa maksudnya adalah media informasi untuk menyampaikan pesan (informasi) kepada khalayak ramai (masyarakat), merupakan sarana informasi yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan dan kesan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan media massa terdiri dari berbagai pesan antara lain pesan tentang pembangunan bangsa dan negara, tentang berkhlakul karimah, tentang mengatasi sosial masyarakat dan tentang masalah korupsi.

Demikian halnya pesan (informasi) tentang masalah korupsi, tentang masalah narkoba dan solusi untuk memberantas masalah korupsi, media massa memegang peranan penting untuk menyampaikan tentang masalah-masalah tersebut, media massa terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu media elektrorik seperti televise dan radio dan media cetak, seperti surat kabar, majallah dan lainnya. Kedua jenis media massa mempunyai tujuan sama yaitu menyampaikan pesan (informasi) terhadap masyarakat, sehingga masyarakat diikut sertakan dalam masalah besar ini. Jadi hal yang paling utama untuk memberantas korupsi ialah harus dimulai dari keluarga (masyarakat), firman Allah surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”,  nah generasi muda sejak dini harus dibekali pendidikan agama (moral, budi pekerti dan akhlak karimah). Akhirnya mari sama kita berdoa Kehadirat Ilahi Rabbi, mari kita bangun individu generasi muda untuk berakhlak karimah, saling nasehat-menasehati, dan amar ma’ruf nahi munkar.

(Penulis Dosen STAI. Sumatera,  PTI Al-Hikmah dan STAI.RA. Batang Kuis).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/