Drs H Hasan Maksum Nasution SH, SPd I, MA
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perhatikanlah, sesungguhnya jalan yang menuju surga itu dikepung oleh kesukaran (hal-hal yang tidak menyenangkan), sementara jalan menuju neraka itu dikepung dengan kesenangan-kesenangan nafsu”.
Dan sabda beliau lagi: “Perhatikan. Sesungguhnya jalan menuju surga itu penuh dengan tanjakan (kesukaran) sedangkan jalan menuju ke neraka itu, mudah dan penuh kesenangan syahwat”.
Nah, ibadah merupakan jalan menuju kebahagiaan dan cara yang harus ditempuh untuk masuk surga, karenanya, penciptaan manusia tiada lain hanyalah untuk beribadah, agar tercipta puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki di sisi Allah.
Jalan yang dilalui dalam beribadah mulai dari awal hingga yang akhir, dari tingkat terendah sampai tertinggi, yang menjadi harapan dan cita-cita bagi penempuhnya, ternyata jalan itu sangat sulit dan melelahkan, banyak tanjakan dan penuh resiko, nyaris terkepung rintangan dan tantangan, pembegal dan penjagal.
Sementara di sisi lain, manusia sebagai penempuh jalan itu, sangatlah lemah, berumur pendek dan memiliki banyak keterbatasan, namun ia tetap dituntut untuk dapat melaluinya hingga lolos sampai dipuncak, meraih kesuksesan. Bila tidak, akan hancur, merintih pedih, pedih dalam kehinaan siksa yang tiada henti.
Merentas dan Mematahkan Hambatan
Bagaimana caranya merantas dan mematahkan hambatan dan kesulitan-kesulitan tersebut, hingga dapat meraih buah kesuksesan beribadah? tahapan-tahapan yang mesti dilalui itu dalam pandangan sang maestro ada tujuh, secara kronologis tujuh tanjakan dan tahapan itu ialah tahap ilmu dan ma’rifat, tahap taubat, tahap rintangan, tahap godaan, tahap motivator tahapan pendoda dan pencemar ibadah dan tahap puji dan syukur.
Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaNya. Jalan untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya, begitu jelas bagi orang yang memiliki kehendak dan ketetapan hati untuk menempuhnya, tetapi Allah berkuasa menyesatkan siapa yang dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. Allah maha mengetahui terhadap orang-orang yang pantas mendapatkan petunjuk.
Sesungguhnya ibadah itu merupakan buah dari ilmu, kegunaan umum, menghasilkan kekuatan bagi seseorang hamba, harta perniagaan, para wali, jalan-jalan orang yang bertakwa, saham orang yang alim, profesi para pembesar dan pilihan orang-orang yang memiliki penglihatan.
Ibadah juga adalah jalan menuju kebahagiaan dan cara yang harus ditempuh untuk masuk surga.
Bersamaan dengan itu, manusia merupakan makhluk yang lemah, sementara masa yang dilaluinya begitu sulit dan melelahkan, persoalan keagamaan menjadi semakin surut, kesempatan untuk merealisasikan komitmen keagamaan sangat sempit, umur begitu pendek, kesibukan sangat banyak dan menumpuk, juga kesempatan untuk beramal selalu saja terabaikan dan gegabah dalam menunaikannya.
Padahal yang menilai, maha melihat. Karenanya barangsiapa yang memperoleh bekal ketaatan yang memadai, sungguh dialah orang yang beruntung dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, sepanjang masa selama-lamanya.
Sebaliknya, barangsiapa yang melewatkan kebaktian begitu saja, maka merugilah ia bersama orang-orang rugi, binasalah ia bersama orang-orang yang binasa, karena ia menyia-nyiakan ibadah yang menjadi perintah Allah baginya, maka jadilah ia berada dalam sebuah kondisi yang terekam oleh kebinasaan dan kerugian yang besar.
Mulialah orang-orang yang bermaksud meniti ibadah, tapi sayang jumlahnya hanya sedikit dan mulialah orang-orang yang merambah dan menempuh jalan dan sangat sedikit diantara mereka yang konsisten dengan tujuan semula, sampai memperoleh apa yang dicita-citakan.
Sesungguhnya, sesuatu yang pertama kali menggerakkan kesadaran seorang hamba untuk beribadah dan menempuh jalan secara murni dan ikhlas adalah, karena adanya motivasi getaran samawiyah dari Allah SWT dan petunjuk- Nya secara khusus.
Dalam surat Az-Zumar ayat 22 Allah berfirman: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapatkan cahaya dari Tuhannya. Dengan demikian, maka seseorang perlu mengendalikannya dengan kendali takawa, agar keberadaan nafsu itu tetap ada.(*)
(Penulis Dosen STAISU)