Drs H Hasan Maksum Nasution, SH, SPdI, MA
Rasulullah Saw bersabda, “Setiap keturunan Adam melakukan kesalahan. Dan sebaik-baiknya pelaku kesalahan adalah yang bertaubat (HR. Ahmad dan At Tirmidzi).
Manusia yang sadar akan menghiasi dirinya dengan berbagai akhlak yang baik, di antaranya adalah sikap memaafkan dan toleransi. Karena, sikap ini merupakan keniscayaan sosial bagi manusia yang beradab. Sikap ini sejalan dengan nama “insan” yang berarti tenang dan memaafkan. Sikap tenang ini tidak lengkap, jika tidak diiringi dengan sikap memaafkan kesalahan orang lain.
Jika sikap memaafkan dan toleransi hilang dari diri manusia, maka manusia akan terjerumus pada keserakahan dengan alasan prestasi dan kecerdasan. Ia akan melanggar hak orang lain dan tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Dengan hilangnya sikap toleran, terjadilah akumulasi kesalahan orang lain dalam memori. Hal ini mempermudah terbukanya file kemarahan ketika terjadi permasalahan atau perselisihan.
Dengan demikian, perselisihan menjadi tertutup hingga tidak dapat mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik. Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang tidak dapat menerima hal-hal positif dan selalu menganggap semuanya salah dalam kondisi apapun.
Keyakinan bahwa kebahagian berada di luar diri kita dan orang lain adalah penyebab kesengsaraan dan mitos yang yang kita buat sendiri. Sumber kesengsaraan kita justru karena ada sikap dengki dan tidak toleran dalam diri. Sikap toleran adalah suatu sikap tepo seliro kepada sesamanya atau menghargai pendapat orang lain. Toleransi bisa disebut “ikhtimal”, tasamuh yang artinya sikap membiarkan, lapang dada, jadi toleran beragama adalah menghargai, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok. Suatu sikap yang sangat terlarang bagi seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan sebagai sikap toleransi. Padahal ini adalah sikap sinkritisme yang dilarang oleh Islam. Tidak ada toleransi dalam Islam, apabila berkenaan dengan masala aqidah dan ibadah.
Dalam hal ini, beda antara toleransi dan sinkritisme sangatlah tipis, sehingga kita dapat benar-benar memisahkan mana sikap toleransi dan mana sikap sikritisme, bagi kalangan sekuler, sikritisme bukanlah hal hal yang dipersoalkan, karena mereka menganggap, agama haruslah terpisah sama sekali dengan kehidupan bernegara, Negara tidak boleh mengatur urusan agama, karena itu menyanggut hak azazi seseorang yang tidak perlu diatur oleh Negara.
Di Indonesia ajaran Islam tentang toleransi sejalan apa yang ada dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi; “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pada pasal tersebut dijelaskan, tidak boleh ada paksaan dari mana pun terhadap keyakinan seseorang, karena hal itu termasuk hak azasi yang perlu dilindungi. Toleransi dalam Islam telah dipraktekkan ketika Rasulullah Saw tinggal di Madinah. Meskipun saat itu beliau adalah seorang pemimpin, namun beliau tetap menghormati umat lain.
Hal ini dapat dilihat, ketika Nabi Muhammad Saw membuat perjanjian yang dikenal dengan istilah Piagam Madinah. Di dalam Piagam Madinah secara ekspelisit tertulis beberapa golongan dan berbagai suku. Rasulullah Saw tampaknya mempunyai pengetahuan yang luas tentang keadaan politik kelompok-kelompok secara terpisah, maka tidak ada persatuan di antara mereka dan mereka tidak mempunyai pemerintahan yang membawahi berbagai kelompok itu.
Di dalam Piagam Madinah terdapat kalimat-kalimat yang mengandung makna dan mengarah kepada kesatuan dan persatuan. Pada Pasal 1 dinyatakan, “Mereka satu umat, berbeda dengan yang lain”, pasal 15 menyatakan, perlindungan Allah hanyalah satu, pasal 16 menentukan “Orang Yahudi yang mengikuti kita, berhak atas pertolongan dan bantuan”, pasal 24 menyatakan “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan”, pasal 25 menyatakan “Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama kaum mukminin”.
Dalam rangka upaya melakukan konvergensi sosial, Rasulullah Saw melakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pertemuan kaum muslimin. Kedua, mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor. Ketiga, meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang mengikut sertakan semua penduduk Madinah yang terdiri berbagai kelompok, termasuk Yahudi. Pada bulan-bulan pertama menetap di Madinah, beliau sibuk mengatur berbagai urusan menyanggut komunitas muslimin, agama dan urusan sekuler.
Banyak sekali urusan kaum muslimin yang ditanganinya, demikian pula dengan urusan internal seperti hubungan dengan pihak Yahudi, Musyirikin dan dengan kelompok-kelompok lain. Di samping membina persatuan intern umat Islam. Rasulullah juga menjalin hubungan dengan orang-orang di luar Islam. Di dalam Piagam Madinah, tentang hubungan umat Islam dengan orang-orang di luar Islam itu ditetapkan ketentuan yang sangat toleransi. Masyarakat Madinah sangat berbeda dengan saat beliau di Mekkah, Beliau melihat, bahwa di Madinah orang-orang hidup rukun dan damai.
Rasulullah Saw sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk memusuhi atau menyinggirkan mereka, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi dan kaum penyembah berhala, beliau mengikat perjanjian dengan mereka untuk hidup berdampingan dan bekerja sama, hak dan kewajiban masing-masing suku dan golongan serta hubugan antara yang satu dengan yang lain dicantumkan di Piagam Madinah. Dengan kebijakan rasulullah saw yang membuat suatu perjanjian, justru sangan menguntungkan bagi Islam dan kaum muslimin, tidak sedikit dari mereka (Yahudi dan musyrikin Quraisy) yang kemudian masuk Islam dikarenakan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan toleransi.
Bekaitan dengan tolelaransi dalam masyarakat, Rasulullah Saw bersabda; “Barang siapa yang menyakiti kaum zimmi, maka akulah menjadi penentang/lawannya. Dan barang siapa yang menjadi penentangku, aku akan menentangnya pada hari kiamat”.
Hadis ini menunjukkkan, orang zimmi tidak boleh disakiti/diganggu, ia harus dijamin keselamatan jiwa, harta benda dan kebebasan agamanya. Rasulluah akan menindak dan akan mengajukan orang yang disakitinya/menggangu hak zimmi itu, Hadis ini menunjukkan betapa Islam sangat toleran terhadap seseorang meskipun itu tidak satu keyakinan/berlain agama, jadi, tidaklah dibenarkan dalam Islam memusuhi seseorang atau kelompok tertentu dengan alasan, karena mereka adalah orang yang berlainan agama.Hadis lain yang masih berkaitan dengan sikap toleransi dalam Islam yaitu Nabi Saw bersabda, “Wahai golongan Quraisy, apakah yang akan saya perbuat terhadap kamu sekalian menurut dugaanmu? Jawab mereka; “Engkau akan berbuat baik, sebab engkau adalah seorang saudara yang mulia dan anak seorang saudara yang mulia”. Nabi Saw bersabda “Pergilah (Kemana kamu suka) sebab kamu semuanya dibebaskan/dimaafkan”.
Berkat toleransi Nabi saw yang sangat besar itu, golongan Quraisy dan suku-suku bangsa arab lainnya serta bangsa-bangsa non-Arab yang bermacam-macam agama dan kepercayaan itu berbondong-bondong dating kepada Nabi Saw untuk menyatakan diri masuk Islam dan Islam mereka banar-benar lahir bathin atas dasar kemauannya dan kesadaran mereka sendiri.
Itulah beberapa fakta sejarah yang dapat dijadikan bukti, dalam Islam sikap toleransi/menghargai pendapat orang lain amatlah diperhatikan dan di terapkan, oleh karena itulah kita sebagai umat dari Nabi Saw sudah barang tentu mengikuti dan menjalankan apa yang telah diajarkan oleh beliau.(*)
Penulis dosen STAI Sumatera, PTI
Al Hikamah dan STAI RB Batangkuis.