25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sediakan 11 Kamar untuk Musafir

Masjid Al Amin Jalan Setia Budi Medan

Masjid Al Amin di Jalan Setia Budi Medan berdiri sejak 1960-an. Awalnya, masjid ini masih berstatus langgar bernama Taqwa. Namun kini, masjid ini berdiri megah dengan kubah mozaik emas. Bahkan, di masjid ini juga tersedia 11 kamar untuk para musafir.

Rahmat Sazaly Munthe, Medan

Tanah tempat berdirinya masjid ini dulunya merupakan tanah wakaf dari warga bernama H Sarpin Hasibuan, dengan luas tanah seukuran langgar, 10×10 meter. Saat itu, langgar ini masih terbuat dari dinding papan, beratapkan seng alakadarnya.

Untuk pertamakalinya, langgar ini berlokasi di simpang Jalan Dr Mansyur-Setia Budi Medan, tepatnya di pelataran parkir Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amalliyah saat ini. Sekitar 1982, seorang bernama H Abdul Muis memprakarsai renovasi bangunan langgar menjadi masjid dan bangunannya pun menjadi permanen.

Delapan tahun kemudian, tepatnya 1990, masjid ini pun berpindah tempat ke alamat yang sekarang. “Hal ini dikarenakan adanya pelebaran jalan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Dan Pemko mengganti rugi tanah tersebut dengan jumlah Rp20 juta,” ungkap Ketua Persatuan Tolong Menolong dan Kemalangan (PTMK) Masjid Al Amin H Syafaruddin, didampingi Arsitek Bangunan Masjid Al Amin H Sukijo, Kamis (16/2).

Setelah pemindahan lokasi masjid, Rp15 juta dari dana yang diterima dari Pemko Medan dialokasikan untuk membeli tanah di alamat masjid yang sekarang, yang dulunya adalah milik H Samiran. Dan mendapatkan tanah seluas 300 meter. “Sisanya untuk pembangunan Masjid Al Amin, yang masa itu masih dibangun dengan bangunan yang biasa atau yang lama,” ujar H Syafaruddin. Dan pada 1991, Masjid Al Amin diresmikan oleh Wali Kota Medan saat itu, Baharuddin Djafar.

Setelah itu, pada awal tahun 2000, luas masjid bertambah seiring dibelinya tanah seluas 130 meter ke arah belakang masjid. “Saat ini keseluruhan luas masjid berukuran lebih kurang 400-an meter,” jelas H Syafaruddin.

Selanjutnya, sambungkan H Sukijo, pada 2005 lalu, diprakarsai oleh dirinya sendiri, H Abdul Hamid dan masyarakat, masjid yang sekarang ini pun mulai dibangun. “Hingga saat ini masjid masih rampung sekitar 99 persen. Dan pada 2008 lalu masjid sudah dapat dipakai untuk melaksanakan salat wajib,” katanya.

Menurut H Sukijo, saat ini, di depan Masjid Al Amin direncanakan akan dibangun supermarket dan perpustakaan yang menyediakan buku-buku bacaan tentang keagamaan. “Di lantai dua, selain terdapat tempat untuk salat, kami juga membangun lima kamar, dan di lantai tiga enam kamar. Hal ini kami lakukan untuk memberikan kenyamanan bagi para musafir baik dalam dan luar kota untuk singgah di masjid ini,” jelasnya.

Uniknya lagi, kubah dan menara dari Masjid Al Amin ini berwaran keemasan. “Ini kami dapat dari seorang donatur yang tak ingin disebutkan namanya. Ia mencontohkan warna masjid di Brunai Darussalam, dan lantas kami membangunnya. Dan semua bahan keramik dan mozaik berwarna emas tersebut merupakan sumbangan dari beliau,” tuturnya.

Kubah Masjid Al Amin ini juga mirip dengan Masjid Kubah Emas Depok Jakarta, dengan warnanya yang keemasan. Selain itu, empat menara yang dibangun juga tak lepas dari unsur manusia, yakni air, api, bumi dan angin. “Kalau Bahasa Jawanya, Dulur Papat Perkoro, banyu, geni, bumi dan angin,” kata H Sukijo.

Jika ditambah kubah inti masjid, maka melambangkan kewajiban salat lima waktu dan rukun Islam. “Dibangunnya empat menara ini juga diprakarsai oleh dua perwiridan, yakni PTMK Al Amin dan Rukun Amal Saleh (RAS) Masjid Al Amin,” terang H Syafaruddin.
Saat ini, Masjid Al Amin dapat menampung hingga 800-an jamaah. Selain itu, di Masjid Al Amin juga diadakan pengajian Al Quran bagi anak-anak ba’da Salat Maghrib, dan pengajian minggu kelima oleh perwiridan yang mengundang ustadz. (*)

Masjid Al Amin Jalan Setia Budi Medan

Masjid Al Amin di Jalan Setia Budi Medan berdiri sejak 1960-an. Awalnya, masjid ini masih berstatus langgar bernama Taqwa. Namun kini, masjid ini berdiri megah dengan kubah mozaik emas. Bahkan, di masjid ini juga tersedia 11 kamar untuk para musafir.

Rahmat Sazaly Munthe, Medan

Tanah tempat berdirinya masjid ini dulunya merupakan tanah wakaf dari warga bernama H Sarpin Hasibuan, dengan luas tanah seukuran langgar, 10×10 meter. Saat itu, langgar ini masih terbuat dari dinding papan, beratapkan seng alakadarnya.

Untuk pertamakalinya, langgar ini berlokasi di simpang Jalan Dr Mansyur-Setia Budi Medan, tepatnya di pelataran parkir Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amalliyah saat ini. Sekitar 1982, seorang bernama H Abdul Muis memprakarsai renovasi bangunan langgar menjadi masjid dan bangunannya pun menjadi permanen.

Delapan tahun kemudian, tepatnya 1990, masjid ini pun berpindah tempat ke alamat yang sekarang. “Hal ini dikarenakan adanya pelebaran jalan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Dan Pemko mengganti rugi tanah tersebut dengan jumlah Rp20 juta,” ungkap Ketua Persatuan Tolong Menolong dan Kemalangan (PTMK) Masjid Al Amin H Syafaruddin, didampingi Arsitek Bangunan Masjid Al Amin H Sukijo, Kamis (16/2).

Setelah pemindahan lokasi masjid, Rp15 juta dari dana yang diterima dari Pemko Medan dialokasikan untuk membeli tanah di alamat masjid yang sekarang, yang dulunya adalah milik H Samiran. Dan mendapatkan tanah seluas 300 meter. “Sisanya untuk pembangunan Masjid Al Amin, yang masa itu masih dibangun dengan bangunan yang biasa atau yang lama,” ujar H Syafaruddin. Dan pada 1991, Masjid Al Amin diresmikan oleh Wali Kota Medan saat itu, Baharuddin Djafar.

Setelah itu, pada awal tahun 2000, luas masjid bertambah seiring dibelinya tanah seluas 130 meter ke arah belakang masjid. “Saat ini keseluruhan luas masjid berukuran lebih kurang 400-an meter,” jelas H Syafaruddin.

Selanjutnya, sambungkan H Sukijo, pada 2005 lalu, diprakarsai oleh dirinya sendiri, H Abdul Hamid dan masyarakat, masjid yang sekarang ini pun mulai dibangun. “Hingga saat ini masjid masih rampung sekitar 99 persen. Dan pada 2008 lalu masjid sudah dapat dipakai untuk melaksanakan salat wajib,” katanya.

Menurut H Sukijo, saat ini, di depan Masjid Al Amin direncanakan akan dibangun supermarket dan perpustakaan yang menyediakan buku-buku bacaan tentang keagamaan. “Di lantai dua, selain terdapat tempat untuk salat, kami juga membangun lima kamar, dan di lantai tiga enam kamar. Hal ini kami lakukan untuk memberikan kenyamanan bagi para musafir baik dalam dan luar kota untuk singgah di masjid ini,” jelasnya.

Uniknya lagi, kubah dan menara dari Masjid Al Amin ini berwaran keemasan. “Ini kami dapat dari seorang donatur yang tak ingin disebutkan namanya. Ia mencontohkan warna masjid di Brunai Darussalam, dan lantas kami membangunnya. Dan semua bahan keramik dan mozaik berwarna emas tersebut merupakan sumbangan dari beliau,” tuturnya.

Kubah Masjid Al Amin ini juga mirip dengan Masjid Kubah Emas Depok Jakarta, dengan warnanya yang keemasan. Selain itu, empat menara yang dibangun juga tak lepas dari unsur manusia, yakni air, api, bumi dan angin. “Kalau Bahasa Jawanya, Dulur Papat Perkoro, banyu, geni, bumi dan angin,” kata H Sukijo.

Jika ditambah kubah inti masjid, maka melambangkan kewajiban salat lima waktu dan rukun Islam. “Dibangunnya empat menara ini juga diprakarsai oleh dua perwiridan, yakni PTMK Al Amin dan Rukun Amal Saleh (RAS) Masjid Al Amin,” terang H Syafaruddin.
Saat ini, Masjid Al Amin dapat menampung hingga 800-an jamaah. Selain itu, di Masjid Al Amin juga diadakan pengajian Al Quran bagi anak-anak ba’da Salat Maghrib, dan pengajian minggu kelima oleh perwiridan yang mengundang ustadz. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/