25.6 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Masjid Lubuk, Saksi Sejarah Keberadaan Suku Minang di Tebingtinggi

Masjid Lubuk, yang terletak di kawasan Jalan Ahmad Yani Kelurahan  Pasar Baru, Kota Tebingtinggi, adalah saksi tonggak sejarah keberadaan suku Minang yang dikenal sebagai perantau di Kota Tebingtinggi. Masjid Lubuk ini sendiri, sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Selama itu pula, Masjid Lubuk baru satu kali melakukan pemugaran atau renovasi yakni pada tahun 1985 silam.

Nazir Masjid Lubuk, Sultan Juma Piliang mengaku, jika dahulunya bangunan Masjid Lubuk ini terbuat dari kayu ukir dengan motif bangunan rumah gadang adat suku Minangkabau. “Disebut Masjid Lubuk, karena dahulunya masjid ini dibangun di atas rawa-rawa, kondisi bangunan tinggi menyerupai rumah gadang. Rawa-rawa tersebut dahulu banyak ikan  mujair dan ikan kalang-kalang (sejenis lele),”ujar pria berusia 85 tahun itu, yang merantau ke Tebingtinggi sejak tahun 1955 dari Padang Pariaman bersama kedua  orangtuanya.

Dia juga mengatakan, Masjid Lubuk dahulu tempat berkumpulnya masyarakat suku Minang di seluruh Kota Tebingtinggi, selain tempat ibadah warga Minang, masjid dipergunakan untuk membahas sekaligus bermusyawarah warga untuk acara-acara adat-istiadat suku Minang. “Ketika masyarakat Minang akan mengadakan pesta adat dan perkawinan, tuan-tuan guru semuanya membahas di masjid ini. Terkadang untuk menjalankan bisnis perdagangan juga dibahas di masjid ini,”ungkap Juma Piliang, saat ditemui di Masjid Lubuk belum lama ini.

Dahulunya, menurut Juma,  masyarakat minang di Kota Tebingtinggi melakukan silatuhrami dengan masyarakat suku Minang dan suku lainnya terkait perkembangan adat Minang di Tebingtinggi. Dahulu  suku Minang di  kota Tebingtinggi ini juga bilangnya, banyak yang tinggal di jantung kota seperti sekarang, namanya Kampung Durian, Kampung Rao, Kampung Kurnia dan Kampung Jati (sekarang jalan Simpang Nereka). Kebanyakan suku Minang dahulu, berdagang pakaian dipasar-pasar dan inti Kota Tebingtinggi serta membuat makanan Lemang.

“Itulah keadaan suku M inang pada jaman dahulu, kehidupan selalu mengutamakan gotong royong untuk membantu warga Minang lainnya dalam keadaan kesusuahan,”kisahnya.

Pendirian Masjid Lubuk ini sendiri merupakan peninggalan wakaf  Hj Samsiar Mandai yang telah wafat di Mekkah,  dengan tujuan mempersatukan umat muslim suku Minang di Kota Tebingtinggi. “Misalnya, setiap ada warga Minang perantau yang melintasi Kota Tebingtinggti untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain, warga Minang selalu menampungnya di masjid ini, mereka mengumpulkan dana untuk diberikan kepada warga Minang perantuan baru dengan istilah padangnya Badoncek,”terangnya.

Meskipun telah dipugar, namun Masjid Lubuk seluas 6×9 meter tetap memiliki ciri khas kesukuan Minangnya, bangunan untuk kubah masih menggunakan gambar ciri khas rumah gadang. Tetapi sayangnya, salah satu peninggalan sejarah ini kondisinya sekarang kurang diperhatikan karena kemajuan zaman, lokasi masjid terletak sedikit masuk ke dalam dengan jalan selebar 1 meter memang tidak terlihat jika melintas di pinggir jalan. “Walapun begitu, sekarang masyarakat Minang Kota Tebingtinggi masih menggunakan masjid Lubuk sebagai tempat bermusyawarah dan membahas acara adat pesta perkawinan,” bilang Juma Piliang mengakhiri. (*)

Masjid Lubuk, yang terletak di kawasan Jalan Ahmad Yani Kelurahan  Pasar Baru, Kota Tebingtinggi, adalah saksi tonggak sejarah keberadaan suku Minang yang dikenal sebagai perantau di Kota Tebingtinggi. Masjid Lubuk ini sendiri, sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Selama itu pula, Masjid Lubuk baru satu kali melakukan pemugaran atau renovasi yakni pada tahun 1985 silam.

Nazir Masjid Lubuk, Sultan Juma Piliang mengaku, jika dahulunya bangunan Masjid Lubuk ini terbuat dari kayu ukir dengan motif bangunan rumah gadang adat suku Minangkabau. “Disebut Masjid Lubuk, karena dahulunya masjid ini dibangun di atas rawa-rawa, kondisi bangunan tinggi menyerupai rumah gadang. Rawa-rawa tersebut dahulu banyak ikan  mujair dan ikan kalang-kalang (sejenis lele),”ujar pria berusia 85 tahun itu, yang merantau ke Tebingtinggi sejak tahun 1955 dari Padang Pariaman bersama kedua  orangtuanya.

Dia juga mengatakan, Masjid Lubuk dahulu tempat berkumpulnya masyarakat suku Minang di seluruh Kota Tebingtinggi, selain tempat ibadah warga Minang, masjid dipergunakan untuk membahas sekaligus bermusyawarah warga untuk acara-acara adat-istiadat suku Minang. “Ketika masyarakat Minang akan mengadakan pesta adat dan perkawinan, tuan-tuan guru semuanya membahas di masjid ini. Terkadang untuk menjalankan bisnis perdagangan juga dibahas di masjid ini,”ungkap Juma Piliang, saat ditemui di Masjid Lubuk belum lama ini.

Dahulunya, menurut Juma,  masyarakat minang di Kota Tebingtinggi melakukan silatuhrami dengan masyarakat suku Minang dan suku lainnya terkait perkembangan adat Minang di Tebingtinggi. Dahulu  suku Minang di  kota Tebingtinggi ini juga bilangnya, banyak yang tinggal di jantung kota seperti sekarang, namanya Kampung Durian, Kampung Rao, Kampung Kurnia dan Kampung Jati (sekarang jalan Simpang Nereka). Kebanyakan suku Minang dahulu, berdagang pakaian dipasar-pasar dan inti Kota Tebingtinggi serta membuat makanan Lemang.

“Itulah keadaan suku M inang pada jaman dahulu, kehidupan selalu mengutamakan gotong royong untuk membantu warga Minang lainnya dalam keadaan kesusuahan,”kisahnya.

Pendirian Masjid Lubuk ini sendiri merupakan peninggalan wakaf  Hj Samsiar Mandai yang telah wafat di Mekkah,  dengan tujuan mempersatukan umat muslim suku Minang di Kota Tebingtinggi. “Misalnya, setiap ada warga Minang perantau yang melintasi Kota Tebingtinggti untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain, warga Minang selalu menampungnya di masjid ini, mereka mengumpulkan dana untuk diberikan kepada warga Minang perantuan baru dengan istilah padangnya Badoncek,”terangnya.

Meskipun telah dipugar, namun Masjid Lubuk seluas 6×9 meter tetap memiliki ciri khas kesukuan Minangnya, bangunan untuk kubah masih menggunakan gambar ciri khas rumah gadang. Tetapi sayangnya, salah satu peninggalan sejarah ini kondisinya sekarang kurang diperhatikan karena kemajuan zaman, lokasi masjid terletak sedikit masuk ke dalam dengan jalan selebar 1 meter memang tidak terlihat jika melintas di pinggir jalan. “Walapun begitu, sekarang masyarakat Minang Kota Tebingtinggi masih menggunakan masjid Lubuk sebagai tempat bermusyawarah dan membahas acara adat pesta perkawinan,” bilang Juma Piliang mengakhiri. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/