MEDAN- Santet, suluh, sihir dan apapun namanya sesungguhnya adalah pekerjaan yang haram di dalam Islam. Tapi keberadaannya jelas ada. Pada hekekatnya sihir, santet, guna-guna dan sebagainya itu merupakan praktek yang menggunakan bantuan jin. Ini terjadi jika seseorang mempunyai perjanjian dengan makhluk tersebut, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Jinn ayat 6, lalu meminta bantuan mereka untuk memberi manfaat atau mencelakai seseorang. Pada saat itulah, jin dapat meresuki tubuh dan memulai ‘operasi’nya.
Namun ada kalanya sang jin mengganggu atau masuk ke tubuh seseorang karena keinginannya sendiri, dengan berbagai macam alasan. Bisa jadi untuk balas dendam karena seorang telah menyiram tempat tinggalnya dengan air panas, mungkin juga ia jatuh cinta kepada manusia, atau memang karena iseng saja.
Dengan banyaknya mudarat yang dihasilkan dari perbuatan yang menjurus kepada kesyirikan itu, Alquran memberikan sanksi tegas bagi pelakunya yakni tak diterima amalnya selama 40 hari.
Hal ini diungkapkan seorang ulama Medan, Drs Ismail Hasyim MA, saat dikonfirmasi, Kamis (25/4).
Saat berbincang terkait usulan Mabes Polri yang berharap DPR dan pemerintah bisa memasukkan pasal yang mengatur santet dalam revisi undang-undang (RUU) KUHP, sang Ustadz meragukannya.
Bahkan dirinya takut, dilegalkannya UU Santet malah bisa dimanfaatkan orang untuk menjatuhkan bahkan merusak orang lain.
“Santet ini sangat sulit untuk dibuktikan. Bahkan ditakutkan dengan adanya UU yang mengatur santet akan dimanfaatkan orang dengan membuat laporan palsu dengan menghadirkan dukun dan lainnnya yang justru sulit dipercaya kebenaratannya. Ini yang justru bisa menjatuhkan orang lain dengan dalih santet, guna-guna, teluh atau apapun itu,”tegasnya.
Yang sebaiknya dilakukan bilang Hasyim, adalah pembinaan umat secara berkelanjutan, terutama pembinaan aqidah dan fiqih.
Karena selama ini dirinya menilai kejahatan yang terjadi di Indonesia adalah karena lemahnya aqidah dan fikih manusia.
Ismail Hasyim juga tidak menampik jika keadaan tersebut tak lain disebabkan kurangnya peran para ulama di suatu negara.
Pembinaan agama terutama aqidah dan kefikihan yang tidak dilakukan secara berkelanjutan dan setengah-tengah, tak jarang membuat moral dan karakter masyarakat rusak. (uma)