30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Toleransi Itu Tetap Hidup (1)

Kerukunan umat beragama adalah bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi adalah sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama dan kebebasan beribadah.

Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Berikut beberapa contoh bagaimana toleransi telah merasuk di kehidupan rohani masyarakat Indonesia.

1. Kerukunan ala Istiqlal dan Katedral

Masjid Istiqlal  Katedral
Masjid Istiqlal dan Katedral

Usulan sejumlah tokoh Islam untuk mendirikan sebuah masjid sebagai kebanggaan umat Islam di Indonesia atas kemerdekaan yang telah diraih disambut positif oleh Presiden Soekarno. Bung Karno pun menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal yang kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Bung Karno memutuskan membangun masjid di bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran. Sekitar 1950 hingga akhir 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor, dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederick Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang di mana-mana.

Pemilihan lokasi ini karena di seberangnya telah berdiri Gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Pada 1955, PPMI mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur Masjid Istiqlal yang dewan jurinya diketuai langsung Presiden Soekarno dan beranggotakan Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Ir R Bratakusumah, RD Soeratmoko, Hamka, H Abu Bakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Sayembara tersebut menawarkan hadiah berupa uang sebesar Rp75.000 serta emas murni seberat 75 gram.

Dari 27 peserta sayembara, rancangan Frederich Silaban dengan tema “Ketuhanan” terpilih pada 5 Juli 1955. Frederich Silaban pada masa itu merupakan seorang arsitek terkenal di Indonesia. Selain Istiqlal, karya lainnya yang masih menghiasi ibukota adalah desain gedung Bank Indonesia (BI) dan Kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Di Medan, Frederich Silaban membangun gedung Universitas HKBP Nommensn di Jalan Sutomo No 4A, Medan.

2. Warna-warni di Desa Pancasila

Desa Pancasila
Desa Pancasila

Desa Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, menyimpan bukti kuatnya pengamalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Tiga agama hidup berdampingan dan bebas melaksanakan ibadah masing-masing, di rumah ibadah masing-masing. Gereja Kristen Jawi Wetan hanya berjarak 50 meter, tepat di depan gereja, berdiri Masjid Miftahul Huda yang Pura Sweta Maha Suci. Masjid dan pura hanya dipisahkan jalan kampung selebar empat meter.

Tak heran, Desa Balun terkenal dengan sebutan Desa Pancasila. “Kami saling menghormati dengan menjaga perasaan beragama masing-masing orang,” kata Titis Suparno, pengurus Takmir Masjid.

Keragaman keyakinan terjalin sejak lama, saat masing-masing tokoh agama menyebarkan agama di desa tersebut. Sedikitnya 1.500 kepala keluarga, 75 persen warga Desa Balun beragama Islam, 15 persen beragama Kristen dan sepuluh persen sisanya beragama Hindu.

3. Damai di Lokasi Transmigrasi

Masjid berdampingan  Gereja  Pura
Masjid berdampingan dengan Gereja dan Pura

Warga Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi saksi betapa indahnya hidup damai. Masjid, gereja, pura telah puluhan tahun berdiri berdekatan tanpa saling mengusik satu sama lain. Daerah Transmigrasi itu berkembang di awal tahun 1970.
Pada 1973, mulailah dibangun tempat-tempat ibadah. Masing-masing pemeluk agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Islam ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah: Masjid Jami’ Al-Muhajirin, Gereja Masehi Injil Mopuya (GMIM) anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya untuk etnis tionghoa, dan Gereja Pantekosta.

Menurut I Ketut Gunawan, pemuka agama Hindu di Dumoga, kerukunan di Dumoga sudah sangat mengakar, sehingga sulit untuk diuraikan. Apalagi, saat ini sudah banyak yang saling kawin. “Kerukunan merupakan komitmen bersama. Alasannya, Dumoga tanah karunia yang diciptakan Tuhan dengan sangat subur. Karena itulah, setiap warga di Dumoga tidak ingin merusaknya,” ungkap Gunawan.

Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada tahun 2000-an awal, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur Sulut EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khususnya komunitas Mopuya.(bersambung)

Kerukunan umat beragama adalah bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi adalah sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama dan kebebasan beribadah.

Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Berikut beberapa contoh bagaimana toleransi telah merasuk di kehidupan rohani masyarakat Indonesia.

1. Kerukunan ala Istiqlal dan Katedral

Masjid Istiqlal  Katedral
Masjid Istiqlal dan Katedral

Usulan sejumlah tokoh Islam untuk mendirikan sebuah masjid sebagai kebanggaan umat Islam di Indonesia atas kemerdekaan yang telah diraih disambut positif oleh Presiden Soekarno. Bung Karno pun menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal yang kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Bung Karno memutuskan membangun masjid di bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran. Sekitar 1950 hingga akhir 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor, dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederick Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang di mana-mana.

Pemilihan lokasi ini karena di seberangnya telah berdiri Gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Pada 1955, PPMI mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur Masjid Istiqlal yang dewan jurinya diketuai langsung Presiden Soekarno dan beranggotakan Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Ir R Bratakusumah, RD Soeratmoko, Hamka, H Abu Bakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Sayembara tersebut menawarkan hadiah berupa uang sebesar Rp75.000 serta emas murni seberat 75 gram.

Dari 27 peserta sayembara, rancangan Frederich Silaban dengan tema “Ketuhanan” terpilih pada 5 Juli 1955. Frederich Silaban pada masa itu merupakan seorang arsitek terkenal di Indonesia. Selain Istiqlal, karya lainnya yang masih menghiasi ibukota adalah desain gedung Bank Indonesia (BI) dan Kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Di Medan, Frederich Silaban membangun gedung Universitas HKBP Nommensn di Jalan Sutomo No 4A, Medan.

2. Warna-warni di Desa Pancasila

Desa Pancasila
Desa Pancasila

Desa Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, menyimpan bukti kuatnya pengamalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Tiga agama hidup berdampingan dan bebas melaksanakan ibadah masing-masing, di rumah ibadah masing-masing. Gereja Kristen Jawi Wetan hanya berjarak 50 meter, tepat di depan gereja, berdiri Masjid Miftahul Huda yang Pura Sweta Maha Suci. Masjid dan pura hanya dipisahkan jalan kampung selebar empat meter.

Tak heran, Desa Balun terkenal dengan sebutan Desa Pancasila. “Kami saling menghormati dengan menjaga perasaan beragama masing-masing orang,” kata Titis Suparno, pengurus Takmir Masjid.

Keragaman keyakinan terjalin sejak lama, saat masing-masing tokoh agama menyebarkan agama di desa tersebut. Sedikitnya 1.500 kepala keluarga, 75 persen warga Desa Balun beragama Islam, 15 persen beragama Kristen dan sepuluh persen sisanya beragama Hindu.

3. Damai di Lokasi Transmigrasi

Masjid berdampingan  Gereja  Pura
Masjid berdampingan dengan Gereja dan Pura

Warga Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi saksi betapa indahnya hidup damai. Masjid, gereja, pura telah puluhan tahun berdiri berdekatan tanpa saling mengusik satu sama lain. Daerah Transmigrasi itu berkembang di awal tahun 1970.
Pada 1973, mulailah dibangun tempat-tempat ibadah. Masing-masing pemeluk agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Islam ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah: Masjid Jami’ Al-Muhajirin, Gereja Masehi Injil Mopuya (GMIM) anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya untuk etnis tionghoa, dan Gereja Pantekosta.

Menurut I Ketut Gunawan, pemuka agama Hindu di Dumoga, kerukunan di Dumoga sudah sangat mengakar, sehingga sulit untuk diuraikan. Apalagi, saat ini sudah banyak yang saling kawin. “Kerukunan merupakan komitmen bersama. Alasannya, Dumoga tanah karunia yang diciptakan Tuhan dengan sangat subur. Karena itulah, setiap warga di Dumoga tidak ingin merusaknya,” ungkap Gunawan.

Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada tahun 2000-an awal, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur Sulut EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khususnya komunitas Mopuya.(bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/