26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Born to Win

You were born to be a winner, but to be a winner you must plan to win and prepare to win. – Zig Ziglar

Oleh  Paulus Winarto

Born to Win. Sebagai seorang manusia, saya percaya bahwa semua anak yang lahir ke dunia ini dilahirkan dengan potensi sebagai pemenang. Ini adalah kepercayaan saya pribadi. Mengapa saya sangat percaya hal tersebut? Ada dua alasan utama.

Yang pertama, kelahiran adalah sebuah proses kemenangan. Ya, sebuah proses kemenangan yang diawali dengan pembuahan yang merupakan kompetisi paling bebas yang pernah ada. Bayangkan satu sel sperma harus bertanding melawan setidaknya 100 hingga 700 juta sel sperma lainnya. Ini adalah kompetisi terbebas, terhebat, terdashyat yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia dan tidak akan pernah terulang lagi di kemudian hari. Bayangkan satu melawan setidaknya 100 juta. Itu ibarat seorang pria harus bersaing dengan 100 juta pria lainnya untuk merebut hati seorang wanita! Tentu sebuah proses yang sangat sangat sangat tidak mudah!

Setelah itu, janin harus bertumbuh. Sayangnya terkadang karena proses alam, sang janin bisa meninggal dalam kandungan. Kasus hampir serupa pernah kami alami. Di penghujung 2008 lalu istri saya mengalami blighted ovum, yaitu kasus di mana seorang wanita hamil, ada kantung kehamilan namun tidak ada janinnya. Diagnosa dokter mengatakan, “Bisa jadi sperma atau sel telurnya kurang bagus dan karena seleksi alam, dia tidak jadi.”

Yang kedua, saya meyakini setiap bayi yang lahir ke dunia lahir dengan potensi sebagai pemenang karena manusia diciptakan seturut citra Sang Pencipta. Otomatis dalam DNA setiap bayi ada sifat-sifat Tuhan seperti kasih sayang, sabar, tekun, dan seterusnya. Bukankah itu adalah sifat-sifat pemenang?
Meski demikian, terkadang potensi sebagai pemenang hanya tinggal potensi. Ibarat kapal yang hanya berlabuh di pelabuhan dan tidak pernah berlayar sehingga fungsinya menjadi tidak kelihatan, mubazir dan sia-sia. Mengapa bisa begitu? Sahabat saya yang juga penulis buku Adi W. Gunawan berkata, salah satu faktornya adalah pengkondisian.

Ya, pengkondisian. Pengkondisian macam apa? Pengkondisian negatif yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya membantu potensi itu melejit ke permukaan. Orang-orang terdekat itu bisa orangtua, saudara, kakek-nenek hingga guru di sekolah.

Bentuk-bentuk pengkondisiaan ini macam-macam, mulai dari yang paling halus hingga yang paling kasar. Misalnya, pelabelan pada anak (misalnya anak dicap bodoh, anak sial, dsb), larangan ini-itu yang kemudian membelenggu kreativitas anak hingga penyiksaan fisik jika anak berbuat salah atau tidak sesuai dengan harapan orangtua.

Saya jadi teringat pernyataan sahabat dan juga guru kreativitas saya, Mr. Joger (yang juga pengusaha kaos terkenal di Bali). “Anak-anak harus nakal tapi tidak boleh jahat,” katanya. Memang jika dicermati lebih jauh ada perbedaan besar antara nakal (kreatif) dan jahat (menyakiti atau merugikan orang lain).
Memang sangat tidak mudah menjadi orangtua dan juga guru yang baik. Untuk hal yang satu ini, saya masih terus belajar sungguh-sungguh. Saya pun teringat lagu Withney Houston, The Greatest Love of All, berikut kutipan syairnya.

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children’s laughter remind us how we used to be …

Ya, dalam setiap diri anak ada potensi pemenang yang dalam bahasa Withney Houston di sebut keindahan dalam diri setiap anak.
Pikiran saya kemudian membawa saya kembali kepada sebuah film animasi yang beredar bertahun-tahun silam, A Bug’s Life. Dalam film tersebut ada dialog antara semut dewasa bernama Flik yang sering dituduh sebagai pembuat onar (trouble maker) dengan semut putri kerajaan yang masih kecil bernama Dot.

Keduanya sama-sama merasa dirinya tidak berharga. Yang besar merasa tidak pernah dihargai sementara yang kecil merasa minder karena masih terlalu kecil dan belum bisa terbang.
Mendadak semut dewasa ini menjadi bijaksana. Ia mengambil sebuah batu kecil dan berkata sambil menunjuk pohon besar, (*/jc)

You were born to be a winner, but to be a winner you must plan to win and prepare to win. – Zig Ziglar

Oleh  Paulus Winarto

Born to Win. Sebagai seorang manusia, saya percaya bahwa semua anak yang lahir ke dunia ini dilahirkan dengan potensi sebagai pemenang. Ini adalah kepercayaan saya pribadi. Mengapa saya sangat percaya hal tersebut? Ada dua alasan utama.

Yang pertama, kelahiran adalah sebuah proses kemenangan. Ya, sebuah proses kemenangan yang diawali dengan pembuahan yang merupakan kompetisi paling bebas yang pernah ada. Bayangkan satu sel sperma harus bertanding melawan setidaknya 100 hingga 700 juta sel sperma lainnya. Ini adalah kompetisi terbebas, terhebat, terdashyat yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia dan tidak akan pernah terulang lagi di kemudian hari. Bayangkan satu melawan setidaknya 100 juta. Itu ibarat seorang pria harus bersaing dengan 100 juta pria lainnya untuk merebut hati seorang wanita! Tentu sebuah proses yang sangat sangat sangat tidak mudah!

Setelah itu, janin harus bertumbuh. Sayangnya terkadang karena proses alam, sang janin bisa meninggal dalam kandungan. Kasus hampir serupa pernah kami alami. Di penghujung 2008 lalu istri saya mengalami blighted ovum, yaitu kasus di mana seorang wanita hamil, ada kantung kehamilan namun tidak ada janinnya. Diagnosa dokter mengatakan, “Bisa jadi sperma atau sel telurnya kurang bagus dan karena seleksi alam, dia tidak jadi.”

Yang kedua, saya meyakini setiap bayi yang lahir ke dunia lahir dengan potensi sebagai pemenang karena manusia diciptakan seturut citra Sang Pencipta. Otomatis dalam DNA setiap bayi ada sifat-sifat Tuhan seperti kasih sayang, sabar, tekun, dan seterusnya. Bukankah itu adalah sifat-sifat pemenang?
Meski demikian, terkadang potensi sebagai pemenang hanya tinggal potensi. Ibarat kapal yang hanya berlabuh di pelabuhan dan tidak pernah berlayar sehingga fungsinya menjadi tidak kelihatan, mubazir dan sia-sia. Mengapa bisa begitu? Sahabat saya yang juga penulis buku Adi W. Gunawan berkata, salah satu faktornya adalah pengkondisian.

Ya, pengkondisian. Pengkondisian macam apa? Pengkondisian negatif yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya membantu potensi itu melejit ke permukaan. Orang-orang terdekat itu bisa orangtua, saudara, kakek-nenek hingga guru di sekolah.

Bentuk-bentuk pengkondisiaan ini macam-macam, mulai dari yang paling halus hingga yang paling kasar. Misalnya, pelabelan pada anak (misalnya anak dicap bodoh, anak sial, dsb), larangan ini-itu yang kemudian membelenggu kreativitas anak hingga penyiksaan fisik jika anak berbuat salah atau tidak sesuai dengan harapan orangtua.

Saya jadi teringat pernyataan sahabat dan juga guru kreativitas saya, Mr. Joger (yang juga pengusaha kaos terkenal di Bali). “Anak-anak harus nakal tapi tidak boleh jahat,” katanya. Memang jika dicermati lebih jauh ada perbedaan besar antara nakal (kreatif) dan jahat (menyakiti atau merugikan orang lain).
Memang sangat tidak mudah menjadi orangtua dan juga guru yang baik. Untuk hal yang satu ini, saya masih terus belajar sungguh-sungguh. Saya pun teringat lagu Withney Houston, The Greatest Love of All, berikut kutipan syairnya.

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children’s laughter remind us how we used to be …

Ya, dalam setiap diri anak ada potensi pemenang yang dalam bahasa Withney Houston di sebut keindahan dalam diri setiap anak.
Pikiran saya kemudian membawa saya kembali kepada sebuah film animasi yang beredar bertahun-tahun silam, A Bug’s Life. Dalam film tersebut ada dialog antara semut dewasa bernama Flik yang sering dituduh sebagai pembuat onar (trouble maker) dengan semut putri kerajaan yang masih kecil bernama Dot.

Keduanya sama-sama merasa dirinya tidak berharga. Yang besar merasa tidak pernah dihargai sementara yang kecil merasa minder karena masih terlalu kecil dan belum bisa terbang.
Mendadak semut dewasa ini menjadi bijaksana. Ia mengambil sebuah batu kecil dan berkata sambil menunjuk pohon besar, (*/jc)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/