Oleh: Ustadz Ikrimah Hamidy ST
“Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh keberkatan. Allah telah memfardukan atas kamu puasanya. Di dalam bulan Ramadan dibuka segala pintu surga dan dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu seluruh setan. Padanya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam itu maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan” (Hr Ahmad)
Banyak diantara kita yang takjub dengan perjalanan waktu. Ungkapan,” Tak terasa ya…Rasanya baru kemarin kita meninggalkan Ramadan, kini sudah bersua kembali…”. Ya, waktu itu berjalan bagaikan kilat. Dulu kita masih melihat rambut kita hitam legam, sekarang sudah tumbuh uban. Kemarin kita menyaksikan, canda dengan saudara dan tetangga, namun kini telah tiada. Beberapa saat yang lalu, kita masih menyaksikan si kecil digendong, sekarang sudah berlari lincah kesana kemari.
Begitulah perjalanan kehidupan, dan yang paling penting penting adalah bagaimana kita menyikapi perjalanan waktu tersebut. Allah SWT sungguh sangat pengasih kepada kita. Bayangkan, semua kehidupan dunia, sungguh dapat melenakan kita. Allah memberi bimbingan dengan ibadah-ibadah yang selalu kita kerjakan. Setiap hari dengan ibadah salat, setiap minggu bertemu saudara di masjid, melalui salat jumat, setiap tahun diberi kesempatan ibadah puasa Ramadan.
Nah sekarang, bagaimana kita menyikapi kehadiran Ramadan di dalam hidup kita? Marhaban Ramadan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT. Marhaban barasal dari kata rahb yang berarti luas atau lapang. Marhaban menggambarkan suasana penerimaan tetamu yang disambut dan diterima dengan lapang dada, dan penuh kegembiraan. Marhaban ya Ramadan (selamat datang Ramadan), mengandungi erti bahwa kita menyambut Ramadan dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan keluhan.
Puasa Ramadan hakekatnya melatih dan mengajari naluri (instink) manusia yang cenderung tak terkontrol. Naluri yang sulit terkotrol dan terkendali itu adalah naluri perut yang selalu menuntut untuk makan dan minum dan naluri seks yang selalu bergelora sehingga manusia kewalahan.
Puasa dapat mengangkat derajat pelakunya menjadi unsur rahmat, kedamaian, ketenangan, kesucian jiwa, aklaq mulia dan perilaku yang indah di tengah-tengah masyarakat. “Bila seorang dari kalian berpuasa maka hendaknya ia tidakberbicara buruk dan aib. Jangan berbicara yang tiada manfaatnya dan bila dimaki seseorang maka berkatalah, ‘Aku berpuasa’”. (HR. Bukhori). (*)