26 C
Medan
Sunday, July 7, 2024

Tak Akomodir Hak Pilih, Penyelenggara Pemilu Langgar HAM

no picture

SUMUTPOS.CO – HAK memilih seorang warga negara dijamin konstitusi. Karenanya, penyelenggara Pemilu di semua tingkatan sangat rawan terkena pelanggaran hak asasi manusia (HAM), jika tidak mengakomodir hak pilih seorang warga negara.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Ahmad Taufan Damanik mengatakan, sesuai pemetaan dan pengamatan langsung pihaknya di berbagai daerah, sampai kini masih banyak terdapat warga yang belum terdaftar melalui daftar pemilih tetap (DPT).

Bahkan yang lebih ironinya, ujar dia, masih banyak warga yang belum memiliki e-KTP ataupun belum melakukan perekaman. Padahal e-KTP merupakan syarat mutlak bagi setiap warga negara bila ingin menyalurkan hak suaranya.

“Ini terjadi di seluruh Indonesia, tidak hanya di Sumut. Kita sudah berulang-ulang ingatkan pada penyelenggara, agar tidak anggap remeh soal ini karena dapat melanggar HAM jika ada seorang warga negara tidak dijamin hak pilihnya sesuai konstitusi,” kata Taufan menjawab Sumut Pos di sela acara workshop Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bertajuk “Mengawal Pemilu Perspektif Keberagaman dan HAM,” di Hotel Radisson Medan, Sabtu (30/3).

Sejauh ini, kesimpulan pihaknya berdasarkan amatan di lapangan, penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu tidak mendata dan meregistrasi warga sehingga tidak terakomodir dalam DPT.

“Penyelenggara terkesan tidak mau tahu soal ini. Padahal temuan kami ternyata warga mau memilih tapi tak bisa karena tidak teregistrasi. Tapi ada juga yang tak mau memilih, namun bukan itu masalahnya,” kata mantan Dewas PDAM Tirtanadi Sumut ini.

“Yang jelas negara harus memfasilitasi dan menjamin hak pilih setiap warga negara. Apakah setelah difasilitasi lalu dia tidak mau menggunakannya, itu persoalan lain,” sambungnya.

Taufan menambahkan, adapun mapping yang telah pihaknya lakukan atas kecenderungan warga yang tidak diakomodir dalam DPT, umumnya berasal dari kaum marjinal atau minoritas. Lalu orang yang migrasi dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, serta warga yang tinggal di pulau terluar maupun pedalaman. “Akses mereka jauh dari transportasi dan ini sangat besar jumlahnya. Jangankan informasi lengkap tentang rekam jejak calon, didata untuk masuk DPT pun mereka tidak. Bahkan ada yang tidak memiliki kartu identitas,” ucapnya.

Persoalan ini menurut dia masuk kategori klasik. Sebab setiap kali momen pemilihan, masalah perekaman e-KTP selalu tak ada solusi konkrit dari pemerintah melalui pihak penyelenggara pemilu. Dan umumnya alasan klasik yang dibangun pihak penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu, ialah ketidakcukupan anggaran serta susah menjangkau akses hingga wilayah pulau terluar bahkan pedalaman.

“Padahal mereka punya anggaran perjalanan dinas dan itu besar sekali alokasinya. Kenapa itu tidak bisa digeser saja untuk mendata warga pedalaman, sehingga persoalan ini menjadi tuntas. Saya pikir alasan mereka hanya sekadar selebrasi saja,” katanya.

Kesempatan itu ia ikut mengajak media massa dan jurnalis, untuk menyuarakan masalah klasik ini kepada publik. Dengan demikian, baik pihak penyelenggara maupun pemerintah punya regulasi khusus dalam menyikapi persoalan dimaksud. “Saya pikir media punya pengaruh dan andil besar dalam hal ini, membangun dan menggiring opini sebagai masukan untuk pemerintah memikirkan masalah tersebut.

Tidak percaya begitu saja dengan mindset penguasa yang sering mengatakan karena kecil jumlahnya nggak terlalu berpengaruh terhadap hasil akhir total pemilihan. Disitu kelirunya dan kita sudah kasih rekomendasi beberapa kali supaya tidak melihat dari aspek itu justru dari aspek bahwa setiap orang memiliki hak yang sama,” kata Taufan. (prn)

no picture

SUMUTPOS.CO – HAK memilih seorang warga negara dijamin konstitusi. Karenanya, penyelenggara Pemilu di semua tingkatan sangat rawan terkena pelanggaran hak asasi manusia (HAM), jika tidak mengakomodir hak pilih seorang warga negara.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Ahmad Taufan Damanik mengatakan, sesuai pemetaan dan pengamatan langsung pihaknya di berbagai daerah, sampai kini masih banyak terdapat warga yang belum terdaftar melalui daftar pemilih tetap (DPT).

Bahkan yang lebih ironinya, ujar dia, masih banyak warga yang belum memiliki e-KTP ataupun belum melakukan perekaman. Padahal e-KTP merupakan syarat mutlak bagi setiap warga negara bila ingin menyalurkan hak suaranya.

“Ini terjadi di seluruh Indonesia, tidak hanya di Sumut. Kita sudah berulang-ulang ingatkan pada penyelenggara, agar tidak anggap remeh soal ini karena dapat melanggar HAM jika ada seorang warga negara tidak dijamin hak pilihnya sesuai konstitusi,” kata Taufan menjawab Sumut Pos di sela acara workshop Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bertajuk “Mengawal Pemilu Perspektif Keberagaman dan HAM,” di Hotel Radisson Medan, Sabtu (30/3).

Sejauh ini, kesimpulan pihaknya berdasarkan amatan di lapangan, penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu tidak mendata dan meregistrasi warga sehingga tidak terakomodir dalam DPT.

“Penyelenggara terkesan tidak mau tahu soal ini. Padahal temuan kami ternyata warga mau memilih tapi tak bisa karena tidak teregistrasi. Tapi ada juga yang tak mau memilih, namun bukan itu masalahnya,” kata mantan Dewas PDAM Tirtanadi Sumut ini.

“Yang jelas negara harus memfasilitasi dan menjamin hak pilih setiap warga negara. Apakah setelah difasilitasi lalu dia tidak mau menggunakannya, itu persoalan lain,” sambungnya.

Taufan menambahkan, adapun mapping yang telah pihaknya lakukan atas kecenderungan warga yang tidak diakomodir dalam DPT, umumnya berasal dari kaum marjinal atau minoritas. Lalu orang yang migrasi dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, serta warga yang tinggal di pulau terluar maupun pedalaman. “Akses mereka jauh dari transportasi dan ini sangat besar jumlahnya. Jangankan informasi lengkap tentang rekam jejak calon, didata untuk masuk DPT pun mereka tidak. Bahkan ada yang tidak memiliki kartu identitas,” ucapnya.

Persoalan ini menurut dia masuk kategori klasik. Sebab setiap kali momen pemilihan, masalah perekaman e-KTP selalu tak ada solusi konkrit dari pemerintah melalui pihak penyelenggara pemilu. Dan umumnya alasan klasik yang dibangun pihak penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu, ialah ketidakcukupan anggaran serta susah menjangkau akses hingga wilayah pulau terluar bahkan pedalaman.

“Padahal mereka punya anggaran perjalanan dinas dan itu besar sekali alokasinya. Kenapa itu tidak bisa digeser saja untuk mendata warga pedalaman, sehingga persoalan ini menjadi tuntas. Saya pikir alasan mereka hanya sekadar selebrasi saja,” katanya.

Kesempatan itu ia ikut mengajak media massa dan jurnalis, untuk menyuarakan masalah klasik ini kepada publik. Dengan demikian, baik pihak penyelenggara maupun pemerintah punya regulasi khusus dalam menyikapi persoalan dimaksud. “Saya pikir media punya pengaruh dan andil besar dalam hal ini, membangun dan menggiring opini sebagai masukan untuk pemerintah memikirkan masalah tersebut.

Tidak percaya begitu saja dengan mindset penguasa yang sering mengatakan karena kecil jumlahnya nggak terlalu berpengaruh terhadap hasil akhir total pemilihan. Disitu kelirunya dan kita sudah kasih rekomendasi beberapa kali supaya tidak melihat dari aspek itu justru dari aspek bahwa setiap orang memiliki hak yang sama,” kata Taufan. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/