25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

LIPI: Anggaran Riset Rp 10 Triliun Tak Cukup

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Janji calon wakil presiden Hatta Rajasa untuk mengalokasikan anggaran riset hingga Rp 10 triliun dinilai tak efektif. Pasalnya, anggaran itu sama dengan anggaran rutin dan penelitian tiga lembaga riset yang sudah ada saat ini, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).

“Semestinya Rp 100 triliun per tahun atau 1 persen dari APBN. Anggaran riset kita sekarang ini baru 0,08 persen dari APBN. Jauh dibandingkan negara-negara lain yang mengalokasikan 2 persen dari total anggaran negara untuk ristek,” kata Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI Bogie Sudjatmiko Eko Tjahjono dalam keterangannya kemarin (30/6).

Dia mengakui sinyalemen calon wakil presiden Jusuf Kalla yang menyatakan banyak peneliti dan tenaga ahli Indonesia yang lebih suka bekerja di luar negeri karena lebih terjamin hidupnya. Selain itu, peneliti di negara asing juga lebih mudah mendapatkan anggaran riset dibandingkan bekerja di lembaga penelitian dalam negeri.

Akibat minimnya kesejahteraan dan kurangnya anggaran penelitian, jumlah peneliti di Indonesia hanya berkisar 30 ribu orang, itu pun sudah memasukkan 20 ribu dosen yang aktif melakukan penelitian. Tak heran, universitas di Indonesia selalu menduduki peringkat menengah dalam peringkat universitas dunia karena minimnya hasil publikasi riset di jurnal ilmiah internasional. “Kita butuh 200 ribu peneliti atau 100 orang per jumlah penduduk,” katanya.

Bogie menilai anggaran riset yang minim menyebabkan banyak masalah yang belum teratasi. Dia mencontohkan, subsidi energi selalu menjadi sumber kendala keuangan negara sejak puluhan tahun, namun hingga kini belum ada cara untuk mengatasinya. Padahal, dengan riset energi alternatif yang fokus untuk memberi subsidi pada produsen, masalah subsidi BBM dan listrik dapat diatasi. “Sumber daya alam kita terbatas, tapi potensi iptek kita luar biasa besarnya,” kata dia.

Meski dinilai tidak mengatasi masalah, Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan menilai gagasan Hatta Rajasa lebih kongkrit dibandingkan Jusuf Kalla. Hal ini terlihat dari paparan Hatta tentang peningkatan biaya riset yang terkait dengan penerapan teknologi yang ditujukan untuk penciptaan lapangan kerja.

Dia mencontohkan, riset tentang peningkatan produksi pertanian sehingga padi bisa panen 3-4 kali setahun dengan produktivitas 10 ton per hektare dapat menyelesaikan problem impor beras, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, memperbaiki nilai tukar rupiah yang tergerus impor, dan menyerap lapangan kerja bidang pertanian sekaligus.

“Peningkatan anggaran riset di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas sekolah kejuruan juga diarahkan untuk mendorong penerapan teknologi dan menghasilkan siswa yang selaras dengan penyedia lapangan kerja,” terangnya. (dod)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Janji calon wakil presiden Hatta Rajasa untuk mengalokasikan anggaran riset hingga Rp 10 triliun dinilai tak efektif. Pasalnya, anggaran itu sama dengan anggaran rutin dan penelitian tiga lembaga riset yang sudah ada saat ini, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).

“Semestinya Rp 100 triliun per tahun atau 1 persen dari APBN. Anggaran riset kita sekarang ini baru 0,08 persen dari APBN. Jauh dibandingkan negara-negara lain yang mengalokasikan 2 persen dari total anggaran negara untuk ristek,” kata Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI Bogie Sudjatmiko Eko Tjahjono dalam keterangannya kemarin (30/6).

Dia mengakui sinyalemen calon wakil presiden Jusuf Kalla yang menyatakan banyak peneliti dan tenaga ahli Indonesia yang lebih suka bekerja di luar negeri karena lebih terjamin hidupnya. Selain itu, peneliti di negara asing juga lebih mudah mendapatkan anggaran riset dibandingkan bekerja di lembaga penelitian dalam negeri.

Akibat minimnya kesejahteraan dan kurangnya anggaran penelitian, jumlah peneliti di Indonesia hanya berkisar 30 ribu orang, itu pun sudah memasukkan 20 ribu dosen yang aktif melakukan penelitian. Tak heran, universitas di Indonesia selalu menduduki peringkat menengah dalam peringkat universitas dunia karena minimnya hasil publikasi riset di jurnal ilmiah internasional. “Kita butuh 200 ribu peneliti atau 100 orang per jumlah penduduk,” katanya.

Bogie menilai anggaran riset yang minim menyebabkan banyak masalah yang belum teratasi. Dia mencontohkan, subsidi energi selalu menjadi sumber kendala keuangan negara sejak puluhan tahun, namun hingga kini belum ada cara untuk mengatasinya. Padahal, dengan riset energi alternatif yang fokus untuk memberi subsidi pada produsen, masalah subsidi BBM dan listrik dapat diatasi. “Sumber daya alam kita terbatas, tapi potensi iptek kita luar biasa besarnya,” kata dia.

Meski dinilai tidak mengatasi masalah, Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan menilai gagasan Hatta Rajasa lebih kongkrit dibandingkan Jusuf Kalla. Hal ini terlihat dari paparan Hatta tentang peningkatan biaya riset yang terkait dengan penerapan teknologi yang ditujukan untuk penciptaan lapangan kerja.

Dia mencontohkan, riset tentang peningkatan produksi pertanian sehingga padi bisa panen 3-4 kali setahun dengan produktivitas 10 ton per hektare dapat menyelesaikan problem impor beras, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, memperbaiki nilai tukar rupiah yang tergerus impor, dan menyerap lapangan kerja bidang pertanian sekaligus.

“Peningkatan anggaran riset di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas sekolah kejuruan juga diarahkan untuk mendorong penerapan teknologi dan menghasilkan siswa yang selaras dengan penyedia lapangan kerja,” terangnya. (dod)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/