JAKARTA-Pemerintah sepertinya harus bekerja lebih keras menjalankan program pengentasan kemiskinan. Selain penurunan angka kemiskinan berjalan lambat, masih ada 8 provinsi yang angka kemiskinannya justru bertambah.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, data terbaru per Maret 2013 menunjukkan, sebanyak 28,07 juta atau 11,37 persen rakyat Indonesia masih ada di bawah garis kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin tersebut berkurang 520 ribu orang dibanding posisi September 2012 yang mencapai 28,59 juta orang atau 11,66 persen. ‘Angkanya memang turun, tapi penurunannya lambat,’ ujarnya kemarin (1/7).
Bagaimana seseorang dikatakan penduduk miskin? Menurut Suryamin, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, aytau pengeluaran kebutuhan makanan minuman yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori (kkal).
Karena diukur berdasar nilai kalori bahan makanan yang dikonsumsi, maka nilai garis kemiskinan pun berubah seiring dengan inflasi. Pada periode Maret 2013, garis kemiskinan setara dengan konsumsi Rp 271.626 per kapita (per orang) per bulan, naik dibanding posisi September yang sebesar Rp 259.520 per kapita per bulan.
Artinya, jika pengeluaran seseorang dalam satu bulan di bawah Rp271.626, maka orang tersebut masuk kategori penduduk miskin. Gambaran lainnya, jika satu keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan dua orang anak, jika konsumsinya di bawah Rp1.086.504, maka keluarga tersebut masuk kategori keluarga miskin.
BPS juga memetakan penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan. Hasilnya, mayoritas penduduk miskin berada di perdesaan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di perkotaan tercatat 10,33 juta, turun dibanding periode September 2012 yang sebanyak 10,51 juta. Sedangkan penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2013 tercatat 17,74 juta, turun dibanding posisi September 2012 yang sebanyak 18,08 juta. “Kebanyakan penduduk miskin di perdesaan adalah buruh tani, mereka tidak memiliki lahan, sehingga pekerjaannya serabutan, tergantung musim tanam,” kata Suryamin.
Namun, di tengah turunnya angka kemiskinan secara nasional, ada 8 provinsi yang angka kemiskinannya justru naik, yakni Sumatera Barat yang persentase penduduk miskinnya naik dari 8,00 persen pada September 2012 menjadi 8,14 persen.
Provinsi lainnya adalah Sumatera Selatan (dari 13,48 menjadi 14,24), Bengkulu (17,51 menjadi 18,34), Banten (5,71 menjadi 5,74), Kalimantan Barat ( 7,96 menjadi 8,24), Sulawesi Utara (7,64 menjadi 7,88), Gorontalo (17,22 menjadi 17,51), dan Papua (30,66 menjadi 31,13).
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Wynandin Imawan mengatakan, upaya pengentasan kemiskinan di beberapa wilayah seperti sudah sampai pada titik jenuh. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pergantian kepala daerah yang lantas diikuti pergantian kebijakan. “Mestinya, program pengentasan kemiskinan terus berlanjut, bukan pejabat baru mengeluarkan kebijakan baru, sehingga program harus dimulai dari awal lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Suryamin menambahkan, ada beberapa komoditas yang memiliki kontribusi besar dalam garis kemiskinan. Pertama, beras sebagai bahan makanan pokok di Indonesia. Yang mengejutkan, posisi kedua ditempati rokok kretek/filter, mengalahkan kebutuhan pokok lain seperti telur, gula, tempe, hingga mie instan.
Menurut Suryamin, tingginya konsumsi rokok ini menjadi salah satu faktor yang memperberat upaya pengentasan kemiskinan. Sebab, lanjut dia, harga rokok yang cukup mahal membuat pengeluaran untuk belanja rokok menjadi tinggi. Masalahnya, rokok bukanlah bahan makanan yang jika dikonsumsi lantas menjadi asupan kalori bagi tubuh. “Ini yang kurang menyenangkan, pemerintah juga mesti lebih memperhatikan hal-hal semacam ini,” katanya. (owi/jpnn)