30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Banyak Terjadi di Pemerintahan Jokowi, Evaluasi Juga Dwi Fungsi Polri

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil, mendapat respons dari masyarakat sipil. Rencana itu diharapkan bukan janji kosong dan harus segera dieksekusi secara komprehensif

Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan, selama ini praktik dwi fungsi semacam itu tidak hanya terjadi di tubuh TNI. Tapi juga Polri. Karena itu, YLBHI meminta presiden juga mengevaluasi dwi fungsi di tubuh Polri.

Menurut Arif, praktik penempatan prajurit TNI dan Polri aktif di jabatan sipil banyak dilakukan di pemerintahan Joko Widodo dan dibiarkan DPR. Salah satu contohnya bisa dilihat dari penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Dalam Perpres tersebut mengatur pelibatan Kemenko Polhukam di BNPB (pasal 13). Juga mengatur bahwa kepala BNPB dapat dijabat oleh prajurit TNI aktif (pasal 63). “Juga ada aturan tentang penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah,” kata Arif kepada Jawa Pos (induk grup Sumut Pos), Selasa (1/8).

Tidak hanya itu, Arif juga menyinggung Presiden Jokowi yang membiarkan Ketua KPK Firli Bahuri menduduki jabatan sipil ketika masih berstatus perwira Polri aktif. “Padahal hal itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi penghapusan dwifungsi (ABRI, Red),” imbuhnya.

Mewakili masyarakat sipil yang lain, Arif pun mendesak Presiden juga mengevaluasi sejauh mana mandat reformasi berjalan sebagaimana mestinya. Khususnya terkait penempatan para perwira TNI dan Polri aktif di jabatan sipil yang selama ini dilanggengkan. “Presiden dan DPR juga harus segara melakukan revisi terhadap UU 31 /1997 tentang Peradilan Militer,” tuturnya.

Peraturan itu dinilai menjadi penghambat pemberlakuan Pasal 65 UU 34/2004 ayat (2) yang menegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer. Sesuai dengan keterangan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Mabes TNI turut mengevaluasi diri pasca OTT KPK menjaring perwira TNI aktif.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono memastikan bahwa instansinya tidak hanya menegakkan hukum. “Pembinaan SDM berkualitas menjadi prioritas Panglima TNI,” ungkap dia saat dikonfirmasi oleh Jawa Pos, kemarin.

Selama ini, lanjut Julius, TNI menugaskan prajurit TNI mengisi posisi di instansi sipil sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pemerintah. Maka niatan Presiden Jokowi untuk mengevaluasi penempatan personel TNI dan Polri di instansi-instansi sipil pun menjadi kewenangan pemerintah dan presiden. Yang jelas, Panglima TNI sebagai pucuk pimpinan institusi militer tanah air sudah menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi di Basarnas tidak boleh terulang.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan, dirinya optimistis penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas bakal tuntas. Sebab, TNI juga memproses hukum kabasarnas dan anak buahnya dengan landasan hukum yang kuat. Yakni UU Peradilan Militer. “Puspom TNI sudah melanjutkan mentersangkakan pejabat yang bersangkutan dan sudah ditahan,” kata Mahfud.

Dia sangat yakin proses hukum kabasarnas dan anak buahnya tuntas lantaran peradilan militer jauh dari intervensi politik. “Kesan saya pribadi, peradilan militer itu kalau sudah mengadili biasanya lebih steril dari intervensi politik. Biasanya lebih steril dari tekanan-tekanan masyarakat sipil,” beber dia. “Oleh sebab itu, kami percaya kepada peradilan militer dan kita akan mengawalnya dari luar,” terang mantan menteri pertahanan tersebut.

Berkaitan dengan polemik yang sempat beredar, Mahfud menjelaskan bahwa dalam UU TNI memang tercantum pasal yang menyebut personel TNI aktif bisa diadili lewat peradilan umum bila melakukan tindak pidana yang bersifat umum. “Tetapi, ada aturan dalam pasal 74 ayat 2 UU tersebut. Dimana disebutkan, sebelum ada UU Peradilan Militer yang baru, yang menggantikan atau menyempurnakan UU Nomor 31 Tahun 1997, itu masih dilakukan oleh peradilan militer,” jelas dia.

Diketahui, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto telah ditahan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, Senin (31/7) kemarin. Penahanan itu dilakukan setalah Puspom TNI menetapkan keduanya sebagai tersangka, dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa sejumlah proyek di Basarnas RI tahun anggaran 2021-2023.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, penahanan Henri dan Afri oleh TNI membuktikan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK tidak melanggar aturan. KPK sebelumnya melakukan OTT terhadap sejumlah pihak, termasuk Afri Budi pada Selasa (25/7) lalu.

Setelahnya Afri Budi dan Henri Alfiandi ditetapkan KPK sebagai tersangka. Keduanya dijerat sebagai tersangka penerima suap. Sementara yang berperan sebagai pemberi suap yakni, Komisaris Utama PT Multi Gtafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA). Ketiganya sudah ditahan oleh KPK.

“Hal ini membuktikan bahwa KPK bekerja secara profesional, penetapan 5 tersangka dalam operasi tangkap tangan oleh KPK dilakukan secara profesional, prosedural, legal, dan dilakukan sesuai dengan tata cara hukum acara dan peraturan perundang-undangan,” kata Firli dalam keterangannya, Selasa (1/8).

Firli memastikan, proses hukum terhadap para tersangka tak perlu lagi menjadi polemik. Menurutnya, KPK akan berkoordinasi dengan Puspom TNI dalam memproses dua anggota militer itu. “Selanjutnya KPK dan TNI akan menuntaskan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021 sampai dengan 2023,” tegas Firli.

KPK menduga, Henri Alfiandi menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar. Suap itu diterima Henri melalui anak buahnya Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto selama periode 2021-2023.

Suap puluhan miliar itu berasal dari pengadaan barang dan jasa di Basarnas RI. Pertama, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar. Kedua, pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp 17, 4 miliar. Ketiga, pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp 89,9 miliar. (tyo/syn)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil, mendapat respons dari masyarakat sipil. Rencana itu diharapkan bukan janji kosong dan harus segera dieksekusi secara komprehensif

Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan, selama ini praktik dwi fungsi semacam itu tidak hanya terjadi di tubuh TNI. Tapi juga Polri. Karena itu, YLBHI meminta presiden juga mengevaluasi dwi fungsi di tubuh Polri.

Menurut Arif, praktik penempatan prajurit TNI dan Polri aktif di jabatan sipil banyak dilakukan di pemerintahan Joko Widodo dan dibiarkan DPR. Salah satu contohnya bisa dilihat dari penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Dalam Perpres tersebut mengatur pelibatan Kemenko Polhukam di BNPB (pasal 13). Juga mengatur bahwa kepala BNPB dapat dijabat oleh prajurit TNI aktif (pasal 63). “Juga ada aturan tentang penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah,” kata Arif kepada Jawa Pos (induk grup Sumut Pos), Selasa (1/8).

Tidak hanya itu, Arif juga menyinggung Presiden Jokowi yang membiarkan Ketua KPK Firli Bahuri menduduki jabatan sipil ketika masih berstatus perwira Polri aktif. “Padahal hal itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi penghapusan dwifungsi (ABRI, Red),” imbuhnya.

Mewakili masyarakat sipil yang lain, Arif pun mendesak Presiden juga mengevaluasi sejauh mana mandat reformasi berjalan sebagaimana mestinya. Khususnya terkait penempatan para perwira TNI dan Polri aktif di jabatan sipil yang selama ini dilanggengkan. “Presiden dan DPR juga harus segara melakukan revisi terhadap UU 31 /1997 tentang Peradilan Militer,” tuturnya.

Peraturan itu dinilai menjadi penghambat pemberlakuan Pasal 65 UU 34/2004 ayat (2) yang menegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer. Sesuai dengan keterangan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Mabes TNI turut mengevaluasi diri pasca OTT KPK menjaring perwira TNI aktif.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono memastikan bahwa instansinya tidak hanya menegakkan hukum. “Pembinaan SDM berkualitas menjadi prioritas Panglima TNI,” ungkap dia saat dikonfirmasi oleh Jawa Pos, kemarin.

Selama ini, lanjut Julius, TNI menugaskan prajurit TNI mengisi posisi di instansi sipil sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pemerintah. Maka niatan Presiden Jokowi untuk mengevaluasi penempatan personel TNI dan Polri di instansi-instansi sipil pun menjadi kewenangan pemerintah dan presiden. Yang jelas, Panglima TNI sebagai pucuk pimpinan institusi militer tanah air sudah menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi di Basarnas tidak boleh terulang.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan, dirinya optimistis penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas bakal tuntas. Sebab, TNI juga memproses hukum kabasarnas dan anak buahnya dengan landasan hukum yang kuat. Yakni UU Peradilan Militer. “Puspom TNI sudah melanjutkan mentersangkakan pejabat yang bersangkutan dan sudah ditahan,” kata Mahfud.

Dia sangat yakin proses hukum kabasarnas dan anak buahnya tuntas lantaran peradilan militer jauh dari intervensi politik. “Kesan saya pribadi, peradilan militer itu kalau sudah mengadili biasanya lebih steril dari intervensi politik. Biasanya lebih steril dari tekanan-tekanan masyarakat sipil,” beber dia. “Oleh sebab itu, kami percaya kepada peradilan militer dan kita akan mengawalnya dari luar,” terang mantan menteri pertahanan tersebut.

Berkaitan dengan polemik yang sempat beredar, Mahfud menjelaskan bahwa dalam UU TNI memang tercantum pasal yang menyebut personel TNI aktif bisa diadili lewat peradilan umum bila melakukan tindak pidana yang bersifat umum. “Tetapi, ada aturan dalam pasal 74 ayat 2 UU tersebut. Dimana disebutkan, sebelum ada UU Peradilan Militer yang baru, yang menggantikan atau menyempurnakan UU Nomor 31 Tahun 1997, itu masih dilakukan oleh peradilan militer,” jelas dia.

Diketahui, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto telah ditahan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, Senin (31/7) kemarin. Penahanan itu dilakukan setalah Puspom TNI menetapkan keduanya sebagai tersangka, dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa sejumlah proyek di Basarnas RI tahun anggaran 2021-2023.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, penahanan Henri dan Afri oleh TNI membuktikan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK tidak melanggar aturan. KPK sebelumnya melakukan OTT terhadap sejumlah pihak, termasuk Afri Budi pada Selasa (25/7) lalu.

Setelahnya Afri Budi dan Henri Alfiandi ditetapkan KPK sebagai tersangka. Keduanya dijerat sebagai tersangka penerima suap. Sementara yang berperan sebagai pemberi suap yakni, Komisaris Utama PT Multi Gtafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA). Ketiganya sudah ditahan oleh KPK.

“Hal ini membuktikan bahwa KPK bekerja secara profesional, penetapan 5 tersangka dalam operasi tangkap tangan oleh KPK dilakukan secara profesional, prosedural, legal, dan dilakukan sesuai dengan tata cara hukum acara dan peraturan perundang-undangan,” kata Firli dalam keterangannya, Selasa (1/8).

Firli memastikan, proses hukum terhadap para tersangka tak perlu lagi menjadi polemik. Menurutnya, KPK akan berkoordinasi dengan Puspom TNI dalam memproses dua anggota militer itu. “Selanjutnya KPK dan TNI akan menuntaskan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021 sampai dengan 2023,” tegas Firli.

KPK menduga, Henri Alfiandi menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar. Suap itu diterima Henri melalui anak buahnya Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto selama periode 2021-2023.

Suap puluhan miliar itu berasal dari pengadaan barang dan jasa di Basarnas RI. Pertama, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar. Kedua, pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp 17, 4 miliar. Ketiga, pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp 89,9 miliar. (tyo/syn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/