YOGYAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah penangguhan penahanan yang diajukan UGM dikabulkan polisi, Florence Sihombing keluar dari tahanan. Terselip raut bahagia di wajahnya. Sebelum meninggalkan Polda DIY, ia kembali meminta maaf.
Florence keluar dari tahanan di lantai 2 Ditreskrimsus sekitar pukul 15.00 WIB. Ia didampingi orangtua dan perwakilan UGM. Di lantai bawah gedung Ditreskrimsus, Florence didampingi Sekretaris Komisi Etik FH UGM Heribertus Jaka Triyana.
“Saya meminta maaf kepada warga Yogya, kepada Sultan. Saya berharap semua memberikan maaf kepada saya. Karena saya dengan tulus dan berbesar hati kini memohon (maaf),” kata Florence. Florence juga berterima kasih kepada UGM yang telah bersedia membantu. “Saya harapkan masyarakat di sini mau mengerti, mau memahami dan juga mau berbesar hati menerima permintaan maaf saya. Terimakasih,” tegas Florence.
Florence ditahan sejak Sabtu (30/8) lalu. Oleh polisi, ia dinilai melanggar UU ITE terkait tulisannya di media sosial yang dianggap menghina warga Yogyakarta. Meski bebas, mahasiswi pascasarjana itu akan tetap diproses secara pidana. Sebelum keluar dari tahanan, Florence menandatangani berkas. “Terima kasih kepada UGM yang telah bersedia membantu,” kata mahasiswi Kenotariatan UGM itu.
Penangguhan penahanan diajukan UGM melalui Dekan Fakultas Hukum Dr Paripurna. UGM menilai kasus Florence murni etika, bukan pidana sehingga penanganan kasusnya tidak perlu melalui penahanan.
Kepolisian mengabulkan permintaan UGM, tapi tetap memproses kasus tersebut. Selama kasus bergulir, Gubernur DIY Sri Sultan HB X tak merespon. Tapi kemarin, Raja Keraton Yogyakarta tersebut angkat bicara.
“Saya tidak terlalu mengikuti. Saya punya harapan itu bisa dijembatani sehingga ada win-win solution,” ungkap Sultan kepada wartawan seusai pelantikan anggota DPRD DIY, di Jl. Malioboro. Sultan berharap Florence jangan merasa menang sendiri. “Kalau antre menyerobot. Apa itu karakternya, saya nggak tahu,” katanya.
Sultan sendiri mengaku tidak terlalu mempermasalahkan kasus tersebut. Yang menjadi masalah, karena ada pihak yang melaporkan kejadian itu ke polisi. Oleh karena itu, polisi harus memprosesnya.
“Bagi saya nggak masalah. Saya nggak punya kepentingan di situ. Sekarang ini bagaimana hubungan antara pelapor dengan yang dilaporkan. Itu terserah polisi,” katanya.
Sultan menilai saat ini polisi tengah melakukan tugasnya sebagai penegak hukum. Kalau tidak merespons laporan, polisi dianggap diam dan tidak tanggap. “Saya punya harapan, polisi bisa berperan di situ. Saya juga nggak tahu Pak Rektor dan Dekan sudah bertemu. Harapan saya sudah ada jembatan ke situ,” katanya.
DISELESAIKAN SECARA KEKELUARGAAN
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai kasus Florence merupakan kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Di mana warga satu kota dihina dan kemudian menuntut dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), atas dugaan penghinaan lewat media elektronik, atau media sosial, path.
Karena itu di satu sisi, Neta berpendapat ada baiknya kasus penghinaan mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) asal Medan tersebut, diselesaikan lewat jalur hukum. Agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat di kemudian hari. Namun begitu di sisi lain, Neta menilai tidak ada salahnya kasus yang berawal dari curahan hati tersebut diselesaikan lewat jalan damai atau lewat jalur kekeluargaan.
“Artinya, mengingat kasus ini merupakan delik aduan, bisa saja Florence ataupun keluarganya melakukan pendekatan dan perdamaian dengan pelapor, sehingga pelapor mencabut laporannya ke polisi. Jika laporan dicabut, kasus ini bisa segera ditutup,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Senin (1/9).
Menurut Neta, apa yang dilakukan polisi dalam menangani kasus Florence sudah tepat. Polisi bekerja cepat agar tidak terjadi keresahan yang bisa membuat warga Yogyakarta mengambil tindakan sendiri-sendiri. Florence ditahan di kantor polisi, untuk diamankan dan sekaligus mencegah agar yang bersangkutan tidak meninggalkan Yogta, mengingat ia bukan warga Yogya.
“Namun jika sudah ada penyelesaian antara Florence dengan pelapor dan laporannya dicabut, polisi harus menutup kasus ini dan melepaskannya dari tahanan,” katanya.
Neta mengajak semua warga masyarakat untuk bersama-sama memetik hikmah dari apa yang terjadi dengan Florence, dengan menjadikannya sebuah pembelajaran berharga. Agar seseorang tidak terlalu gampang memaki atau menghina orang lain, apalagi menghina suku atau warga kota tertentu.
“Kasus ini selintas terlihat sepele, tapi ketika penghinaan tersebut ditujukan untuk warga satu kota tertentu, ia menjadi masalah yang sangat serius. Bukan hanya warga kota itu yang marah, tapi UU juga bisa menuntut dan menjerat yang bersangkutan. Seperti Florence dijerat dengan UU ITE,” katanya.
Sementara itu secara terpisah, anggota Komisi III DPR RI, Trimedya Pandjaitan, menilai langkah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menahan Florence terlalu berlebihan. Ia membandingkannya dengan kasus serupa berupa kampanye hitam yang ditujukan pada Presiden terpilih Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada saat pemilu lalu.
“Terlalu reaktif kalau langsung menahan. Kasus lain kok enggak begitu? Misalnya kasus Obor Rakyat, kasus yang menyatakan dia (Jokowi) sudah meninggal, sampai soal (tuduhan) adanya komunikasi antara Megawati dan Jaksa Agung. Menurut saya, terlalu reaktif kalau langsung menahan (Florence). Kasus Obor Rakyat merugikan nama calon presiden, tetapi nggak dilakukan penahanan,” katanya.
Karena itu Trimedya menyarankan kepolisian sebaiknya mengabulkan permohonan penangguhan penahanan kuasa hukum dan keluarga Florence. “Harusnya polisi tidak tebang pilih. Kalaupun fakta hukumnya kuat, (Florence) tidak perlu langsung ditahan,” katanya.
Kasus Florence berawal saat dirinya hendak mengisi bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), Lempuyangan, Yogyakarta, Rabu (27/8) lalu. Karena antrian begitu panjang, ia yang menggunakan sepeda motor memilih masuk antrian khusus mobil untuk Pertamax. Namun atas sikap tersebut, petugas yang ada melarang. Alasannya, karena dikhawatirkan memicu kecemburuan pengendara yang lain.
Tidak terima dilarang, Florence akhirnya meninggalkan SPBU tersebut. Namun permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Lewat akun pribadinya di media sosial path, Florence menumpahkan kekesalannya. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulisnya dalam Path @florenceje, Kamis (28/8).
Tulisan tersebut tersebar luas ke tengah masyarakat. Hingga akhirnya oleh sekelompok masyarakat, Flo dilaporkan ke Polda DIY atas tuduhan pencemaran nama baik. Meski telah meminta maaf, Florence tetap ditahan karena diduga melanggar Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, dan ?Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Namun terhadap pihak yang menyebarkan curhatannya hingga saat ini belum diketahui apakah juga telah diperiksa pihak Polda DIY. (bbs/gir/deo)