JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, meminta pemerintah untuk tidak terlalu jauh mengatur kegiatan keagamaan umat Islam. Satu di antaranya seperti mengatur majelis taklim melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019, tentang Majelis Taklim.
“Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya diatur juga. Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam, seperti majelis taklim,” tegas Haedar, melalui keterangan tertulis, Minggu (1/12).
Haedar menuturkan, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim, justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar. “Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw) dalam beragama, dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama,” jelasnya.
Jika sampai ada aktivitas yang menyimpang, lanjutnya, dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku, tidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi.
Haedar khawatir, PMA soal Majelis Taklim, bisa menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama, dalam hal ini KUA setempat, sehingga menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.
“Jika hal itu terjadi, dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Untuk itu semuanya perlu keseksamaan dan kearifan,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi, kembali mengeluarkan peraturan yang memicu polemik. Kali ini, terkait dengan keharusan majelis taklim terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag). Setiap tahun majelis taklim juga diminta melaporkan kegiatannya.
Kebijakan itu, tertuang dalam PMA 29/2019, yang diteken pada 13 November lalu. Meski harus mendaftar, tak ada sanksi bagi majelis taklim jika tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag, Juraidi beralasan, PMA tidak mewajibkan majelis taklim untuk mendaftar. “Dalam pasal 6, kami gunakan istilah harus, bukan wajib. Harus sifatnya lebih ke administratif. Kalau wajib berdampak sanksi,” jelas dia Juraidi, Sabtu (30/11) lalu.
Terdaftarnya sebuah majelis taklim, lanjut Juraidi, akan memudahkan Kemenag melakukan pembinaan. “Termasuk pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukum,” ujarnya.
Mantan Dekan Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Arief Subhan menilai, isi PMA tersebut terlalu administratif. Dia kurang melihat upaya Kemenag untuk meningkatkan mutu majelis taklim. “Padahal, cantolan aturan ini adalah UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional, red),” pungkasnya. (jpc/saz)