JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) menata prosedur hukum terpidana mati. Kejagung akan aktif menanyakan sikap mereka setelah divonis melalui somasi. Tujuannya, mendapat kepastian hukum atas eksekusi para terpidana.
Kapuspenkum Kejagung Tony T. Spontana menjelaskan, rencana somasi itu dirumuskan pada 9 Januari lalu. Jaksa agung bersama menteri hukum dan HAM, hakim agung MA, Kabareskrim, serta instansi terkait sepakat membatasi jangka waktu pengajuan hak hukum terpidana.
Dalam kesepakatan tersebut, terpidana yang upaya kasasinya ditolak diberi kesempatan mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun, jangka waktu pengajuan PK tersebut dibatasi. Tidak seperti saat ini, terpidana baru mengajukan PK setelah lewat beberapa tahun pengajuan kasasi.
’’Kalau melewati jangka waktu tersebut, yang bersangkutan dianggap tidak menggunakan hak hukumnya,’’ ujar Tony. Jangka waktu yang dimaksud adalah tiga bulan setelah kasasi ditolak.
Prosedurnya, Kejagung akan mengirimkan somasi secara rutin untuk menanyakan apakah terpidana akan mengajukan PK. Misalnya, sebulan sekali. Kalau ternyata terpidana mengajukan PK, dia diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan.
Kalau sampai tiga bulan belum ada jawaban somasi, pihaknya akan menyodorkan surat pernyataan. Isinya, terpidana tersebut akan mengajukan PK atau tidak. Apabila tidak, terpidana dieksekusi.
Biasanya, novum menjadi alasan terpidana mati untuk menunda-nunda pengajuan PK. Tony mengungkapkan, novum tidak bisa ditunggu-tunggu. Kalau tidak ada novum, proses bisa berlarut-larut. Padahal, dalam suatu perkara, harus ada kepastian dan harus ada akhirnya. Yakni, ketika putusan sudah dieksekusi.
Pihaknya sudah mempraktikkan somasi tersebut kepada terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman. Jaksa sudah menyomasi Freddy dan dijawab bahwa dia akan mengajukan PK.