25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Iuran BPJS Kesehatan Resmi Naik

PELAYANAN: Petugas memberi pelayanan di salah satu kantor BPJS Kesehatan di Jakarta, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan mulai berlaku Januari 2020. Kenaikan ini hanya berlaku untuk peserta mandiri kelas I dan II, sedangkan untuk kelas III belum ditetapkan.

PEMERINTAH bakal menaikkan iuran peserta kelas I menjadi Rp160.000 dari Rp80.000 per bulan. Kemudian kelas II menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp59.000 per bulan.

“Yang kelas I dan II (peserta mandiri) itu mulai naik 1 Januari 2020, ini akan bisa kami sosialisasi untuk masyarakat,” ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (2/9).

Sedangkan, untuk peserta mandiri kelas III masih dalam pembahasan, lantaran DPR menolak usulan tersebut. Dalam rapat gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI, pemerintah diminta tidak menaikkan premi untuk kelas III, yang rencananya menjadi Rp42.000 dari sebelumnya 25.500 per bulan.

Kendati demikian, untuk premi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tetap diberlakukan kenaikan. Sebab preminya memang dibayarkan oleh pemerintah.

Namun dengan catatan perbaikan data peserta PBI, dari hasil Audit dengan Tujuan Tertentu Dana Jaminan Kesehatan Sosial 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebanyak 10,65 juta peserta JKN yang masih bermasalah.

“Selisih kenaikan dari jadi Rp42.000 untuk PBI akan kami carikan, sehingga tidak menjadi beban mereka,” katanya.

Dia menyatakan, kenaikan ini hanya tinggal menunggu payung hukumnya yang akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).

“Tapi nunggu Perpres dulu ya. Kita menutup defisit dengan cara menyesuaikan iuran,” imbuh dia.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun. Angka ini melebar dari proyeksi awal yang sebesar Rp28 triliun.

Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut defisit yang dialami BPJS Kesehatan bukan karena kecilnya iuran yang selama ini dikutip dari publik.

Mengacu analisis Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan karena urusan pengelolaan yang buruk.

“Hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa sumber masalah sebenarnya selama ini bukan pada besarnya iuran, tetapi pada aspek pengelolaan BPJS Kesehatan yang bermasalah,” kata Mardani saat dihubungi awak media, Senin (2/9).

Setidaknya, kata Mardani, ada enam akar masalah pengelolaan di BPJS Kesehatan. Pertama yakni dugaan banyaknya rumah sakit rujukan yang melakukan pembohongan data.

“Untuk mendapatkan penggantian dari BPJS Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori. Misalnya, kategori D mengakunya C, kategori B mengakunya A. Ini supaya rumah sakit tersebut dapat per unit lebih besar,” ucap dia.

Masalah berikutnya, kata Mardani, data pengguna layanan dan peserta yang berbeda. Dalam catatannya, pengguna layanan BPJS Kesehatan sebanyak 239,9 juta, padahal peserta yang terdaftar 223,3 juta.

“Perlunya audit lebih mendalam untuk menemukan jawaban itu,” lanjut dia.

Masalah berikutnya, ungkap dia, ditemukannya upaya perusahaan peserta mengakali iuran BPJS Kesehatan untuk mengurangi beban perusahaan di dalam membayarkan kewajiban.

Selanjutnya, berkaitan dengan tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah. Angka di sektor itu masih rendah yaitu 53,7 persen.

Masalah berikutnya yakni terdapat data kepesertaan BPJS Kesehatan yang tidak valid. Ditemukan adanya peserta yang harusnya tidak masuk sistem BPJS Kesehatan justru masuk ke dalam sistem.

“Selain itu, ditemukan peserta tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda,” terang dia.

Masalah lainnya yakni sistem manajemen klaim BPJS Kesehatan yang amburadul. Menurut Mardani, masih ditemukan adanya klaim ganda peserta. Bahkan, ada klaim dari peserta yang sudah tidak aktif dan yang sudah meninggal.

“Jadi dari ke enam akar masalah BPJS Kesehatan hasil temuan audit BPKP tersebut, menunjukkan bahwa sumber masalahnya ada pada pengelolaan BPJS Kesehatan, bukan pada besar kecilnya iuran yang ditarik dari masyarakat,” pungkasnya.

Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengeluarkan pernyataan keras merespons rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Jika rencana tersebut direalisasikan, para buruh akan melakukan aksi unjuk rasa dan mengajukan gugatan.

Said Iqbal mengatakan, sebelum melakukan gugatan warga para buruh akan melakukan aksi besar-besaran pada 2 Oktober 2019 di Gedung DPR. Tepatnya sehari setelah pelantikan anggota baru.

“Aksi itu untuk mendorong DPR membentuk pansus. Pansus tersebut akan melihat di mana letak kesalahan dalam kasus defisitnya BPJS,” kata dia. (bbs/jpnn/ala)

PELAYANAN: Petugas memberi pelayanan di salah satu kantor BPJS Kesehatan di Jakarta, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan mulai berlaku Januari 2020. Kenaikan ini hanya berlaku untuk peserta mandiri kelas I dan II, sedangkan untuk kelas III belum ditetapkan.

PEMERINTAH bakal menaikkan iuran peserta kelas I menjadi Rp160.000 dari Rp80.000 per bulan. Kemudian kelas II menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp59.000 per bulan.

“Yang kelas I dan II (peserta mandiri) itu mulai naik 1 Januari 2020, ini akan bisa kami sosialisasi untuk masyarakat,” ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (2/9).

Sedangkan, untuk peserta mandiri kelas III masih dalam pembahasan, lantaran DPR menolak usulan tersebut. Dalam rapat gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI, pemerintah diminta tidak menaikkan premi untuk kelas III, yang rencananya menjadi Rp42.000 dari sebelumnya 25.500 per bulan.

Kendati demikian, untuk premi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tetap diberlakukan kenaikan. Sebab preminya memang dibayarkan oleh pemerintah.

Namun dengan catatan perbaikan data peserta PBI, dari hasil Audit dengan Tujuan Tertentu Dana Jaminan Kesehatan Sosial 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebanyak 10,65 juta peserta JKN yang masih bermasalah.

“Selisih kenaikan dari jadi Rp42.000 untuk PBI akan kami carikan, sehingga tidak menjadi beban mereka,” katanya.

Dia menyatakan, kenaikan ini hanya tinggal menunggu payung hukumnya yang akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).

“Tapi nunggu Perpres dulu ya. Kita menutup defisit dengan cara menyesuaikan iuran,” imbuh dia.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun. Angka ini melebar dari proyeksi awal yang sebesar Rp28 triliun.

Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut defisit yang dialami BPJS Kesehatan bukan karena kecilnya iuran yang selama ini dikutip dari publik.

Mengacu analisis Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan karena urusan pengelolaan yang buruk.

“Hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa sumber masalah sebenarnya selama ini bukan pada besarnya iuran, tetapi pada aspek pengelolaan BPJS Kesehatan yang bermasalah,” kata Mardani saat dihubungi awak media, Senin (2/9).

Setidaknya, kata Mardani, ada enam akar masalah pengelolaan di BPJS Kesehatan. Pertama yakni dugaan banyaknya rumah sakit rujukan yang melakukan pembohongan data.

“Untuk mendapatkan penggantian dari BPJS Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori. Misalnya, kategori D mengakunya C, kategori B mengakunya A. Ini supaya rumah sakit tersebut dapat per unit lebih besar,” ucap dia.

Masalah berikutnya, kata Mardani, data pengguna layanan dan peserta yang berbeda. Dalam catatannya, pengguna layanan BPJS Kesehatan sebanyak 239,9 juta, padahal peserta yang terdaftar 223,3 juta.

“Perlunya audit lebih mendalam untuk menemukan jawaban itu,” lanjut dia.

Masalah berikutnya, ungkap dia, ditemukannya upaya perusahaan peserta mengakali iuran BPJS Kesehatan untuk mengurangi beban perusahaan di dalam membayarkan kewajiban.

Selanjutnya, berkaitan dengan tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah. Angka di sektor itu masih rendah yaitu 53,7 persen.

Masalah berikutnya yakni terdapat data kepesertaan BPJS Kesehatan yang tidak valid. Ditemukan adanya peserta yang harusnya tidak masuk sistem BPJS Kesehatan justru masuk ke dalam sistem.

“Selain itu, ditemukan peserta tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda,” terang dia.

Masalah lainnya yakni sistem manajemen klaim BPJS Kesehatan yang amburadul. Menurut Mardani, masih ditemukan adanya klaim ganda peserta. Bahkan, ada klaim dari peserta yang sudah tidak aktif dan yang sudah meninggal.

“Jadi dari ke enam akar masalah BPJS Kesehatan hasil temuan audit BPKP tersebut, menunjukkan bahwa sumber masalahnya ada pada pengelolaan BPJS Kesehatan, bukan pada besar kecilnya iuran yang ditarik dari masyarakat,” pungkasnya.

Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengeluarkan pernyataan keras merespons rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Jika rencana tersebut direalisasikan, para buruh akan melakukan aksi unjuk rasa dan mengajukan gugatan.

Said Iqbal mengatakan, sebelum melakukan gugatan warga para buruh akan melakukan aksi besar-besaran pada 2 Oktober 2019 di Gedung DPR. Tepatnya sehari setelah pelantikan anggota baru.

“Aksi itu untuk mendorong DPR membentuk pansus. Pansus tersebut akan melihat di mana letak kesalahan dalam kasus defisitnya BPJS,” kata dia. (bbs/jpnn/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/