SUMUTPOS.CO – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, hujan ekstrem akan terjadi di berbagai wilayah Indonesia dari 5 hingga 15 Januari 2019. Masyarakat diminta mempersiapkan diri.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, pada 5 Januari Indonesia akan dilewati udara basah yang bertiup dari Samudera Hindia. Udara basah tersebut akan masuk melalui Sumatera Baratn
“Tanggal 5 diperkirakan akan masuk pengaruh dari Samudera Hindia yang bertiup dari Timur Afrika, berarakan aliran udara basah di sepanjang equator diprakirakan, masuk melalui Sumatera Barat, pantai Barat Sumatera, menuju tujuannya Samudara Pasifik,” kata Dwikorita saat sambutan di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, Jumat (3/1).
Dwikorita menyebut, saat itu intensitas hujan akan bertambah di beberapa wilayah yang dilewati seperti Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jawa, Jambi, Bangka Belitung, hingga Lampung. Karena itu, dia menyebut hujan intensitas ekstrem diprakirakan akan terjadi mulai 5 hingga 10 Januari 2020.
“Mohon diperhatikan prakiraannya, tanggal tersebut 5-10 intensitas hujan meningkat lagi. Biasanya terjadi hujan meningkat pada malam hari sampai dini hari,” ucapnya.
Selanjutnya, Dwikorita juga menjelaskan udara basah ini juga akan masuk dari wilayah Kalimantan pada tanggal 11 Januari. Beberapa wilayah akan terdampak peningkatan intensitas hujan.
“Setelah tanggal 11-15 diprakirakan pergerakannya masuk Kalimantan Barat, ke Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, akhirnya mampir di Sulawesi Selatan, dan di Sulawesi Tenggara. Nah ini berjalan terus tanggal 11-15, intensitas tinggi di zona-zona tersebut. Sehingga mohon disiapkan, ini bukan perkiraan tapi prakiraan,” ujar Dwikorita.
Dwikorita memastikan, setelah tanggal 15 Januari, intensitas hujan akan kembali normal. Dia juga berharap prakiraan BMKG ini salah sehingga hujan intensitas ekstrim tidak terjadi .”Semoga saja prakiraan 15 mulai luluh dan menuju ke Samudra Pasifik, nah itu jadi penutup, semoga TMC sangat membantu setelah ada prakiraan TMC berhasil, prakiraan kami salah,” kata Dwikorita.
Selain itu, lanjutnya, perubahan siklus hujan ekstrem di Indonesia semakin cepat terjadi. “Hujan intensitas esktrem itu ada siklusnya, tapi tampaknya siklus itu semakin memendek,” kata dia lagi.
Dwikorita mengatakan, siklus hujan ekstrem saat ini terjadi setiap lima tahunan atau bahkan di bawah lima tahun. Fenomena ini, kata Dwikorita, berbeda dengan yang biasanya terjadi dalam setiap 10 tahun atau 20 tahun. “Yang biasanya 10 tahunan, 20 tahunan menjadi datang hanya dalam waktu 5 tahun atau kurang,” ujar Dwikorita.
Dwikorita mengatakan, perubahan fenomena hujan ekstrem ini dipengaruhi oleh perubahan iklim. Meskipun hujannya tinggi, perubahan iklim itu yang mempercepat siklus itu datang.
Selain itu, Dwikorita juga menyebut fenomena hujan ekstrem yang datang lebih cepat ini tidak didukung oleh mitigasi yang baik. Menurutnya peringatan-peringatan yang dikeluarkan BMKG sejauh ini tidak terlalu direspons oleh masyarakat.
“Pelajaran penting bagi kami peringatan dini yang sudah disampaikan seminggu sebelumnya, tanggal 23 tanggal 27, 28, terakhir Kepala BNPB tangal 30 desember 2019 ternyata, kita belajar, mungkin dianggap dampaknya kurang dahsyat, ini pelajaran bagi kami,” pungkas Dwikorita.
Libatkan 3 Pesawat
Sementara itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dibantu TNI melakukan teknik modifikasi cuaca (TMC) untuk mengurangi intensitas hujan di Jabodetabek pada Jumat (3/1).
Kepala Pusdatin dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Agus Wibowo mengatakan, sejumlah strategi telah disiapkan BPPT untuk melakukan modifikasi cuaca tersebut sebagaimana diinformasikan Kepala Balao Besar TMC BPPT Dr. Trihandoko Seto.
“BPPT sudah melakukan analisis pertumbuhan awan penyebab hujan di Jabodetabek. Awan-awan tersebut berasal dari sebelah barat dan barat laut Jabodetabek yaitu selat Sunda, Lampung, dan sekitarnya,” ucap Agus.
Untuk itu, pada hari ini (kemarin,Red) sudah dilakukan persiapan, baik pesawat maupun peralatan lainnya beserta bahan semai yang akan digunakan. Operasi ini akan mengerahkan pesawat Casa (1 unit), CN-295 (1), dan 1 unit Hercules (opsional).
“Pagi hari dilakukan prediksi dan monitoring pertumbuhan dan pergerakan awan. Semua awan yang bergerak ke Jabodetabek dan diperkirakan akan hujan di Jabodetabek akan disemai dengan pesawat menggunakan bahan semai NaCl. Diharapkan, awan akan jatuh sebelum memasuki Jabodetabek,” jelasnya.
Sebelumnya, BPPT bersama BNPB menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk meminimalisir hujan lebat di Jabodetabek. Modifikasi cuaca ini dimaksudkan untuk mengarahkan hujan agar tidak turun di Jabodetabek. Bagaimana caranya?
Peresmian penerapan teknologi modifikasi cuaca ini dilaksanakan di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, oleh Menteri Riset, Teknologi dan Kepala Badan Riset Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, Kepala BNPB Doni Monardo, Kepala BMKG Dwikorita serta Kepala BPPT Hammam Riza.
“Pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca untuk meminimalkan dampak bencana banjir di Jabodetabek dengan upayakan redistribusi curah hujan dengan mengurangi intensitas hujan yang turun di Jabodetabek,” kata Hammam.
Hammam menjelaskan, nantinya hujan yang seharusnya mengguyur Jabodetabek akan diturunkan lebih dulu di Selat Sunda dan Laut Jawa sehingga intensitas di Jabodetabek bisa berkurang. Operasi TMC ini akan dilaksanakan sepanjang dibutuhkan pada periode puncak musim hujan demi meminimalisir dampak banjir.
Modifikasi ini dilakukan dengan menggunakan garam yang ditaburkan dua pesawat TNI AU jenis CN295 dan Casa 212. Hammam menyebut total 3,2 ton garam bakal disebar di awan-awan hujan setiap kali jalan.
“Penerbangan TMC bekerja sama dengan TNI AU yang menyediakan 2 pesawat dan disesuaikan dengan kebutuhan, CN295 dari skuadron 2 Halim PK, ini sekali turunkan 2,4 ton garam yang bisa disemai, dan Casa 212 200 dari skuadron udara 4, sekali angkat 800 Kg garam,” ujar Hammam. (fat/jpnn)