25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Wakapolri Bantah Terlibat Korupsi Korlantas

Ribuan Perwira Kumpul di PTIK

JAKARTA-Dugaan suap Korlantas mengalir ke jenderal selain Djoko Susilo dibantah oleh Wakapolri Komjen Nanan Soekarna. Orang nomor duan
di Korps Bhayangkara itu juga menepis tegas dirinya ikut terciprat uang panas simulator SIM.

Kemarin, Nanan datang dalam pertemuan akbar ratusan perwira menengah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Kebayoran Baru Jakarta Selatan. “Tunjukkan siapa yang berikan uang ke saya, berapa jumlahnya, dimana dan kapan. Harus jelas dong,” ujar Nanan saat menemui wartawan yang sudah menunggunya.

Nama Nanan tersangkut gara gara Bambang Sukotjo, direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia mengaku diperintahkan Budi Santoso untuk mengirimkan uang senilai Rp1, 5 Miliar ke Irwasum Mabes Polri. Bambang memang tak menyebut nama siapa penerima uang itu. Pada pengacaranya Erick S Paat, Bambang hanya mengaku mengirimkan dana untuk Irwasum Mabes Polri. Pada saat itu (Februari 2011) posisi Irwasum sedang dijabat oleh Komjen Nanan Soekarna.

Setelah Nanan promosi jadi Wakapolri 3 Maret 2011, selama 11 hari posisi Irwasum dirangkapnya. Hingga pada 14 Maret 2011 jabatan itu diserahterimakan kepada Komjen Fajar Prihantoro.

Dengan ekspresi serius, Nanan menegaskan dirinya sama sekali tak tahu menahu soal tender simulator Korlantas.”Kalau saya menerima saya akan ngaku. Saya ulangi kalau saya menerima saya akan ngaku. Tunjukkan ke saya, siapa yang ngasih, kapan di mana. Saya pusing juga kapan menerima uangnya. Buktikan itu. Saya juga enggak sembunyi,”katanya.

Sebelumnya beberapa aktivis antikorupsi seperti Donal fariz dari Indonesian Corruption Watch menilai kasus korupsi Korlantas tak hanya berhenti di Irjen Djoko Susilo. Namun, juga melebar ke nama-nama lain. “Sangat mungkin ke jenderal yang bintangnya lebih banyak,” kata Donal di Gedung KPK Minggu sore lalu.

Terhadap komentar itu, Nanan meminta semua pihak menghargai proses hukum. “Ini kan sedang berjalan prosesnya, mari kita tunggu penyidikannya,” kata alumnus Akpol 1978 yang pernah diunggulkan menjadi Kapolri itu.

Dia juga media massa tak memanas-manasi keadaan dengan seolah-olah ada konflik antara KPK dan Polri. “Media jangan ngobok-ngobok lah. Media juga harus mensinergikan antara KPK sama polisinya, bukan malah ngadu-ngadu. Mari kita bekerja sama, melakukan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, itu yang dibangun sama-sama,” katanya.

Selain Nanan ada puluhan perwira tinggi yang datang. Acara itu juga dihadiri 1.300 perwira menengah. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anang Iskandar menjelaskan acara itu merupakan silaturahmi Kapolri dengan anggotanya. “Tidak secara khusus membahas kasus, tapi mengingatkan agar semua anggota bertindak dan bekerja dengan jujur dan anti kkn,” katanya.

Acara yang memacetkan jalan Tirtayasa gara gara ratusan mobil parkir itu juga dihadiri sejumlah purnawirawan. Tampak diantaranya mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki yang juga purnawiran irjen, juga Adang Daradjatun, mantan Wakapolri.
Saat dicegat wartawan, Ruki enggan berkomentar soal isi acara yang berlangsung tertutup itu. Saat ditanya soal kasus simulator, Ruki juga enggan menanggapi panjang.”Nanti kita bicarakan lagi di lain kesempatan,” katanya.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang menemui wartawan usai acara juga membantah pengumpulan para perwira tinggi, perwira menengah, dan sejumlah purnawirawan itu untuk membahas kasus simulator. “Ini silaturahmi kebetulan bulan Ramadan,” katanya.
Namun, mantan Kapolda Metro Jaya itu mengakui ada sejumlah pertanyaan tentang korupsi lalu lintas.”Dengan beberapa purnawirawan tentunya menanyakan bagaimana perkembangan terakhir (kasus-kasus di Polri), termasuk penanganan korupsi yang diduga ada di Korlantas Polri, salah satunya itu,” katanya.
Kapolri menegaskan pihaknya akan terus menyidik kasus ini.”Tentu proses hukum yang berjalan kita ikuti. Nanti siapapun tentu akan diperiksa jika memang terkait, terimakasih ya Dik,” katanya khas mengakhiri wawancara dengan wartawan.

Saat acara itu, Kabareskrim Komjen Sutarman tidak terlihat. Kemana? Rupanya, Sutarman memimpin rapat penting di Divisi Hukum Mabes Polri. Tak tanggung-tanggung dua pakar hukum dihadirkan yakni Prof Romli Atmasasmita dan Prof Yusril Ihza Mahendra. Tampak juga Juniver Girsang, pengacara Irjen Djoko Susilo yang sekarang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Bahkan Djoko Susilo juga datang ke Divisi Hukum. Namun dia dijaga sangat rapat oleh sekitar 15 pengawal berbadan tegap. Wartawan juga diminta provos untuk menjaub dari gedung. Usai pertemuan, Yusril menjelaskan dirinya memang dimintai pendapat oleh Bareskrim.”Saya melihat lebih kuat polisi,”kata pengacara tersangka korupsi Alquran Zulkarnaen Jabar ini.

Yusril mengatakan, posisi Polri lebih kuat lantaran kewenangannya diatur dalam UUD 1945, yakni Pasal 30 ayat 4. Dalam ayat itu disebutkan Polri bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Adapun KPK, kata dia, hanya diatur setingkat undang-undang, yakni UU Nomor 30/2002. “Sekarang bisakah suatu lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (Polri) dicaplok oleh lembaga (KPK) yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang? Kalau nanti dibawa ke MK, kita lihat argumentasi KPK seperti apa,” kata mantan sekretaris negara itu.
Selain itu, menurut Yusril, perlu juga dilihat institusi mana yang lebih dulu melakukan penyelidikan perkara dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian surat izin mengemudi (SIM). Jika Kepolisian lebih dulu, kata dia, maka KPK tidak bisa mengambil alih perkara itu. “Mabes Polri katakan lebih dulu. KPK juga mengatakan lebih dahulu. Makanya dibuktikan di pengadilan siapa yang lebih dahulu. Kalau tidak bisa ditengahi lagi, maka harus menyelesaikan masalah ini ke MK. Biar MK yang putuskan apakah perkara ini di polisi atau KPK,” katanya.

Di bagian lain, kisruh antara Mabes Polri dan KPK membuat tiga advokat mendaftarkan judicial review atas Pasal 50 ayat 3 UU 30/2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menganggap kalau pasal yang menjadi pangkal keributan itu butuh penafsiran dari korps pimpinan Mahfud M.D.
Ketiga pengacara itu adalah Habiburokhman, M. Maulana Bungaran, dan Munathsir Mustaman. Mereka mengatakan dasar pendafataran gugatan itu lantaran kecewa dengan sikap Mabes Polri. “Dalih kewenangan Polri diatur KUHAP mengabaikan ketentuan Pasal 50 ayat 3 UU 30/2002,” ujar Habiburokhman.

Seperti diketahui, pasal tersebut berbunyi kalau KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Namun, Habib mengakui kalau frasa kepolisian atau kejaksaan menimbulkan ketidakpastian hukum. Itu dikarenakan tak ada penjelasan mengenai frasa tersebut dan berakibat seperti ini.

Dia berharap agar MK bisa memberikan penjelasan rinci mengenai tafsir frasa tersebut. Apalagi, kalau penyidikan ganda antara Polri dan KPK terus berjalan juga bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Ujung-ujungnya, dasar diselenggarakannya persidangan menjadi tidak jelas bakal menggunakna hasil penyidikan yang mana.

“Selain itu, mendesak karena benturan seperti ini bisa kembali terjadi,” tandasnya. Habib sendiri mengatakan kalau tidak ada target gugatannya dikabulkan MK. Sebab, dia yakin kalau pasal tersebut sudah menegaskan posisi KPK, Polri, dan Kejaksaan. Versinya, Mabes Polri tak boleh melanjutkan penyidikan.

Meski demikian, dia sadar kalau masih ada keraguaan di masyarakat atas judicial review tersebut. Terutama, posisi KPK yang masih menjadi institusi ad hoc bukan lembaga negara seperti yang diatur UUD 1945 layaknya Polri. Jadi, MK tidak bisa menerima gugatan itu karena tak termasuk tugas dan wewenang MK.

“Tidak ada masalah, karena yang kami uji bukan sengketa antara lembaga negara. Tetapi pengujian terhadap undang-undang,” urainya.
Sebelumnya, saat buka bersama di di Pesantren Al-Qurthuby, Pujer, Bondowoso, Ketua MK Mahfud MD mengisyaratkan kalau pertikaian itu tak bisa dibawa ke MK. Alasannya, KPK bukan termasuk lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Dia malah menyebut langkah terbaik adalah membawa kasus tersebut ke presiden.

Nah, setelah itu presiden bisa menunjuk Menkopolhukam menjadi moderator. Bagi Mahfud, langkah tebaik saat ini adalah dengan bersepakat dan tidak lagi saling klaim pasal mana yang benar.(rdl/dim/aga/jpnn)

Ribuan Perwira Kumpul di PTIK

JAKARTA-Dugaan suap Korlantas mengalir ke jenderal selain Djoko Susilo dibantah oleh Wakapolri Komjen Nanan Soekarna. Orang nomor duan
di Korps Bhayangkara itu juga menepis tegas dirinya ikut terciprat uang panas simulator SIM.

Kemarin, Nanan datang dalam pertemuan akbar ratusan perwira menengah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Kebayoran Baru Jakarta Selatan. “Tunjukkan siapa yang berikan uang ke saya, berapa jumlahnya, dimana dan kapan. Harus jelas dong,” ujar Nanan saat menemui wartawan yang sudah menunggunya.

Nama Nanan tersangkut gara gara Bambang Sukotjo, direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia mengaku diperintahkan Budi Santoso untuk mengirimkan uang senilai Rp1, 5 Miliar ke Irwasum Mabes Polri. Bambang memang tak menyebut nama siapa penerima uang itu. Pada pengacaranya Erick S Paat, Bambang hanya mengaku mengirimkan dana untuk Irwasum Mabes Polri. Pada saat itu (Februari 2011) posisi Irwasum sedang dijabat oleh Komjen Nanan Soekarna.

Setelah Nanan promosi jadi Wakapolri 3 Maret 2011, selama 11 hari posisi Irwasum dirangkapnya. Hingga pada 14 Maret 2011 jabatan itu diserahterimakan kepada Komjen Fajar Prihantoro.

Dengan ekspresi serius, Nanan menegaskan dirinya sama sekali tak tahu menahu soal tender simulator Korlantas.”Kalau saya menerima saya akan ngaku. Saya ulangi kalau saya menerima saya akan ngaku. Tunjukkan ke saya, siapa yang ngasih, kapan di mana. Saya pusing juga kapan menerima uangnya. Buktikan itu. Saya juga enggak sembunyi,”katanya.

Sebelumnya beberapa aktivis antikorupsi seperti Donal fariz dari Indonesian Corruption Watch menilai kasus korupsi Korlantas tak hanya berhenti di Irjen Djoko Susilo. Namun, juga melebar ke nama-nama lain. “Sangat mungkin ke jenderal yang bintangnya lebih banyak,” kata Donal di Gedung KPK Minggu sore lalu.

Terhadap komentar itu, Nanan meminta semua pihak menghargai proses hukum. “Ini kan sedang berjalan prosesnya, mari kita tunggu penyidikannya,” kata alumnus Akpol 1978 yang pernah diunggulkan menjadi Kapolri itu.

Dia juga media massa tak memanas-manasi keadaan dengan seolah-olah ada konflik antara KPK dan Polri. “Media jangan ngobok-ngobok lah. Media juga harus mensinergikan antara KPK sama polisinya, bukan malah ngadu-ngadu. Mari kita bekerja sama, melakukan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, itu yang dibangun sama-sama,” katanya.

Selain Nanan ada puluhan perwira tinggi yang datang. Acara itu juga dihadiri 1.300 perwira menengah. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anang Iskandar menjelaskan acara itu merupakan silaturahmi Kapolri dengan anggotanya. “Tidak secara khusus membahas kasus, tapi mengingatkan agar semua anggota bertindak dan bekerja dengan jujur dan anti kkn,” katanya.

Acara yang memacetkan jalan Tirtayasa gara gara ratusan mobil parkir itu juga dihadiri sejumlah purnawirawan. Tampak diantaranya mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki yang juga purnawiran irjen, juga Adang Daradjatun, mantan Wakapolri.
Saat dicegat wartawan, Ruki enggan berkomentar soal isi acara yang berlangsung tertutup itu. Saat ditanya soal kasus simulator, Ruki juga enggan menanggapi panjang.”Nanti kita bicarakan lagi di lain kesempatan,” katanya.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang menemui wartawan usai acara juga membantah pengumpulan para perwira tinggi, perwira menengah, dan sejumlah purnawirawan itu untuk membahas kasus simulator. “Ini silaturahmi kebetulan bulan Ramadan,” katanya.
Namun, mantan Kapolda Metro Jaya itu mengakui ada sejumlah pertanyaan tentang korupsi lalu lintas.”Dengan beberapa purnawirawan tentunya menanyakan bagaimana perkembangan terakhir (kasus-kasus di Polri), termasuk penanganan korupsi yang diduga ada di Korlantas Polri, salah satunya itu,” katanya.
Kapolri menegaskan pihaknya akan terus menyidik kasus ini.”Tentu proses hukum yang berjalan kita ikuti. Nanti siapapun tentu akan diperiksa jika memang terkait, terimakasih ya Dik,” katanya khas mengakhiri wawancara dengan wartawan.

Saat acara itu, Kabareskrim Komjen Sutarman tidak terlihat. Kemana? Rupanya, Sutarman memimpin rapat penting di Divisi Hukum Mabes Polri. Tak tanggung-tanggung dua pakar hukum dihadirkan yakni Prof Romli Atmasasmita dan Prof Yusril Ihza Mahendra. Tampak juga Juniver Girsang, pengacara Irjen Djoko Susilo yang sekarang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Bahkan Djoko Susilo juga datang ke Divisi Hukum. Namun dia dijaga sangat rapat oleh sekitar 15 pengawal berbadan tegap. Wartawan juga diminta provos untuk menjaub dari gedung. Usai pertemuan, Yusril menjelaskan dirinya memang dimintai pendapat oleh Bareskrim.”Saya melihat lebih kuat polisi,”kata pengacara tersangka korupsi Alquran Zulkarnaen Jabar ini.

Yusril mengatakan, posisi Polri lebih kuat lantaran kewenangannya diatur dalam UUD 1945, yakni Pasal 30 ayat 4. Dalam ayat itu disebutkan Polri bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Adapun KPK, kata dia, hanya diatur setingkat undang-undang, yakni UU Nomor 30/2002. “Sekarang bisakah suatu lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (Polri) dicaplok oleh lembaga (KPK) yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang? Kalau nanti dibawa ke MK, kita lihat argumentasi KPK seperti apa,” kata mantan sekretaris negara itu.
Selain itu, menurut Yusril, perlu juga dilihat institusi mana yang lebih dulu melakukan penyelidikan perkara dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian surat izin mengemudi (SIM). Jika Kepolisian lebih dulu, kata dia, maka KPK tidak bisa mengambil alih perkara itu. “Mabes Polri katakan lebih dulu. KPK juga mengatakan lebih dahulu. Makanya dibuktikan di pengadilan siapa yang lebih dahulu. Kalau tidak bisa ditengahi lagi, maka harus menyelesaikan masalah ini ke MK. Biar MK yang putuskan apakah perkara ini di polisi atau KPK,” katanya.

Di bagian lain, kisruh antara Mabes Polri dan KPK membuat tiga advokat mendaftarkan judicial review atas Pasal 50 ayat 3 UU 30/2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menganggap kalau pasal yang menjadi pangkal keributan itu butuh penafsiran dari korps pimpinan Mahfud M.D.
Ketiga pengacara itu adalah Habiburokhman, M. Maulana Bungaran, dan Munathsir Mustaman. Mereka mengatakan dasar pendafataran gugatan itu lantaran kecewa dengan sikap Mabes Polri. “Dalih kewenangan Polri diatur KUHAP mengabaikan ketentuan Pasal 50 ayat 3 UU 30/2002,” ujar Habiburokhman.

Seperti diketahui, pasal tersebut berbunyi kalau KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Namun, Habib mengakui kalau frasa kepolisian atau kejaksaan menimbulkan ketidakpastian hukum. Itu dikarenakan tak ada penjelasan mengenai frasa tersebut dan berakibat seperti ini.

Dia berharap agar MK bisa memberikan penjelasan rinci mengenai tafsir frasa tersebut. Apalagi, kalau penyidikan ganda antara Polri dan KPK terus berjalan juga bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Ujung-ujungnya, dasar diselenggarakannya persidangan menjadi tidak jelas bakal menggunakna hasil penyidikan yang mana.

“Selain itu, mendesak karena benturan seperti ini bisa kembali terjadi,” tandasnya. Habib sendiri mengatakan kalau tidak ada target gugatannya dikabulkan MK. Sebab, dia yakin kalau pasal tersebut sudah menegaskan posisi KPK, Polri, dan Kejaksaan. Versinya, Mabes Polri tak boleh melanjutkan penyidikan.

Meski demikian, dia sadar kalau masih ada keraguaan di masyarakat atas judicial review tersebut. Terutama, posisi KPK yang masih menjadi institusi ad hoc bukan lembaga negara seperti yang diatur UUD 1945 layaknya Polri. Jadi, MK tidak bisa menerima gugatan itu karena tak termasuk tugas dan wewenang MK.

“Tidak ada masalah, karena yang kami uji bukan sengketa antara lembaga negara. Tetapi pengujian terhadap undang-undang,” urainya.
Sebelumnya, saat buka bersama di di Pesantren Al-Qurthuby, Pujer, Bondowoso, Ketua MK Mahfud MD mengisyaratkan kalau pertikaian itu tak bisa dibawa ke MK. Alasannya, KPK bukan termasuk lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Dia malah menyebut langkah terbaik adalah membawa kasus tersebut ke presiden.

Nah, setelah itu presiden bisa menunjuk Menkopolhukam menjadi moderator. Bagi Mahfud, langkah tebaik saat ini adalah dengan bersepakat dan tidak lagi saling klaim pasal mana yang benar.(rdl/dim/aga/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/