25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Alasan Kegentingan Hak Subjectif Jokowi, Mahfud Sebut MK Tak Pernah Batalkan Materi UU Cipta Kerja

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah menyatakan, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sudah sesuai dengan ketentuan. Aturan ini dianggap memperbaiki UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kritik terhadap Perppu ini pun masih mengalir.

MENKO Polhukam Mahfud MD mengkritisi banyak pihak yang dinilainya tidak paham terkait putusan MK terhadap UU Cipta Kerja. Selain itu, dia juga menyatakan, isi aturan tersebut juga tidak dibaca keseluruhan oleh beberapa orang. “Saya persilahkan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja,” ungkapnya.

Menurutnya, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat harus dimengerti. Dia menyatakan, dengan adanya putusan itu artinya undang-undang tersebut tidak berlaku dulu selama 2 tahun. “Tetapi selama 2 tahun diperbaiki,” katanya saat ditemui di Istana Merdeka, kemarin (3/1).

Yang menjadi dasar perbaikan adalah hukum acara yang menyatakan, omnibus law yang merupakan undang-undang sapu jagat tidak ada dalam tata hukum di Indonesia. Untuk itu, pemerintah memperbaiki aturan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Kini dalam UU pembentukan peraturan perundang-undangan menyebut omnibus law itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. “Sesudah itu diselesaikan, undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan itu sudah diubah dan diuji ke MK (dan dinyatakan) sudah sah. Lalu Perppu (Cipta Kerja) dibuat berdasar itu,” tutur Mahfud.

Dia menegaskan, MK tidak pernah membatalkan materi UU Cipta Kerja. “Kalau isinya yang mau dipersoalkan, silahkan gitu. Tetapi kalau prosedur sudah selesai,” ujarnya.

Mahfud juga mengatakan, presiden memiliki hak subjektif dalam menyatakan alasan kegentingan. Seperti pada alasan pengeluaran Perppu Cipta Kerja. Dia mengakui, alasan itu memang merupakan hak subjektif Presiden Joko Widodo. “Di dalam tata hukum kita, alasan kegentingan itu adalah hak subjektif presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara,” ungkapnya.

Langkah buru-buru pemerintah untuk mempercepat UU Cipta Kerja ini menurut Mahfud, baik. Karena tidak ada unsur koruptifnya. “Itu semuanya ingin melayani kecepatan investasi. Justru ingin mempermudah pekerja,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, dalam perbaikan itu pemerintah sudah diskusi dengan semua pihak terkait apa yang diinginkan. “Dimasukkan semua sehingga di Perppu sudah dibahas semuanya,”imbuhnya.

Mahfud pun menghargai berbagai reaksi yang muncul pasca hadirnya Perppu 2/2022. Apalagi reaksi ini banyak datang dari akademisi. “Saya juga akademisi. Mungkin saya kalau tidak jadi menteri ngritik kayak gitu,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Zuhad Aji Firmantoro menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam beleid tersebut secara tegas dalam pertimbangan hukumnya memberikan waktu dua tahun kepada Presiden dan DPR, untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja.

Terdapat tiga poin yang disimpangi oleh pembentuk UU. Pertama, terkait penyempurnaan metode omnibus law yang memang belum diatur dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengadopsian omnibus law memang telah tertuang dalam perubahan UU Nomor 12/2011, namun hal ini tidak menggugurkan kewajiban pembentuk undang-undang utuk melakukan penyesuaian terhadap UU Cipta Kerja.

Kedua, dalam paragraf [3.18.4] putusan MK mengatakan, tata cara pembentukan UU cipta kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan. Oleh karena itu Presiden dan DPR mestinya melakukan penyempurnaan UU Cipta Kerja dengan memperjelas rumusan norma. Agar mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai secara terukur dan obyektif. “Kemudian, menyempurnakan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” terang Zuhad.

Ketiga, dalam putusan MK terungkap fakta pembentukan UU cipta kerja tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Oleh karena itu perubahan maupun penyempurnaannya harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dengan menerapkan indikator. “Yaitu, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” jelas akademisi yang juga Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) itu.

Zuhad menyebut, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan spirit supremasi konstitusi. Menurut dia, supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga merupakan pelaksanaan demokrasi. Sebab konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat.”Prinsip ini mengikat bagi seluruh lembaga negara. Termasuk Presiden,” tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, penerbitan Perppu itu inkonstitusional. Sebab, MK sudah menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan diminta melakukan perbaikan selama dua tahun.

Feri menyebut kondisi itu tidak sehat. ‘’Karena MK sudah dirombak orang yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak dan tiba-tiba. Jadi ini menurut saya tidak sehat,’’ jelasnya.

Dia melanjutkan, dalam Pasal 22 ayat UUD disebutkan sarat sebuah Perppu diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa. Adapun keadaan kegentingan memaksa syaratnya ada tiga berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. ”Satu ada masalah hukum yang butuh ditangani sesegera mungkin yang mendesak untuk diselesaikan,’’ kata Feri.

Kedua, ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau kekosongan hukum. Ketiga, butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum. ‘’Tiga hal itu tidak menggambarkan Perppu Cipta Kerja, karena dalam putusan MK 91 UU Cipta Kerja itu harus diperbaiki dalam dua tahun,’’ tuturnya.

Dengan demikian, alasan Perppu Cipta Kerja lahir karena kegentingan mendesak bisa dibilang tidak sesuai. Apalagi, Feri menyebut Perppu itu memuat 1.117 halaman yang notabene tentu ribuan halaman itu tidak bisa disebut dalam kondisi kegentingan. “Tidak cukup memadai untuk dikatakan kegentingan memaksa. Yang jelas ini dipaksakan hadirnya untuk kemudian UU Cipta Kerja bisa berlaku, karena waktu perbaikannya sudah mau habis. Jadi dipaksakan untuk segera mungkin (terbit),” jelasnya.

Feri juga menyinggung ‘orang-orang’ di dalam MK yang sudah dirombak. Seperti diketahui, melalui forum rapat paripurna beberapa waktu lalu, DPR secara serampangan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto tanpa basis argumentasi yang utuh. Aswanto merupakan salah satu hakim MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Dalam waktu bersamaan, anggota dewan juga sepakat memilih Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk mengganti posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi. “MK sudah dirombak, orang yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak. Jadi ya ini semua menurut saya tidak sehat,” tegas Feri.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) angkat suara soal gonjang-ganjing jatah libur untuk pekerja/buruh dalam Perppu Ciptaker. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSTK) Kemenaker Indah Anggoro Putri menampik tegas. Dia memastikan, ketentuan waktu istirahat tidak ada yang berbeda dengan yang sudah diatur dalam UU 11/2022 tentang Cipta Kerja. “Tidak benar libur (2 hari) dihilangkan dalam Perppu CIpta Kerja,” ungkapnya saat dikonfirmasi, kemarin (3/1).

Putri menjelaskan, ketentuan waktu libur ini telah disesuaikan dengan ketentuan perusahaan. Di mana, ada perusahaan yang waktu kerjanya dimungkinkan kurang dari 5 hari atau bisa juga 6 hari dalam seminggu. “Artinya kalau dalam seminggu ada 7 hari, lalu apabila perusahaan menetapkan waktu kerja 6 hari maka waktu libur atau istirahatnya adalah 1 hari,” paparnya.

Begitu pula sebaliknya. Bagi perusahaan yang menerapkan waktu kerja 5 hari maka waktu libur atau istirahatnya tetap 2 hari. “Kalau terhadap pekerja diberlakukan hanya 4 hari kerja, tentunya waktu istirahatnya menjadi 3 hari,” sambungnya.

Hal teknis ini, kata dia, nantinya akan tercantum dalam peraturan perusahaan atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan pekerja. Dia meyakini, pengaturan sebagaimana dalam Perppu Ciptaker dapat mengakomodir kebutuhan dunia usaha baik saat ini maupun ke depan.

Disinggung soal indikasi tak adanya perbaikan dalam Perppu seperti yang sudah diamanatkan MK pada UU Ciptaker sebelumnya, Putri tak banyak menanggapi. Dia hanya meminta agar Perppu dipelajari kembali. “Dibaca baik-baik dulu Perppu-nya,” katanya singkat.

Tudingan tak ada perbaikan ini disampaikan sejumlah serikat pekerja. Salah satunya, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia). Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat menuding terbitnya Perppu ini hanya akal-akalan memaksakan pelaksanaan UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan MK untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun. “Justru kemudian memaksakan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja melalui Perppu. Ini akal-akalan,” keluhnya.

Menurutnya, hal ini terpampang nyata dari isi Perppu Ciptaker itu sendiri. Seolah hanya copy paste dari isi UU Ciptaker yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja sebelumnya. “Kalaupun ada perbedaan redaksi, ternyata isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja,” paparnya.

Belum lagi, poin-poin yang dituntut serikat pekerja akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah lagi. Sehingga, pemerintah tetap bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah yang seringnya hanya menguntungkan kelompok pemodal atau investor. “Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat,” pungkasnya. (wan/han/lyn/dee/mia/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah menyatakan, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sudah sesuai dengan ketentuan. Aturan ini dianggap memperbaiki UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kritik terhadap Perppu ini pun masih mengalir.

MENKO Polhukam Mahfud MD mengkritisi banyak pihak yang dinilainya tidak paham terkait putusan MK terhadap UU Cipta Kerja. Selain itu, dia juga menyatakan, isi aturan tersebut juga tidak dibaca keseluruhan oleh beberapa orang. “Saya persilahkan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja,” ungkapnya.

Menurutnya, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat harus dimengerti. Dia menyatakan, dengan adanya putusan itu artinya undang-undang tersebut tidak berlaku dulu selama 2 tahun. “Tetapi selama 2 tahun diperbaiki,” katanya saat ditemui di Istana Merdeka, kemarin (3/1).

Yang menjadi dasar perbaikan adalah hukum acara yang menyatakan, omnibus law yang merupakan undang-undang sapu jagat tidak ada dalam tata hukum di Indonesia. Untuk itu, pemerintah memperbaiki aturan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Kini dalam UU pembentukan peraturan perundang-undangan menyebut omnibus law itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. “Sesudah itu diselesaikan, undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan itu sudah diubah dan diuji ke MK (dan dinyatakan) sudah sah. Lalu Perppu (Cipta Kerja) dibuat berdasar itu,” tutur Mahfud.

Dia menegaskan, MK tidak pernah membatalkan materi UU Cipta Kerja. “Kalau isinya yang mau dipersoalkan, silahkan gitu. Tetapi kalau prosedur sudah selesai,” ujarnya.

Mahfud juga mengatakan, presiden memiliki hak subjektif dalam menyatakan alasan kegentingan. Seperti pada alasan pengeluaran Perppu Cipta Kerja. Dia mengakui, alasan itu memang merupakan hak subjektif Presiden Joko Widodo. “Di dalam tata hukum kita, alasan kegentingan itu adalah hak subjektif presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara,” ungkapnya.

Langkah buru-buru pemerintah untuk mempercepat UU Cipta Kerja ini menurut Mahfud, baik. Karena tidak ada unsur koruptifnya. “Itu semuanya ingin melayani kecepatan investasi. Justru ingin mempermudah pekerja,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, dalam perbaikan itu pemerintah sudah diskusi dengan semua pihak terkait apa yang diinginkan. “Dimasukkan semua sehingga di Perppu sudah dibahas semuanya,”imbuhnya.

Mahfud pun menghargai berbagai reaksi yang muncul pasca hadirnya Perppu 2/2022. Apalagi reaksi ini banyak datang dari akademisi. “Saya juga akademisi. Mungkin saya kalau tidak jadi menteri ngritik kayak gitu,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Zuhad Aji Firmantoro menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam beleid tersebut secara tegas dalam pertimbangan hukumnya memberikan waktu dua tahun kepada Presiden dan DPR, untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja.

Terdapat tiga poin yang disimpangi oleh pembentuk UU. Pertama, terkait penyempurnaan metode omnibus law yang memang belum diatur dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengadopsian omnibus law memang telah tertuang dalam perubahan UU Nomor 12/2011, namun hal ini tidak menggugurkan kewajiban pembentuk undang-undang utuk melakukan penyesuaian terhadap UU Cipta Kerja.

Kedua, dalam paragraf [3.18.4] putusan MK mengatakan, tata cara pembentukan UU cipta kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan. Oleh karena itu Presiden dan DPR mestinya melakukan penyempurnaan UU Cipta Kerja dengan memperjelas rumusan norma. Agar mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai secara terukur dan obyektif. “Kemudian, menyempurnakan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” terang Zuhad.

Ketiga, dalam putusan MK terungkap fakta pembentukan UU cipta kerja tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Oleh karena itu perubahan maupun penyempurnaannya harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dengan menerapkan indikator. “Yaitu, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” jelas akademisi yang juga Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) itu.

Zuhad menyebut, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan spirit supremasi konstitusi. Menurut dia, supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga merupakan pelaksanaan demokrasi. Sebab konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat.”Prinsip ini mengikat bagi seluruh lembaga negara. Termasuk Presiden,” tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, penerbitan Perppu itu inkonstitusional. Sebab, MK sudah menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan diminta melakukan perbaikan selama dua tahun.

Feri menyebut kondisi itu tidak sehat. ‘’Karena MK sudah dirombak orang yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak dan tiba-tiba. Jadi ini menurut saya tidak sehat,’’ jelasnya.

Dia melanjutkan, dalam Pasal 22 ayat UUD disebutkan sarat sebuah Perppu diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa. Adapun keadaan kegentingan memaksa syaratnya ada tiga berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. ”Satu ada masalah hukum yang butuh ditangani sesegera mungkin yang mendesak untuk diselesaikan,’’ kata Feri.

Kedua, ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau kekosongan hukum. Ketiga, butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum. ‘’Tiga hal itu tidak menggambarkan Perppu Cipta Kerja, karena dalam putusan MK 91 UU Cipta Kerja itu harus diperbaiki dalam dua tahun,’’ tuturnya.

Dengan demikian, alasan Perppu Cipta Kerja lahir karena kegentingan mendesak bisa dibilang tidak sesuai. Apalagi, Feri menyebut Perppu itu memuat 1.117 halaman yang notabene tentu ribuan halaman itu tidak bisa disebut dalam kondisi kegentingan. “Tidak cukup memadai untuk dikatakan kegentingan memaksa. Yang jelas ini dipaksakan hadirnya untuk kemudian UU Cipta Kerja bisa berlaku, karena waktu perbaikannya sudah mau habis. Jadi dipaksakan untuk segera mungkin (terbit),” jelasnya.

Feri juga menyinggung ‘orang-orang’ di dalam MK yang sudah dirombak. Seperti diketahui, melalui forum rapat paripurna beberapa waktu lalu, DPR secara serampangan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto tanpa basis argumentasi yang utuh. Aswanto merupakan salah satu hakim MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Dalam waktu bersamaan, anggota dewan juga sepakat memilih Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk mengganti posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi. “MK sudah dirombak, orang yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak. Jadi ya ini semua menurut saya tidak sehat,” tegas Feri.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) angkat suara soal gonjang-ganjing jatah libur untuk pekerja/buruh dalam Perppu Ciptaker. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSTK) Kemenaker Indah Anggoro Putri menampik tegas. Dia memastikan, ketentuan waktu istirahat tidak ada yang berbeda dengan yang sudah diatur dalam UU 11/2022 tentang Cipta Kerja. “Tidak benar libur (2 hari) dihilangkan dalam Perppu CIpta Kerja,” ungkapnya saat dikonfirmasi, kemarin (3/1).

Putri menjelaskan, ketentuan waktu libur ini telah disesuaikan dengan ketentuan perusahaan. Di mana, ada perusahaan yang waktu kerjanya dimungkinkan kurang dari 5 hari atau bisa juga 6 hari dalam seminggu. “Artinya kalau dalam seminggu ada 7 hari, lalu apabila perusahaan menetapkan waktu kerja 6 hari maka waktu libur atau istirahatnya adalah 1 hari,” paparnya.

Begitu pula sebaliknya. Bagi perusahaan yang menerapkan waktu kerja 5 hari maka waktu libur atau istirahatnya tetap 2 hari. “Kalau terhadap pekerja diberlakukan hanya 4 hari kerja, tentunya waktu istirahatnya menjadi 3 hari,” sambungnya.

Hal teknis ini, kata dia, nantinya akan tercantum dalam peraturan perusahaan atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan pekerja. Dia meyakini, pengaturan sebagaimana dalam Perppu Ciptaker dapat mengakomodir kebutuhan dunia usaha baik saat ini maupun ke depan.

Disinggung soal indikasi tak adanya perbaikan dalam Perppu seperti yang sudah diamanatkan MK pada UU Ciptaker sebelumnya, Putri tak banyak menanggapi. Dia hanya meminta agar Perppu dipelajari kembali. “Dibaca baik-baik dulu Perppu-nya,” katanya singkat.

Tudingan tak ada perbaikan ini disampaikan sejumlah serikat pekerja. Salah satunya, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia). Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat menuding terbitnya Perppu ini hanya akal-akalan memaksakan pelaksanaan UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan MK untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun. “Justru kemudian memaksakan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja melalui Perppu. Ini akal-akalan,” keluhnya.

Menurutnya, hal ini terpampang nyata dari isi Perppu Ciptaker itu sendiri. Seolah hanya copy paste dari isi UU Ciptaker yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja sebelumnya. “Kalaupun ada perbedaan redaksi, ternyata isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja,” paparnya.

Belum lagi, poin-poin yang dituntut serikat pekerja akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah lagi. Sehingga, pemerintah tetap bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah yang seringnya hanya menguntungkan kelompok pemodal atau investor. “Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat,” pungkasnya. (wan/han/lyn/dee/mia/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/