28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

8 Perwira AU Mangkir dari Panggilan KPK

Foto: Dery Ridwansyah JawaPos.com
Penyidik KPK sedang melakukan cek fisik helikopter AW 101.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku mengagendakan pemeriksaan terhadap 8 orang perwira Angkatan Udara (AU) sebagai saksi. Rencananya, mereka akan diperiksa di Mabes TNI Cilangkap terkait kasus Pengadaan Helikopter angkut AW-101. Namun, semua saksi tidak menghadiri panggilan lembaga antirasuah.

“Semua saksi dalam kasus ini tidak hadir. Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran,” ungkap juru bicara KPK Febri Diansyah pada awak media, Selasa (3/7).

Padahal, kata Febri lembaganya sudah melakukan koordinasi dengan POM TNI dalam menangani perkara ini. Selain itu, diakui Febri, penyidik lembaga antirasuah menghadapi hambatan dalam menangani kasus ini.

“Karena ada kesulitan memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pengadaan helikopter tersebut dan juga audit BPK yang belum selesai,” jelasnya.

Sekadar informasi, terbongkarnya dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101 berasal dari investigasi yang dilakukan Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto. Dengan bekerja cepat, pada 24 Februari 2017, hasil investigasi dikirimkan kepada Jenderal Gatot Nurmantyo.

Tampak jelas ada skandal dan dugaan konspirasi, Gatot pun bekerja sama dengan Kepolisian, BPK, PPATK dan KPK untuk menelusuri lebih lanjut dugaan korupsi tersebut.

Dilanjutkan penyelidikan yang dilakukan Pusat Polisi Militer (POM) TNI, didapati hasil bahwa ada kerugian negara dari pembelian heli tersebut sekitar Rp224 miliar dari nilai proyek Rp738 miliar.

Hingga pada akhirnya, POM TNI menetapkan empat perwira sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU, Kolonel Kal FTS SE; Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK); Letkol Adm TNI WW selaku pemegang kas; Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.

KPK sendiri sejauh ini baru menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp 514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.

Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.(ipp/jpc/ala)

 

Foto: Dery Ridwansyah JawaPos.com
Penyidik KPK sedang melakukan cek fisik helikopter AW 101.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku mengagendakan pemeriksaan terhadap 8 orang perwira Angkatan Udara (AU) sebagai saksi. Rencananya, mereka akan diperiksa di Mabes TNI Cilangkap terkait kasus Pengadaan Helikopter angkut AW-101. Namun, semua saksi tidak menghadiri panggilan lembaga antirasuah.

“Semua saksi dalam kasus ini tidak hadir. Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran,” ungkap juru bicara KPK Febri Diansyah pada awak media, Selasa (3/7).

Padahal, kata Febri lembaganya sudah melakukan koordinasi dengan POM TNI dalam menangani perkara ini. Selain itu, diakui Febri, penyidik lembaga antirasuah menghadapi hambatan dalam menangani kasus ini.

“Karena ada kesulitan memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pengadaan helikopter tersebut dan juga audit BPK yang belum selesai,” jelasnya.

Sekadar informasi, terbongkarnya dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101 berasal dari investigasi yang dilakukan Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto. Dengan bekerja cepat, pada 24 Februari 2017, hasil investigasi dikirimkan kepada Jenderal Gatot Nurmantyo.

Tampak jelas ada skandal dan dugaan konspirasi, Gatot pun bekerja sama dengan Kepolisian, BPK, PPATK dan KPK untuk menelusuri lebih lanjut dugaan korupsi tersebut.

Dilanjutkan penyelidikan yang dilakukan Pusat Polisi Militer (POM) TNI, didapati hasil bahwa ada kerugian negara dari pembelian heli tersebut sekitar Rp224 miliar dari nilai proyek Rp738 miliar.

Hingga pada akhirnya, POM TNI menetapkan empat perwira sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU, Kolonel Kal FTS SE; Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK); Letkol Adm TNI WW selaku pemegang kas; Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.

KPK sendiri sejauh ini baru menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp 514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.

Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.(ipp/jpc/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/