JAKARTA – Markas Besar Polri tak mau mengalah. Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman bahkan menantang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan penanganan kasus korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Mabes Polri.
Jenderal tiga bintang ini tak rela jika KPK mengambil alih keseluruhan kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi di Mabes Polri. Makanya, ia mempersilakan KPK melayangkan gugatan pada kepolisian jika ingin mengambil hak penanganan kasus korupsi simulator sepenuhnya.
“Selama Polri punya bukti cukup, saksi cukup tidak ada ruang untuk menghentikan penyidikan ini. Bagaimana bisa menghentikan, kalau belum ada ketentuan acara. Kecuali ada gugatan bahwa Polri tidak punya wewenang penyidikan melalui peradilan ya silahkan. Kalau pengadilan bilang Polri tidak berwenang maka saya akan menyerahkan pada KPK,” ujar Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman di Jakarta, Jumat (3/8).
Belakangan, sejumlah kalangan menyebut seharusnya Polri menyerahkan penanganan kasus itu pada KPK yang sudah lebih dulu menyelidikinya. Saran itu dasarkan pada Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4)Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Namun, Polri menyatakan, tak bisa hanya dengan berlatar undang-undang tersebut, karena Polri pun sedang dalam penyidikan.
“Aturannya acara belum juga ada bagaimana bawa ke pengadilan. Tapi silahkan digugat saja kalau saya memang tidak berwenang,” sambungnya.
Sutarman bahkan menampik anggapan masyarakat yang menyebut Polri tidak dapat menyelesaikan kasus itu hingga ke tindak pidana pencucian uang yang dilakukan para tersangka.
“Polri juga mampu, itu juga pernah kita lakukan pada mantan Kapolres. Jangan diragukan penyidik Bareskrim. Niat baik kita saling mendukung untuk menangani korupsi,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, polemik kasus ini mencuat setelah KPK dituduh melanggar MoU dengan menetapkan tersangka dari institusi Polri tanpa koordinasi tertulis dengan pimpinan Polri. Termasuk dalam proses penggeledahan yang dilakukan KPK di gedung Korlantas Senin 30 Juli lalu, KPK mengklaim sudah meminta ijin pada Kapolri. Meski perizinan itu ternyata belum disampaikan pada Kapolri.
Dua lembaga penegak hukum ini lalu seolah-olah rebutan untuk mengusut kasus ini dan menetapkan tersangka yang terlibat. KPK dianggap membangkang, sementara Polri dianggap tak mau mengalah.
Belum ada titik terang dalam penanganan kasus ini karena dua lembaga masih mempermasalahkan jalur dan kewenangannya masing-masing.
Publik Jangan Terkecoh
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Iberamsjah mengingatkan, jangan sampai pengusutan kasus dugaan korupsi simulator di Korlantas Polri, yang diperebutkan KPK dan Polri hanya ribut-ribut saja, tapi hasilnya nol besar.
“Jadi kita tunggu saja apa KPK serius mau menangani kasus ini dan melakukan pemberantasan korupsi. Jangan terlalu membela juga, lihat saja hasilnya. Jangan cuma ramai-ramai, hasilnya juga nol besar,” kata Iberamsjah, kemarin.
Dijelaskan Iberamsjah, perseteruan KPK dan Polri dalam kasus ini jangan sampai membuat masyarakat terkecoh lagi. Menurut Iberamsjah, pengalaman membuktikan pada kasus Cicak vs Buaya sebelumnya, terbukti belakangan KPK juga bukan lembaga yang bersih dan harus dibela mati-matian.
Karenanya, dia mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah ini. “Kita harus hati-hatilah. Ada apa ini? Kok kasus ini KPK ngotot sekali? Padahal sebelumnya dalam beberapa kasus seperti rekening gendut dan kasus pegawai pajak Gayus Tambunan, KPK tidak ngotot-ngotot amat untuk melakukan penyelidikan dan menyerahkan kasus itu kepada Polri,” jelas dia.
“Masyarakat harus ingat bahwa KPK juga bukan lembaga yang bersih-bersih amat, kasus Cicak Buaya membuktikan hal itu. Jadi jangan mau terkecoh lagi, (kasus ini) banyak kejanggalan,” ulangnya.
Dijelaskan Iberamsjah lagi, kejanggalan-kejanggalan lainnya bisa dilihat juga dari lambannya KPK menangani kasus-kasus korupsi yang muncul belakangan ini. (flo/boy/jpnn)