JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Keberhasilan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai pimpinan dewan dan alat kelengkapannya dan polemik akibat kemunculan DPR Tandingan yang dilakukan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH), harus dituntaskan. Berlatarbelakang pemahaman tersebut, Ketua DPR RI Setya Novanto mengaku akan membuka komunikasi dengan pimpinan-pimpinan fraksi dari KIH.
“Saya sebagai pimpinan DPR tetap melakukan komunikas aktif, ini suatu kebersamaan, juga pimpin DPR lain, tidak ada perbedaan, kita terbuka untuk melakukan pembicaraan,” kata Setya Novanto di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (3/11).
Keterbukaan komunikasi ini menurut polikus Golkar itu sejalan dengan saran dari Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, agar komunikasi di internal DPR kembali diintensifkan.
“Tentu kita sangat menghargai betul (saran Jokowi-JK).
Saya sudah bicarakan pada pimpinan untuk membicarakannya, ini bukan hal tabu. Kita harus bekerja terus, tidak bisa tidak,” tegasnya,
Apakah DPR akan mengakomodasi semua permintaan KIH masuk dalam jajaran pimpinan alat kelengkapan? Setya mengatakan semua akan dimusyawarahkan.
“Semuanya itu sepanjang kita bicarakan, musyawarah, baru kita bisa memberikan yang terbaik. Semuanya kan harus duduk dan membicarkan dengan pihak mereka. Ini kan sudah ada aturannya,” katanya.
Keinginan memecah kebuntuan komunikasi turut disuarakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang menjadi motor KIH. Melalui Ketua Fraksi PDIP di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ahmad Basarah, PDIP mendesak Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menggunakan hak konstitusinya untuk menyelesaikan konflik politik di DPR.
“Pasal 28, tatib MPR mengamanatkan Pimpinan MPR berwenang mengambil inisiatif memanggil presiden untuk membicarakan penyelesaian terjadinya penyimpangan demokrasi di DPR,” kata Ahmad Basarah, di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, kemarin.
Menurut Ahmad, jika pimpinan MPR mengambil inisiatif tersebut jelas sekali payung hukumnya. “Pimpinan jangan hanya melakukan fungsi-fungsi normatif saja, sebab MPR itu hakekatnya diisi oleh negarawan,” tegasnya.
Sebagai negarawan lanjut Ahmad, pimpinan MPR harus mampu keluar dari tugas-tugas normatif untuk menyelesaikan konflik di lembaga negara. “Terhadap peristiwa yang saat ini terjadi di DPR, saya duga, telah terjadi penyalahgunaan praktek demokrasi,” tegasnya.
Dia mengakui selama dua bulan MPR dipimpin oleh Zulkifli Hasan, majelis masih berjalan sesuai dengan marwahnya sebagai lembaga musyawarah.
“Tapi bangsa ini juga rindu agar MPR mampu berfungsi sebagai pengayom lembaga-lembaga negara. Setidaknya pimpinan MPR terdahulu, almarhum Taufiq Kiemas sudah memberi contoh yang baik bagaimana mengelola MPR,” ungkapnya. (fas/fat/jpnn)