JAKARTA – Pengamat kepolisian Alfons Leomau mengatakan teramat sulit bagi setiap personal kepolisian saat ini untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan asas Tri Brata Polri. Karena sebagian besar anggota kepolisian dari awal sudah akrab dengan fenomena pragmatisme.
“Dalam praktiknya Tri Brata menjadi tri batok. Batok untuk diri sendiri, untuk teman dan terakhir batok untuk komandan,” kata Alfons Leomau, saat dihubungi wartawan, Sabtu (4/8).
Goyahnya Tri Brata menjadi tri batok, lanjut purnawirawan Polri itu antara lain tidak sinkronnya antara prinsip-prinsip dasar kepolisian selaku penegak hukum dengan prkatek yang terjadi misalnya dalam rekrutmen anggota.
“Mulai dari mendaftar, seleksi dan masa pendidikan, tidak satu pihak pun dari kepolisian yang berani memberi jaminan bahwa mekanisme yang dipakai sudah bersih dari fenomena pragmatisme yang ditandai dengan transaksi uang,” ungkap Alfons.
Untuk menutupi praktik pragmatisme tersebut lanjut Alfons Leomau, biasanya pejabat kepolisian mengajukan tantangan berupa ajukan bukti kalau mekanisme yang dipakai rawan diperjual-belikan. “Yang melakukan jual-beli siapa dan yang dimintai bukti siapa? Lucu juga kedengarannya,” ungkap Alfons Leomau.
Terakhir dia juga mengkritisi masalah pengangkatan dan penempatan Kapolda, Kapolres hingga Kapolsek yang masih kental dengan sistem setoran. “Itu lahan subur yang diperjual-belikan. Bukan gerimis lagi, tapi setiap pergantian jabatan itu ada yang basah,” tegasnya.
Menyikapi skandal korupsi di Korlantas Mabes Polri terhadap pengadaan Simulator SIM, Alfons malah menyarankan agar KPK dan Polri masing-masing bentuk tim Penyidik bekerja secara terpisah dengan alat bukti hukum yang sama. “Dengan begitu, publik nantinya bisa menilai mana yang benar-benar menegakkan hukum dan mana yang masih kasak-kusuk membela koruptor,” saran Alfons. (fas/jpnn)